Senin, 30 September 2013

Tubuh

Tubuh pepat dalam bahasa. Pecah di seragam. Terjebak dalam warna. Terpenjara dalam konsep. Menggantung di tiang-tiang Kebudayaan. Mati dirayakan.

Mata mampus dalam cahaya. Dalam sinar. Dalam Jelaga. Dalam kacamata. Dalam pandang. Dalam dosa.

Ketiak terikat dalam sistem. Tewas di hadapan pasar. Hilang dalam wangi.

Kelamin raib dalam adab. Terhukum oleh tradisi.

Aku merdeka dalam cinta,

Tapi cinta terkekang,

Sempurna dalam budaya.

Hottest Drummer Alive!

Tentang PKI yang Sudah Lama Pergi

Ilustrasi minjem dari Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit

Haram hukumnya memperdalam komunis, kecuali (bacalah aturan negeri kita di bawah ini baik-baik)...

Pasal 212 dan 213 RUU KUHP:

Tindak pidana terhadap Ideologi Negara

Paragraf 1

Penyebaran Agama Komunisme/Marxisme-Leninisme

Pasal 212

1. Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan di media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti pancasila sebagai dasar negara, dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

2. Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pada ayat (1) yang mengakibatkan:

a. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian harta kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun;

b. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan orang menderita luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, atau;

c. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

3. Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud dan tujuan semata-mata kegiatan ilmiah.

Pasal 213

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun setiap orang yang;

a. Mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;

b. Mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara yaitu;

c. Mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahui berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah."
Nb: kabar terakhir yang saya dengar, ada seorang pemuda yang ditangkap karena memasang bendera PKI di jendela kamarnya, pun ia akhirnya dibebaskan setelah hanya dimintai keterangan.

Minggu, 29 September 2013

Korupsi

Bagai dua sisi mata uang
Satu sisi menyenangkan
Di sisi lain, menyengsarakan

Korupsi
Mati satu, tumbuh seribu
Ditangkap satu, malah menyerbu

Marah

Pada langit yang tak berujung, jatuh deras mimpi-mimpi yang kita junjung. Mimpi-mimpi yang membuat tubuh ini hidup, sekaligus mati, terjebak dalam bermacam fantasi. Inikah masa depan? Masa depan yang kita bayangkan dan kelak kita perjuangkan?

Bilamana kita sibuk dan terlupa untuk sekadar mabuk dan bercinta, mereka bilang inilah takdir. Pembangkangan adalah hal bodoh yang tersusun rapi di aturan-aturan kebudayaan. Tetapi selalu saja diri kita ingin berak dan pipis di celana, tanpa perlu berjalan menuju kamar mandi.

Lalu bagaimana kita menjalani hidup semestinya berarti menghayati hidup yang jauh di luar diri kita. Kemudian seseorang menyangkalnya. Seorang lagi ikut serta. Terus begitu, seorang demi seorang, sampai kita terbentuk untuk percaya pada jumlah. Dan keikut sertaan adalah partisipasi menjalankan apa yang disebut kebenaran.

Kemarahan yang terpendam tak pernah terungkapkan. Tapi ia menguntit kita, diam-diam mengikuti kita, seperti bayangan tubuh kita. Maka temukan dan raihlah.

Monyet yang Lebih Pintar dari Manusia

Monyet yang menginspirasi penulis

Di sebuah hutan yang sangat jauh dari pusat keramaian, bahkan tak terjamah oleh tangan manusia, ada sekelompok monyet yang sedang berbincang tentang manusia. Mereka sedang membicarakan kemampuan manusia yang konon katanya sangat hebat dan melebihi kecerdasan dari kawanan monyet yang hidup di hutan belantara. Salah satu pemimpin mereka terlhat kurang setuju bila kawanan mereka yang teramat cerdas dibandingkan dengan level kecerdasan manusia yang tak seberapa.

“Manusia lebih cerdas dari kita? Mereka hanya memakai insting untuk hidup, tak seperti kita yang senantiasa menggunakan akal untuk bertindak!” seperti Iblis yang tidak mau menyembah Adam, ujar pemimpin monyet itu.

Monyet-monyet yang lain pun hanya bertatap mata, saling memandang satu sama lain seakan tidak mengerti akan perbincangan yang sedang mereka bicarakan. Mereka belum pernah melihat manusia secara langsung, hanya dari kabar burung mereka mengetahui sosok manusia. Begitu sebaliknya, kabar tentang monyet yang lebih hebat dari manusia hanya ada dalam kata.

Ternyata, ada  monyet yang lebih hebat dari manusia.

Sabtu, 28 September 2013

W.O.W

Masuk ke dashboard blog 30 Hari Menulis dan menemukan hal ini:

Menafsirkan September


Mungkin hari ini, 49 tahun silam, DN. Aidit sedang menyusun strategi menjahtuhkan Sukarno. Atau mungkin, Soeharto yang sedang merumuskan tentang pembantaian jenderal-jenderal ABRI yang diprediksi bakal pengganti Sukarno. Entah. Semua hanya sebatas tafsir.

Tafsir, dalam kamus besar bahasa Indonesia dalam jaringan, diartikan sebagai keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran agar maksudnya lebih mudah dipahami. Dan, menafsirkan memiliki dua makna. Pertama; menerangkan maksud ayat-ayat Alquran atau kitab suci lain. Dan kedua; menangkap maksud perkataan (kalimat dsb) tidak menurut apa adanya saja, melainkan diterapkan juga apa yang tersirat (dengan mengutarakan pendapatnya sendiri).

Sudahlah. Perbendaharaan bahasa kita memang sedikit menjenggkelkan. Mari kembali ke September.

Kemungkinan-kemungkinan yang muncul adalah buah dari tafsir-tafsir yang pernah beredar, atau sebaliknya, tafsir-tafsir sembarangan menghasilkan berbagai kemungkinan. Di sini, manusia dapat menafsirkan secara bebas tentang kejadian di bulan September 1965, di mana saat itu tafsir dari seorang manusia bisa berujung ke tempat yang entah dimana.

Partai Komunis Indonesia, yang memiliki pengikut terbesar setelah Uni Soviet dan China, disinyalir akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Indonesia. Pihak militer tentu tak bisa diam setelah isu-isu tersebut beredar. Pasalnya, mereka telah menunggu jatah giliran untuk dapat meraih kekuasaan.

Di masa itu, perebutan kursi kekuasaan tak semudah saat ini. Teman saya pernah bilang, Sukarno menjadi presiden setelah mengorbankan ribuan nyawa dalam kerja paksa Romusha. Dan untuk menggantikan kekuasannya, secara nalar berpikir yang benar, tentu dibutuhkan tumbal lebih banyak dari yang pernah dilakukan Sukarno. Siapa yang bisa memberi tumbal, dia yang akan menggantikan. Mungkin pepatah itulah yang membuat para pengincar kursi presiden menyusun rencana dengan sangat apik.

Namun, saat ini kita sudah tahu siapa pemenangnya. Maharnya masih simpang siur. Namun menurut penafsiran saya, antara 500.000 sampai 2 juta nyawa diserahkan entah ke siapa, untuk menduduki kursi nahkoda di kapal tua ini.

Hentikanlah tafsir ini. Lagi pula, tafsir hanya diakui dari seorang yang punya kuasa.

Aku Hamil


Jumat, 27 September 2013

Kuda Laut di Dalam Bir

Tidak ada Kunang-kunang di dalam bir. Ini Pamulang. Bukan Djenar Maesa Ayu ataupun Agus Noor. Kunang-kunang tak terlihat indah di Pamulang. Tetapi di Pamulang, sebaiknya minum Kuda Laut di dalam bir.


Gengges, HIH!

Udah sebulan ini gue bolak-balik kampus pakek motor bokap. Dan sebulanan ini gue udah bisa nyimpulin kalo para penendara kendaraan bermotor di Jakarta tuh gag sabaran dan annoying banget.

Kenapa gue bisa nyimpulin gitu? Ini alasanya:

Mengais Sensasi seperti Buku Motivasi

Gambar: Tai

Buku motivasi sudah terlanjur menjamur. Tak henti sampai di situ, akun motivasi pun merabak sampai puncaknya yang membuat kita muak untuk mengartikan apa sebenarnya yang ditujukan. Saya tak akan membahas tentang Mario Teguh atawa Tung Desem Waringin yang memang sudah terlalu usang. Yang paling baru saya dengar adalah akun brengsek yang adem ayem tanpa melakukan setitik perlawanan. Berisik namun kosong.

Ini adalah pola baru dalam motivasi; membuat orang bangga pernah hidup, pun tempat di mana ia hidup adalah kutukan. Ya, mengatakan, “Saya bangga kuliah di sini, alumninya brengsek-brengsek.” Lalu apa? Mari sejenak luangkan waktu untuk membaca The Power of Terus Kenape, untuk belajar mengatakan “Brengsek luh!” kepada akun-akun tersebut.

Hal ini yang sedang mengendalikan kita. Berkata bangga tanpa menggali mitos yang masih belum nampak. Mari lihat lingkungan di mana kita berdiri. Ketika obrolan masih seputar figur seseorang, maka celakalah kita. Tak ada lagi sejarah kelam. Tak ada lagi ide. Tak ada lagi karya.

Kita yang terbuai oleh iming-iming masa lalu menjanjikan. Lupakan tentang masa depan cerah dan gemilang ketika persoalan lokal pun tak ada yang bicara. Mari bicara tentang sebuah tindakkan, bukan dengan sampah-sampah motivasi ulung yang hanya koar-koar.

Persetan dengan mereka yang selalu berkedok pada kejayaan masa lalu. Toh, pada akhirnya kita akan berjuang sendiri di jalan yang gelap nan tak berujung.

Mari tarik nafas dalam-dalam, simpan di perut dan mulai. Brengsek luh!

Kamis, 26 September 2013

Modus

"Kamu aku anter pulang ya?"
Artinya: Aku masih ingin bersama denganmu lebih lama lagi.

Batas

selebihnya langit tak pernah menyangka
kalau saja
ia memiliki batas
aku akan membuktikannya
maka temukanlah lagi
aku di bumi

Tentang Obesitas dan Naik Motor

Di foto udah ada copyright-nya

Saya tidak ingin mengasihani sepeda motor yang kelelahan membawa orang dengan berat badan berlebih. Toh motor adalah benda “mati” yang dihidupkan oleh manusia. Dan, seberapapun manusia berusaha menghidupkan benda mati, itu tidak akan membuat benda mati menjadi “hidup”, yang memiliki rasa.

Ah rasa. Rasa adalah salah satu unsur terpenting dalam teater. Seorang aktor wajib hukumnya untuk mengolah rasa dalam memasuki peran yang dimainkannya. Tanpa olah rasa, permainan tak akan hidup, dan teater adalah ilmu tentang kehidupan. Kehidupan memiliki banyak rasa. Semua orang tahu itu. Tapi, sedikit orang yang tahu kalau dalam menampilkan rasa tanpa adanya sebab yang jelas dalah hal yang sulit untuk dilakukan. Bayangkan bila dalam perannya, seorang aktor harus tertawa dengan rasa senang yang berlebih, padahal ia baru dapat celaka dalam kehidupannya. Bagaimana? Kalau Anda mau tahu caranya, Anda tahu harus kemana. Saya tak akan membahas tentang teater dalam tulisan ini. Tapipak!

Itu hanyalah sebuah gejolak saya tentang rasa dan teater. Jangan dihiraukan, mari kita lanjutkan tentang obesitas dan naik motor.

Jadi begini. Teman saya ada yang obesitas dan dia bawa motor. Motonya bebek lisensi Jepang, buatan Indonesia. Wah, susunan kata demi kata di sini kayaknya kurang asyik. Ulang dari awal deh.

Semalam, saya ceritanya mau ke rumah teman saya yang obesitas. Karena tidak tahu rumahnya, saya mengikutinya dari belakang naik motor saya. Teman saya walaupun obesitas, naik motornya bahaya. Saya sering tertinggal jauh olehnya. Tapi, di situ bahayanya. Taman saya ini tahu kalau saya tak tahu rumahnya. Ia setiap kali menarik pedal gasnya jauh di depan saya , lantas menengok ke belakang untuk melihat apakah saya masih ada atau tidak.

Apa yang aneh dari obesitas dan naik motor? Pertama, ia tetap bisa melaju kencang layaknya pembalap liar di jalan yang bukan arena balapan. Bahkan lampu merah pun sempat sekali dihajar. Untung tak tertilang oleh polisi yang siaga di depan –mengingat setelah dia menerobos, pemotor berikutnya yang ikut menerobos menjadi santapan polisi yang dari tadi diam di kegelapan.

Kedua, setelah meninggalkan saya jauh di belakang, dia selalu menengok ke belakang dengan bantuan otot lehernya yang tertutup lampisan kulit yang berlebih. Kenapa harus menengok? Karena jangkauan kaca spion telah terhalang oleh tubuhnya yang lebih lebar dari stang motor.

Nah, jadi apa gunanya spion untuk teman saya yang obesitas begini? Tak ada! Selain untuk syarat memenuhi peraturan berlalu lintas. Mudah-mudahan ada seorang inovator yang baca, atau paling tidak orang tekniklah. Biar kegelisahan teman saya ini bisa teratasi.

Di balik badannya yang besar, ternyata teman saya menyimpan kegelisahan. Namun, di balik kegelisahannya, ia adalah orang yang baik, karena dengan tak bosan-bosannya menengok ke belakang untuk memastikan saya tidak ketinggalan.

Sampailah kita di rumah teman saya ini. Dan akhirnya, kami makan pakai ayam. “Jangan malu-malu, Bay. Belum tentu besok dapet rezeki kayak begini lagi,” ucapnya dalam. Sialan!

Rabu, 25 September 2013

Jenjong

Pernahkah elo membuat janji? Tentang apa saja kepada teman, sahabat, pacar, orang tua, atau saudara elo? Gue, jarang. Karena gue akuin kalo gue bisa melanggar janji itu karena kelemahan gue yang adalah seorang pelupa. Walaupun ingatan gue gag separah ingatan ikan yang bisa hilang dalam 3 menit (apa 3 detik yak? Lupa (tuh kan)).

Racau

Hari ini aku meracau
Membalikkan badan menuju jurang..
Menendang tiang sampai kaki ini memar..
Menangkap kibul dalam ucapan..

Hari ini aku meracau
Mereka bilang, "Untuk apa kau meracau."
Aku jawab, "Untukmu yang telah terbiasa mati rasa."

Hari ini aku meracau
Aku ingin memakan tangan..
Tapi aku benci darah..
Aku ingin terjun ke jurang..
Tapi aku takut kematian..

Hari ini aku meracau
Lelah melihat dunia yang kabur..
Menyaksikan kebiadaban yang lumrah..
Bosan dengan degalah yang wajar..

Datanglah..
Datanglah dengan lembut untuk menyelesaikan racauan ini

Selasa, 24 September 2013

Hug Me Like There's Tommorow~

Yeah...

Abominasi Zine: Setitik Semangat Berbagi di Kampus Jurnalistik

IISIP Jakarta, dulu bernama Sekolah Tinggi Publistik (STP), terkenal keunggulannya di bidang jurnalistik. Pada tahun 2011, saya masuk institusi ini dengan membawa hobi membaca dan menulis. Karena bayang-bayang citra sebagai “kampus jurnalistik” (saya akan selalu menggunakan tanda kutip untuk istilah itu), saya mengkhayalkan bagaimana kerasnya dinamika penerbitan/pers mahasiswa di kampus ini.

Namun apa yang saya rasakan ternyata sebaliknya. Kampus ini sepi media mahasiswa. Pertukaran ide melalui tulisan dan semangat berbagi informasi begitu minim. Waktu itu hanya ada dua media cetak yang saya tahu: Eleven (milik Himajur) dan Epicentrum.

Eleven hanya dua edisi saya lihat, setelah itu seperti tak ada sampai saat ini. Saya pun mendengar kabar Epicentrum bubar. Artinya, persis tak ada media yang saya baca, saat itu.

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan sebuah zine keren bernama Ruang Melati. Tetapi itu cuma satu kali. Kemudian saya menemukan Buletin Kinasih dan Berisik (milik Kremmasi). Kedua media inilah yang terakhir kali saya lihat. Namun di tahun 2013 semester ganjil ini, kedua media tersebut belum lagi muncul.

Kini media-media itu seperti tak jelas nasibnya.

Di sisi lain, saya pernah beberapa kali mendengar beberapa dosen jurnalistik mengeluh bahwa mahasiswanya banyak yang tak bisa menulis. Barangkali ketiadaan medium pembelajaran – dalam hal ini penerbitan mahasiswa – adalah salah satu penyebabnya. Karena, dengan adanya penerbitan mahasiswa, semua civitas akademi bisa belajar bersama mengenai jurnalisme, khususnya tulis-menulis. Kalau sampai lulus mahasiswa IISIP masih banyak yang tak bisa menulis, saya kira, cepat atau lambat, citra “kampus jurnalistik” yang sudah sedemikian melekat di kampus ini akan memudar sendirinya. Pembentukan citra tak cukup dengan hanya mengandalkan wajah Andy F Noya.

Saya juga tak tahu apakah HIMAJUR – yang (kata buku profil organisasi tahun 2011/2012) memiliki Divisi Kajian Jurnalistik – memikirkan permasalahan ini atau tidak.

Tetapi, di samping kekecewaan saya itu, hari ini saya mendapat hal menyenangkan: sebuah zine dari teman saya, Bayu. Yang membuat saya senang dari zine itu adalah saya mengetahui bahwa ternyata ada seorang mahasiswa IISIP yang secara mandiri membuat zine bernama Abominasi. Dialah Bima Putra.


Saya tak mau terlalu banyak membahas isi karena bukan itulah esensinya. Bagi saya, yang terpenting adalah semangatnya dalam berbagi informasi serta pemikiran. Dan Bima melakukan itu dengan menyebarkannya secara gratis seperti udara! Namun secara singkat, Abominasi fokus menulis musik-musik metal.

Yang menarik buat saya adalah bagaimana Bima memproduksi zine 44 halaman ini sendirian. Saya melihat semangat punk dari gambar-gambar, gaya tulisan, dan layoutnya. Gambar-gambar menggunakan tangan yang terkesan sangat cuek, gaya tulisan yang bodo amat, dan layout seadanya justru membuat zine ini menjadi menarik.

Itulah kelebihan dari zine ini. Karena itu, Bima seolah-olah mencubit pipi saya, menyadarkan saya bahwa menghasilkan karya tak perlu menghamba pada otoritas dan mengemis bantuan dari orang lain. Do it your self!

Maka, di tengah sepinya terbitan di "kampus jurnalistik", Abominasi adalah setitik semangat berbagi.


Bima dapat dikontak melalui:
twitter: @abominasizine
email: zineabominasi@yahoo.co.id

Kekal

Ilustrasi: Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit

“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat perpisahan,” Rani terkejut saat suara itu menggema di kamarnya.

Seperti biasa, setelah mendengar suara-suara di kamarnya, Rani lantas menggelar sajadah dan berdoa meminta perlindungan dalam malam yang sunyi, saat hanya suara binatang yang terdengar. Rani sudah tahu pasti bahwa suara itu akan menghilang dengan sendirinya setelah ia berdoa. Saat suara itu menghilang, Rani mencoba untuk kembali ke ranjangnya dan menutup tubuhnya dengan selimut hangat. Ia kembali tidur.

Sinar mentari mulai kembali lewat lubang-lubang yang menganga di antara kayu-kayu jendela. Perlahan, hangatnya mentari menyentuh kelopak mata Rani yang masih tertutup. Tak ada suara burung berkicau yang ikut menyapa paginya. Hanya suara dering alarm dari telepon genggam yang membuatnya sadar. Rani duduk sejenak di atas ranjang. Ia masih mengingat malam-malamnya yang menyeramkan, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membasuh tubuhnya dengan air yang masih dingin.

“Dalam ketenangan ini, akan kubacakan dosa-dosamu,” suara itu muncul lagi.

Rani yang tubuhnya masih basah, lantas kaget mendengar suara itu. Tak biasanya suara itu muncul di pagi hari. Itu adalah pertama kalinya suara aneh itu muncul di pagi hari. Rani mencoba tenang. Ia mengambil sajadah dan langsung berdoa. Namun, kali ini suara itu semakin kencang.

“Aku bukan iblis yang bisa kau usir dengan doa,” suara itu menantang.

Rani tetap berdoa. Suara itu semakin kencang dan semakin kencang lagi. Rani melafalkan doanya semakin kencang, mencoba mengalahkan suara itu. Hingga akhirnya ia tidak tahan lagi.

“Aaaaaaggghhhhhhhhh!!!!!!!!”

“Aku akan membacakan dosa-dosamu selama di dunia.”

“Hentikan! Hentikan! Jangan bicara lagi!”

“Wahai manusia, sadarlah! Kematian akan datang, dan aku akan membacakan semua dosa-dosamu.”

“Ampunnnn.....”
***

Warga kampung terlihat tegang. Bendera kuning telah terpasang di jalan-jalan yang mengubungkan ke rumah Rani. Orang-orang tua berlalu-lalang, sedangkan yang muda sedang sibuk meminjam keranda mayat dari kampung sebelah. Langit yang cerah mendadak hujan.

“Siapa yang meninggal?” tanya Tika, yang baru pulang kuliah, kepada sorang pemuda yang sedang memasang bendera kuning.

“Gak tau, saya hanya disuruh pasang. Pasti ada yang meninggal,” jawab pemuda itu singkat dengan tatapan mata yang menyeramkan.

Tika lantas meninggalkan pemuda itu dengan cepat, mengikuti arah benra kuning yang terpasang. Ia berjalan melewati jalan-jalan sempit. Pikirannya masih terbayang dengan tatapan pemuda yang menyeramkan tadi. Ia baru pertama kali melihat pemuda itu di kampungnya.

Sudah setengah jam ia berjalan, namun rumah duka tak juga ditemukan. Tikatetap berjalan dengan penuh keyakinan. Sampai di persimpangan, berdera kuning tak ada kelanjutan. Tika malah tersasar entah dimana. Saat menegok ke belakang, bendera kuning yang sebelumnya menyangkut di tiang-tiang listrik tiba-tiba menghilang. Tika panik. Ia melihat ke sekitar, namun tak ada seorang pun yang nampak. Langit yang carah namun meneteskan air hujan mendadak gelap.

Tika berdoa dalam hatinya meminta perlindungan. Ia mencoba tenang.

“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat perpisahan,” suara itu muncul dibarengi petir yang menyambar.

Tika yang berusaha untuk tenang tak bisa menahan kuasanya untuk berteriak. Ia meraung, meminta pertolongan kepada siapa saja.
***

Semuanya terjadi begitu cepat. Semua gelap. Yang terdengar adalah raungan kesakitan yang terasa sangat dekat. Suara-suara minta ampun sangat jelas terdengar. Bau busuk tak mau ketinggalan untuk mengambil bagian. Hawa panas menjaral dari ujung kaki sampai pangkal ubun-ubun. Yang terasa hanyalah suara, bau busuk dan hawa panas yang menyakitkan. Dalam kegelapan itu, suara itu muncul lagi.


“Ini adalah ganjaran bagi kalian yang hanya berdoa saat kesusahan. Nikmatilah! Nikmatilah segala hal yang pernah kalian lakukan.”

Senin, 23 September 2013

Sudahkah?



Sudahkah kamu......

Malam

malam
seuntai
kenangan

malam
setangkai
harapan

malam
seperih
doa

malam
sebenih
cinta

mencabut raga

Jebret!


Laporan langsung dari timnas Indonesia U 19. Jebret! Sayang sekali. Mari kita berdoa kepada yang maha kuasa agar Garuda Muda diberikan kemenangan.

Memasuki babak kedua. Harus konsentrasi. Harus tetap tenang mengahadapi serangan lawan. Jangan sampai Vietnam menguasai jalannya pertandingan. Meskipus stamina sudah cukup terkuras, namun pemain harus bisa tetap tenang.

Garuda Muda menyerang. Umpan satu-dua yang baik diperagakan oleh anak-anak bangsa dari Sabang sampai Merauke yang bersatu dalam tim Indonesia. Tendangan dilepaskan. Jebret! Sayang sekali. Mari kita berdoa kepada yang maha kuasa agar Garuda Muda diberikan kemenangan.

Pertandingan telah memasuki babak perpanjangan waktu yang pertama, skor masih sama kuat, kosong-kosong. Garuda Muda menyerang. Terlihat Maldini mengutak-atik pertahanan Vietnam. Jebret! Sayang sekali. Mari kita berdoa kepada yang maha kuasa agar Garuda Muda diberikan kemenangan.

Satamina yang terkuras jangan sampai menmbuat para pemain kita kehilangan konsentrasi. Fokus! Fokus tim Garuda Muda. Memang pada saat ini kita harus menjaga militansi –ini baru ngambil dari status facebook teman.

Akhirnya pertandingan yang menguras tenaga ini harus dilanjutkan dengan drama adu penalti. Mari kita berdoa, agar tim Indonesia diberikan kemenangan. Semoga pertandingan ini dapat menjadi momentum kebangkitan sepakbola negeri kita yang dahaga akan prestasi.

AKHIRNYAAA.... Akhirnya Garuda Muda bisa menyabet gelar yang telah lama dinantikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Gelar yang bisa dijadikan momentum kebangkitan sepakbola kita. Berikanlah aku sebelas anak muda, nicaya akan kuguncang dunia.

Alhamdu.... lillah!

Minggu, 22 September 2013

Dongeng Kera Manusia

Di sebuah pulau
Seekor kera kelaparan
Ia mencari pisang
Berlompatan dari pohon ke pohon
Dari ranting ke ranting
Dari waktu ke waktu
Dari sudut ke sudut

Lalu ia bertemu dengan manusia
Manusia itu seperti pengembara
Ia menggendong sebuah buntelan kurus
Sang Kera menunjuk-nunjuk ke arah sana
Manusia mengerti
Dibukakannya buntelan itu

Melihat sebuah pisang, Si Kera cepat-cepat mengambilnya lalu kabur
Tetapi Si Manusia tak marah
Ia malah tersenyum
Sebab dirinya masih punya sebuah pisang lagi di celana

Kemudian Kera itu pergi
Dan di perjalanan, Si Kera menemukan temannya kelaparan
Ia lalu menyuruh temannya untuk mengunjungi Si Manusia

Manusia kembali bertemu dengan seekor Kera
Tapi ia tak kaget
Tanpa membaca aba-aba, ia membuka buntelnya yang kosong

Si Kera yang melihatnya, langsung memasang tampang kecewa
Tetapi kemudian manusia mengeluarkan pisang di dalam celananya

Kera itu tersenyum
Manusia juga
Tapi senyum manusia lebih lebar dari pada Kera

2 Telinga 1 Mulut



Kawan saya pernah bilang kalo dia suka banget kalo curhat atau ngegalau ke saya. Ketika ditanya kenapa, katanya cuma saya kawan yang gag pernah memberi nasihat ato wejangan tanpa diminta. Waa... ^^

Doni Tak Pernah Jadi Tentara

Gambarnya minjem dari sini.

Badannya tegap, rambutnya cepak, matanya bulat dan perawakannya seram. Namanya Doni. Ia tinggal bersama kakeknya. Ayah ibunya sudah lama meninggal akibat kecelakaan saat sedang mencari ikan di laut. Umurnya belum sampai seperempat abad. Setiap makan, Doni selalu menenggak telur ayam kampung yang ia ambil dari kandang ayam neneknya.

Doni bukan tentara. Sebagaimanapun ia berusaha, Doni tak akan bisa jadi tentara.

Dari kecil, Doni selalu mengidolakan kakeknya yang seorang veteran perang. Kakek Doni selalu bercerita tentang peristiwa yang pernah ia alami saat perang dahulu. Kadang bercerita tentang betapa sulitnya melawan penjajahan yang kejam, sampai pengalaman mencuri senjata di markas Jepang untuk sebuah kemerdekaan. Sering kali kakek Doni memamerkan luka di perutnya akibat tertembus peluru saat sedang melarikan diri sehabis mencuri senjata di markas Jepang. Kakek Doni bercerita dengan penuh kebanggaan. Doni menganggap kakeknya adalah pahlawan sejati, yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya.

“Jadi tentara dulu itu bukan karena jadi pns, tapi perjuangan. Bagi kakek, mencuri di markas penjajah itu hukumnya halal,” ucap kakek kepada Doni yang selalu mendengarkan tanpa interupsi.

Kakeknya selalu dianggap Doni sebagai seorang pahlawan, walaupun pernah mencuri senjata dari Jepang.

Doni kecil tumbuh dari cerita kakeknya. Ia dibina menjadi lelaki yang kuat dan berani untuk menghadapi kenyataan. Setiap hari disuruh lari keliling lapangan dari azan Ashar sampai Magrib menjelang. Makanan yang diberikan kakek, selalu dicampur dengan telur ayam setengah matang, lebih sering telur yang diberikan tidak matang sama sekali. Hidupnya penuh dengan kedisiplinan. Namun seberapapun Doni mencoba, ia tak mungkin jadi tentara.

Hari-hari si Doni kecil selalu diisi dengan latihan bersama kakeknya. Kadang bermain perang-perangan dengan teman sebayanya. Sering mereka sampai adu jotos karena yang tertembak tidak terima. Pernah suatu hari, gigi Doni copot akibat temannya yang menghantamkan pistol kayu mainan ke rahangnya. Namun Doni tetap suka bermain perang-perangan. Namun seberapapun Doni menyukai perang, ia tak akan bisa jadi pahlawan nasional dalam sebuah perang.

Pernah suatu ketika, saat Doni baru lulus sekolah menengah pertama, ia diajak oleh temannya untuk mengikuti tes masuk militer. Namun ajakan itu ditolak karena Doni merasa belum siap dana dan tenaga untuk menjadi tentara. Padahal di kampungnya, seorang tentara sangat dihargai. Setiap ada tentara pakai pakaian seragam lewat, setiap orang yang melihat langsung menundukkan kepalanya. Itu dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada tentara. Maklum, di kampung Doni, hanya seorang tentara yang rumahnya dipasang pagar berduri. Namun, betapapun dihargainya seorang tentara di kampungnya, tak ada satu orang pun orang asli kampung itu yang jadi tentara.

Saat Doni mulai beranjak remaja, orang-orang kampung selalu menganjurkannya agar setelah lulus sekolah langsung ikut tes militer. Doni hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, tanda setuju.

“Don, nanti kalau sudah lulus, cepet-cepet ikutan tes tentara. Badanmu mantep, fisikmu mantep. Jendral pun mental, kalau kamu ajak berantem,” ucap seorang warga desa saat Doni sedang duduk di pos ronda.

Doni pun selalu memimpikan suatu saat nanti bisa jadi tentara. Namun, mimpi itu hanya mimpi. Doni pun tak pernah menjadi tentara. Ia hanya cucu dari seorang veteran perang yang kadang kekurangan beras untuk makan.

Kabarnya, ada seorang maling yang mati tertembak karena mencoba mencuri beras dari rumah tentara di kampungnya Doni. Muka maling itu habis ditimpah popor senapan.

Seberapapun Doni mencoba, ia tetap tak pernah menjadi tentara.

Sabtu, 21 September 2013

Wild Wild West

Koboi berkaki buntung

Kisah Si Pemotol Kontong

Apa kebahagiaan yang labih sederhana selain tidur delapan jam dan menghirup udara pagi sebelum matahari benar-benar muncul dan asap knalpot mulai mengepul? Betapa senangnya Riko masih merasakan itu. Suara kukuruyuk membangunkannya. Maka mekarlah senyum dari bibirnya bagaikan bunga yang tak akan layu walau tak disiram. Matanya, yang baru bangun tidur itu, berbinar sebagaimana satu titik cahaya di kegelapan. Rambutnya yang berantakan tetap terlihat seperti padang rumput hijau layaknya latar dansa di film India.

Riko adalah lelaki rupawan. Tetapi ia tak punya pacar. Entah apa alasannya untuk tetap hidup tanpa pacar. Selain itu Riko juga bukan mahasiswa, bukan pengusaha, bukan pekerja. Ia telah memilih jalan pengangguran sebagai cara bersyukur dan merayakan hidup.

Dan pagi yang indah ini adalah pagi seperti biasanya. Pagi seperti dua puluh tahun lalu, saat Riko masih TK. Kini umurnya dua puluh lima. Ia tetap menolak tua dan selalu punya cara menghadapi hari agar selalu bahagia tanpa rasa bosan.

Waktu TK dulu, Riko memang pernah merasakan pengalaman aneh. Di TK itu, di saat teman-temannya sibuk bermain mobil-mobilan, robot-robotan, boneka-bonekaan, serta suster-dokteran, Riko tak ikut serta. Ia diam saja. Namun bukan berarti ia tak diajak main. Ia memang tak tertarik. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah gunting di meja gurunya. Gunting yang runcing, yang kemilau di ujung matanya. Riko tersenyum melihatnya. Ia mainkan gunting itu untuk memotong rambutnya. Lalu Riko tertawa. Kemudian ia gunting lagi rambutnya. Dan ia semakin keras tertawa. Ia gunting lagi, tertawa lagi, sampai rambut di kepalanya seperti gundu bopak.

Setelah itu, seperti tak puas, ia gunakan gunting itu untuk memotong penisnya. Tak ada guru yang melihat. Riko sendiri di kamar mandi seolah-olah ia tahu bahwa perbuatan yang menyenangkan itu akan dirusak oleh orang-orang yang melihatnya. Maka diguntinglah penisnya yang kecil itu. Darah berceceran, penisnya putus sepanjang kuku. Tapi ia tak kesakitan. Ia tertawa. Ia keenakan. Perbuatannya itu terus ia lakukan seperti ia memotong rambutnya tadi.

Saat ia keluar kamar mandi, semua orang panik. Darah mengucur dari celananya, berceceran di lantai. Lalu seorang guru, perempuan manis berkerudung, dengan tergesa-gesa tanpa rasa malu membuka celana Riko. Ia memeriksa penisnya. Riko baik-baik saja.

Setelah kejadian itu, malamnya, Riko menggaruk-garuk penisnya. Ia merasakan gatal di bagian sana. Ia memeriksanya dan ia temukan sebuah pohon beringin tubuh menyambung dengan penisnya. Riko tersenyum gembira seperti ceria. Pohon itu lebat. Riko berpikir, kelebatan itulah yang membuatnya gatal. Maka ia potong lagi penisnya dan gatal pun hilang.

Keesokan paginya, Riko terbangun dan iseng mengecek penisnya seperti sebuah kerinduan. Ditemukanlah tiang listrik tumbuh menyambung dengan penisnya. Ia tertawa terbahak-bahak. Lalu ia ambil gunting dan memotongnya.

Itulah yang ia kerjakan selama hampir dua puluh tahun ini. Riko selalu memotong penisnya dan melihat apa saja tumbuh dari penisnya. Pepohonan, tiang listrik, pulpen, suling, dan sudah banyak benda yang berulang kali tumbuh dari penisnya.

Riko, lelaki rupawan yang selalu bahagia. Ia tak ingin bekerja. Ia tak ingin pacaran. Ia tak ingin uang. Ia tak ingin cinta. Ia hanya ingin memotong penisnya.


Ngebut Ngepot Ngesot Ngen.. !

Seorang remaja Rudi masih berumur 15 tahun, masih segar sebagai anak muda. Pokoknya masih banyak aksi lah. 

Rudi, memiliki motor bebek yang merupakan hadiah dari orang tuanya. Orang tuanya berharap dengan motor tersebut Rudi tidak terlambat ke sekolah. Ya, semenjak ada motor tersebut, Rudi terlihat rajin berangkat ke sekolah. Rudi juga mengaku kepada orang tuanya bahwa dengan motor tersebut, ia tak pernah terlambat datang ke sekolah. Rasanya Rudi ingin membuat orang tuanya lega dan membenarkan keputusan orang tuanya yang telah membelikannya motor. 

Tapi, motor bukan sekedar alat agar dirinya tidak terlambat. Rudi melupakan bahwa di balik kendaraan tersebut terdapat norma yang harus ditaati. Rudi harus menaati peraturan lalu lintas. Rudi tidak boleh berkendara secara ugal - ugalan. Tapi di tempat Rudi tinggal, tidak banyak juga orang yang memahami aturan - aturan berlalu lintas. Lingkungan lalu lintas tersebut akhirnya menular pada diri Rudi. Rudi menjadi anak yang tidak memahami lalu lintas. 

Suatu hari sehabis sekolah, Rudi tidak langsung pulang. Ia di ajak temannya untuk berjalan - jalan menggunakan motornya. Sekedar untuk mencari tempat nongkrong. Di tempat nongkrong ini, diam - diam Rudi juga merokok. Jika orang tuanya tahu, habislah dia. Ayah Rudi adalah seorang perokok, tapi ia tidak menginginkan anaknya merokok. Lantas Ayah Rudi melarang keras anaknya merokok. Tapi Rudi hanya anak berumur 15 tahun. Ia masih muda dan ia ingin mencoba.

Telepon genggam milik Rudi berdering. Rupanya orang tuanya menelpon. Hanya untuk menanyakan keberadaan dan apa yang sedang dilakukan Rudi. Rudi bilang, ia mampir ke rumah temannya, hanya untuk beralasan. Orang tuanya meminta agar Rudi pulang dulu. Sekedar mengganti pakaian lalu Rudi dipersilahkan untuk pergi ke rumah temannya lagi. Akhirnya Rudi menuruti perintah orang tuanya. Ia pulang dan kebetulan temannya yang sedang nongkrong juga ikut pulang. 

"Rud, kita tes motor yuk, kenceng - kencengan", kata temannya. Rudi setuju lalu merekapun berbalapan dengan motornya masing - masing. Rumah teman Rudi tidak jauh dari rumah Rudi, jadi mereka berdua pulang mengambil jalan yang sama. Mereka memacu motornya pada kecepatan lebih dari 80 Km/jam. Temannya unggul jauh di depan Rudi. Rudi semakin panas karena tertinggal jauh, ia pun menggila. Rudi telah melupakan resiko sebagai pengendara motor. 

Beberapa meter di depan Rudi, seorang pemuda menyeberang jalan. Rudi yang sedang berada di kecepatan tinggi kagok melihat situasi tersebut. Refleknya terlambat untuk menarik tuas rem. Ia menyerempet pemuda tersebut. "Ngentot !" sentak pemuda tersebut setelah ia terjatuh. Pemuda tersebut terlihat baik - baik saja setelah diserempet. Pemuda tersebut menghampiri Rudi. Ia melihat kondisi Rudi, lalu ia seperti menyesali kata - katanya. Pemuda tersebut melihat Rudi tergeletak di jalan tak sadarkan diri. Rudi pingsan. Lengan kirinya patah dan kakinya dipenuhi darah. Kondisi motornya parah. Sepertinya membutuhkan banyak biaya untuk memperbaikinya.

Rudi masuk rumah sakit, Rudi juga dikenakan denda karena berkendara tanpa SIM. Seorang pemuda yang menyeberang juga dituntut untuk bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Tanpa saya tahu apa kelanjutannya. Proses yang rumit harus dilalui keluarga Rudi dan pemuda tersebut atas kecelakaan yang terjadi.

Rudi hanya lugu. Ia tidak tahu. Ia masih muda. Ia masih harus belajar tentang lalu lintas. Tetapi apa yang membuat Rudi berani melakukan tindakan demikian padahal ia belum tahu banyak urusan lalu lintas ?




Malam ini aku mencoba menulis
Mengalir hingga Rudi berakhir tragis





Nyanyian Sendu dari Kamar Asih

Ilustrasi yang sangat menginsprirasi oleh: Renny Rumhil

Twinkle, twinkle, little star... How i wonder what you are... Up above the world so high... Like a diamond in the sky... Twinkle, twinkle, little star... How i wonder what you are...

Suara nyanyian itu terdengar lagi dari kamar Asih. Seperti biasa, setelah nyanyian terdengar, suara tangisan akan menyusul dari kamar bernomor 13 di ujung koridor. Suaranya lirih seperti orang yang kesakitan. Aroma melati pun akan segera menyusul saat semua mulai tenang.

Kamar itu sudah lama dihuni oleh Asih, seorang mahasiswi jurusan sejarah di salah satu universitas swasta. Selain kuliah, ia juga menyibukkan dirinya dengan bekerja di sebuah majalah yang berorientasi pada anak muda. Para peghuni yang lain sudah hapal betul jadwal Asih menangis. Setiap malam Jumat, ketika azan isya sudah dekat. Tak ada yang heran, tak ada yang mempedulikan.

Awalnya, Asih tak pernah menangis dalam kamar. Ia selalu riang ketika pulang ke kamar kosnya. Asih juga dikenal ramah oleh para penghuni lainnya. Setiap ada waktu luang, tak jarang dihabiskan untuk mengobrol hingga larut malam bersama penghuni yang lain. Hingga suatu malam yang merubah semuanya.

Kejadian malam itu bermula saat ada seorang pemuda tak dikenal masuk ke kamar Asih. Tak ada penghuni lain yang menyadari kehadiran pria tersebut. Asih yang sudah tertidur pun tak bisa merasakan hawa kelam yang dibawa oleh pria tersebut. Pria yang entah dari mana datangnya tersebut merasa kaget melihat Asih yang biasa tertidur tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Adegan pemerkosaan pun dimulai. Asih berusaha memberontak dengan sekuat tenaga, namun pria tersebut terus menerus menindihnya. Pria itu semakin ganas menindih tubuh Asih yang mulai terkulai tanpa perlawanan.

“Aku akan membawamu ke langit tinggi. Melihat bintang, menemukan surga dalam kedamaian,” bisik pria itu sambil menindih Asih.

Asih semakin lemas tak kuasa untuk melawan. Ia semakin terbawa oleh bisikan pria tersebut.

“Lepaskanlah.. Biarkan tubuhmu mengalir dalam gairahku.”

“Baiklah, mari kita nikmati permainan ini,” ucap Asih lirih sambil menancapkan pisau ke tubuh pria itu.

Asih menggila. Tubuh pria itu dirobek-robek dengan pisau yang digenggamnya. Perlahan, Asih memasukan satu per satu bagian tubuh si pria ke dalam mulutnya. Melahapnya rakus tak tersisa. Hanya darah yang bececeran di mulut yang menjadi saksinya.

Semua berakhir begitu saja. Asih tertunduk lemas dengan pisau berlumuran darah di tangan kirinya, dan pulpen di tangan kanannya, yang dengan sendirinya menuliskan kejadian tersebut di pangkal pahanya. Pria yang memberkosanya telah menyatu dengan dirinya, menjadi bintang di hatinya.


Tak ada yang tahu tentang kisah ini kecuali aku, kau, dan Asih.

Jumat, 20 September 2013

Jembut

Jembut barangkali lebih panjang dari bulu jambang dan janggut. Tapi keberadaannya selalu saja disembunyikan atas nama peradaban, moral, dan etika. Jembut adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang Tuhan berikan, tetapi sekaligus sesuatu yang manusia tolak.

Jembut yang saya maksud adalah rambut-rambut  yang letaknya di sekitar kemaluan. Ada tiga bentuk jembut: jembut yang dibiarkan panjang, jembut yang dirapikan, dan jembut dipotong plontos (malah ditindik). Slavoj Zizek pernah menganalisis bentuk-bentuk jembut di vagina perempuan. Pemikir kontemporer Marxis-Lacanian itu mengatakan bahwa bentuk-bentuk tersebut bukan tak memiliki makna.

Bentuk-bentuk jembut itu mengandung ideologi. "Jembut yang tumbuh liar dan acak-acakan menunjukkan perilaku spontan alami dari kaum hippies; kaum yuppies lebih suka prosedur disipliner ala taman di Prancis (bentuknya adalah cukuran rapi di sisi yang dekat paha, sehingga yang tersisa adalah alur tipis di tengah dengan garis potongan yang rapi); sedangkan untuk perilaku punk, vaginanya dicukur bersih dan dihiasi dengan anting (yang biasanya ditindikkan ke clitoris)." [1]

Sudahlah. Postingan ini memang tanda bahwa saya sedang tak punya ide apa-apa. Tapi mengapa harus jembut?



[1] http://indozizekian.blogspot.com/2011/10/jamban-jembut-dan-ideologi.html

Ketika

Ketika pintu hati tidak lagi dapat diketuk
Ketika nafsu mengalahkan nurani
Dan ketika jerit tangis tak lagi di dengar
Maka hanya ada satu kata, PERANG!

Kabarnya Tono Menang Lotre


Kabarnya Tono menang lotre. Kabar tersebut disiarkan lewat toa langgar yang berada tepat di pinggir lapangan merah dekat rumah Mak Iyem, seorang dukun beranak yang dianggap sebagai sesepuh kampung. Warga kampung serentak gempar, mencari-cari Tono, meminta mengadakan selametan untuk keselamatan kampung dan para pemenang lotre. Sudah menjadi tradisi bila ada yang menang lotre, maka ia harus mengadakan selametan berupa makan-makan agar kehidupannya diberkahi.

Tono adalah pemuda biasa di kampung Coblos. Ayahnya pensiunan kepala desa, namun Tono tak pernah mau kalau di suruh sekolah. Kesehariannya dihabiskan dengan membajak sawah, memandikan kerbau, dan kalau ada waktu luang ia habiskan untuk menggoda gadis-gadis berkerudung yang ingin berangkat ke langgar.
***

Meskipun tak pernah sekolah, Tono dikenal tidak suka main lotre. Ia selalu menolak ketika diajak pasang lotre. Namun teman-temannya selalu meminjam uang ketika mereka ingin pasang. Tono selalu meminjamkannya, namun tak pernah ikutan.

“Lotre itu haram. Mending duitnya dipake untuk beli sabun mandi si Acong, biar lebih bermanfaat,” selalu begitu ucapnya ketika teman-temannya mengajaknya ke pos kamling untuk masang lotre.

“Lotre itu yang lebih bermanfaat, Ton. Kalau menang, bikin selametan, bikin senang orang kampung,” ucap teman Tono.

“Iya, tapi pake... ”

“Yaudah, kalo gak mau ikut ya gak usah ceramah, gak usah seperti yang paling suci. Pinjem duit aja sini, bulan depan aku ganti. Kamu urusin Acong aja.”

Acong adalah teman bermain Tono sejak kecil. Ketika Tono lahir, Mak Iyem diupahi sepasang kerbau oleh bapaknya Tono. Mak Iyem lantas menghadiahi Tono seekor anak kerbau saat dirinya tepat berumur tujuh tahun. Semenjak itu, Tono selalu bermain dengan Acong.

Acong menjadi alasan Tono untuk tidak bermain lotre. Pernah suatu hari Tono bersama Acong pergi ke pos kamling untuk memasang lotre. Namun Acong mendadak ngamuk. Orang-orang di pos pada berlarian tak tentu arah. Ada satu satu orang yang tewas akibat insiden tersebut. Perutnya tertusuk tanduk Acong yang masih tajam. Semenjak itu, Tono tak pernah berniat sekalipun untuk memasang lotre.

Kampung Coblos memang terkenal dengan lotrenya. Sudah turun temurun. Nenek moyang mereka mengajarkan untuk bermain lotre, agar hidup mereka penuh dengan pengharapan kepada Tuhan. Setiap bulan, pasti warga kampung menggelar selametan untuk memberi keberkahan kepada pemenang lotre. Semua kegiatan lotre di kampung Coblos sudah menjadi tradisi. Tak ada yang berani melarang, kecuali Acong yang hanya seekor binatang.

Di suatu malam, saat warga mulai merasa resah terhadap kelakuan Acong, langit berwarna merah. Suara kodok dan jangkrik tenggelam dalam suara peletikan api yang menyambar dari sebuah kandang kerbau, tempat di mana Acong tinggal. Tono yang sedang tertidur lelap tak mengetahui apa yang terjadi. Saat matahari datang, Tono menangis histeris kandang Acong sudah habis. Ia mencari tulang belulang Acong, namun tak pernah ditemukan. Tidak ada seorang warga pun yang mengetahui kejadian tersebut. Hanya ada satu saksi mata, Mak Iyem. Ia melihat ribuan bayangan putih menyemburkan api, membakar kandang Acong. Tapi sebelum membakar kandangnya, para bayangan putih itu membawa Acong terbang ke langit.

Tono tak percaya dengan ucapan Mak Iyem. Ia pergi ke kali untuk menyendiri. Saat senja tiba, Tono terlihat berada di pos kamling memasang lotre. Itu terakhir kalinya ia terlihat di kampung Coblos.
***

Ketika kegemparan warga kampung belum surut mengetahui Tono menang lotre, burung camar membawa kabar bahwa ada mayat lebih dari sebulan mengambang. Tono mati bunuh diri dengan tangan memegang golok yang menancap dalam perutnya.

Kamis, 19 September 2013

Kau Memang Menyedihkan



Kau memang menyedihkan adalah membicarakan orang di belakang.

Kau memang menyedihkan adalah mencari kawan untuk membenci seseorang.

Kau memang menyedihkan adalah ingin berteater di kampus namun tak berdaya karena status tak memungkinkan.

Kau memang menyedihkan adalah tak punya kuasa untuk berbicara.

Kau memang menyedihkan adalah mengurusi orang lain.

Kau memang menyedihkan adalah bergantung pada sesuatu.

Kau memang menyedihkan adalah bermuka dua.

Kau memang menyedihkan adalah ceriwis di belakang lubang pantat.

Kau memang menydihkan adalah pura-pura tak ada apa-apa.

Kau memang menyedihkan adalah menjadi seolah-olah tak punya daya untuk membuat hidup lebih bermakna.

Kau memang menyedihkan adalah menjadi tertawaan karena kau memang menyedihkan.

She’s Christian. So What?!

Beberapa minggu yang lalu pemberitaan cukup rame sama Lurah Lenteng Agung yang ditolak warga. Kenapa kah? Karena dia perempuan dan bukan seorang Muslim. Gue yang baca berita macem gitu cuma ber ‘what the?’ aja.

Diana dan Ratusan Anjing Hitam


“Tolong.... Tolong! Anjing!! Mampus lo.. Bakar!!” Suara itu masih tengiang di telinga Diana. Terus terngiang dan semakin memuakkan. Diana hanya bisa duduk diam sambil menangis. Ia mencoba bergerak, namun tak bisa. Ia mencoba mengencangkan tangisannya, namun malah semakin tak terdengar.

Malam menjadi semakin suram. Puluhan anjing hitam yang lewat di jalan itu tampak acuh saat melihat Diana yang kesepian. Burung-burung yang tadinya diam, mendadak pergi berhamburan bersama angin yang semakin kencang. Diana masih duduk lemas tak kuasa untuk bersuara. Matanya yang basah seperti dapat menembus ruang dan waktu, melihat sebuah kenangan. Masa saat ia masih lincah untuk melawan, saat hidupnya yang penuh luka dimulai. Dendam yang membara dalam diri Diana tak akan bisa terlupakan semenjak lelakinya hilang.
***

Sekitar 15 tahun yang lalu, Diana adalah seorang mahasiswi yang bergelora. Nyanyiannya selalu terdengar sampai seluruh pelosok kota. Tugasnya sabagai mahasiswi ia habiskan bersama teman-temannya mengusir ratusan anjing liar berwarna hitam yang sudah lebih dari seperempat abad meneror kotanya. Konon, anjing hitam itu adalah titisan dewa yang datang dari sebuah tempat yang penuh dengan kebebasan.

Pada mulanya, hanya ada satu anjing saja. Anjing itu terlihat lucu dan menggemaskan, sehingga warga kota menyayanginya seperti bagian dari keluarganya. Anjing itu begitu berani. Kalau ada yang mencuri langsung habis perutnya dirobek oleh si anjing hitam, lalu bangkainya di lemparkan ke pasar. Semua warga kota merasa aman, sekaligus ketakutan.

Anjing yang mulanya hanya satu, menikah dengan anjing kampung lalu beranak pinak menjadi sebuah koloni yang menyeramkan. Warga kota mulai panik akibat kelakuan si anjing hitam yang semakin sewenang-wenang. Rasa sayang berubah menjadi ketakutan.

Pernah suatu ketika ada seorang raga yang meludahi salah satu anjing hitam, keesokan hatinya ditemukan mati tergantung di sebuah monumen kebanggaan kota tersebut. Suasana semakin mencekam akibat teror yang dilakukan oleh anjing hitam. Para pemuda  kota hanya sedikit yang berani melawan. Kebanyakan mereka yang dengan lantang menyerukan peperangan terhadap anjing hitam, esoknya sudah hilang tak ditemukan.
***

Diana tumbuh di bawah ancaman anjing hitam. Hidupnya penuh aturan. Namun semua berubah ketika ia memasuki perguruan tinggi. Di sana, ia mengenal seorang lelaki pemberani yang selalu membawa pedang. Membawa pedang adalah simbol bagi mahasiswa pemimpin gerakan di kota. Lelaki si pembawa pedang itu selalu mengajarkan Diana untuk melawan para anjing hitam yang sudah semakin beringas.

Suatu malam, mereka menyusun rencana untuk melakukan serangan kepada komplotan anjing hitam. Diana begitu bersemangat. Selain lelaki si pembawa pedang yang membangkitkan semangatnya, ia juga rindu akan kebebasan yang pernah dialaminya saat masih di kandungan ibunya.

Akhirnya serangan dari mahasiswa dimulai. Kota yang sebelumnya sudah menakutkan menjadi tambah mengerikan. Ledakan terjadi di setiap sudut bangunan, anjing-anjing hitam banyak yang terkapar, mahasiswa yang membawa pedang satu per satu menghilang. Diana mulai khawatir terhadap lelakinya. Ia selalu menasihatinya untuk bersembuyi di kontrakkan selama suasana belum tentram.

“Aku akan pulang. Selalu pulang.” Hanya kalimat itu yang terucap dari si lelaki pembawa pedang saat Diana merayu lelakinya untuk pulang.

Ketika peperangan dengan kaum anjing hitam sedang parah-parahnya, Diana tak sedikit pun berniat untuk pulang. Ia ingin tetap bersama teman-temannya yang semuanya membawa pedang. Tiba-tiba langit menghitam. Dalam sekejap seluruh mahasiswa pembawa pedang menghilang dan anjing-anjing pingsan. Warga kota dengat cepat menangkap para anjing yang pingsan dan memasukkannya ke dalam kandang besi, berharap para anjing hitam itu bisa jinak. Diana terdiam. Ia mancari lelakinya di tengah kerumunan warga kota yang merayakan kemenangan. Tapi, si lelaki pembawa pedang tak pernah lagi terlihat.

Hari ini, mahasiswa pembawa pedang menjadi sebuah legenda yang pernah menjinakkan anjing hitam. Namun, tak semua warga percaya legenda tersebut. Mereka lebih percaya bahwa anjing-anjing hitam itu telah jinak oleh alam, dan mereka memeliharanya seperti binatang kesayangan. Dan, satu per satu anjing hitam mulai kembali dibebaskan berkeliaran di jalan.

Rabu, 18 September 2013

Rabu


Saya bosan membuat cerita seperti dua hari kemarin. Jadi saya cerita tentang hari ini saja.

Ada yang aneh hari ini. Rabu memang selalu menyebalkan buat saya. Sudah empat semester ini, setiap hari Rabu, saya mendapat kesusahan dalam kuliah. Selalu saja ada mata kuliah saya yang absennya habis. Akibatnya, saya harus mengulang beberapa mata kuliah.

Dan di hari Rabu ini, saya kembali merasakan betapa malasnya kuliah. Kuliah saya jam satu siang. Saya tidur jam empat pagi, setelah menonton Real Madrid melawan Galatasaray. Lalu saya terbangun jam 11 siang karena alarm saya berbunyi.

Meski saya sadar kampus saya terletak cukup jauh, saya tidur lagi sampai jam setengah 12. Saya lalu cuci muka dan makan roti. Di kamar, hanphone saya berbunyi. Tapi saya abaikan.

Setelah selesai makan roti, saya tengok handphone saya. Ada missed call dari nomer tak bernama. Saya kira, itu nomer telepon kantor kakak saya. Tetapi, ketika saya tanya melalui bbm, ia bilang ia tak coba menelepon saya.

Namun kemudian kakak saya menanyakan kapan pengumuman lomba Kompetisi Esai Mahasiswa Tempo. Saya jawab satu Oktober. Tapi saya ragu.

Melihat nomer yang tadi coba menelepon itu, saya seperti tak asing. Barangkali itu nomer Tempo Institute. Saya bisa menduga seperti itu karena sebelumnya saya pernah dikontak oleh Tempo Institute, setahun lalu, karena saya memenangkan lomba review berita Tempo.

Saya pun langsung membuka kembali website Tempo Institute. Namun website tak kunjung terbuka karena koneksi internet saya terasa alot.

Tiba-tiba, nomer tadi kembali menelepon saya. Saya angkatlah cepat-cepat. Dan ternyata, benar saja, telepon itu dari Tempo Institute yang mengabarkan bahwa salah satu naskah kiriman saya terpilih dalam 30 besar.

Tanah Surga, Katanya...

Seketika terngiang lirik lagu Koes Ploes yang judulnya Kolam Susu ketika dosen Sistem Komunikasi Indonesia (SKI) memaparkan data apa saja yang diimpor oleh Indonesia. Kira-kira begini liriknya:
“Orang bilang tanah kita tanah surga... Tongkat kayu dan batu jadi tanaman...”

Salam Perkenalan


Selamat pagi. Sudahkah Anda memilih untuk jadi apa di pagi ini? Menonton bola? Tidur berselimut di atas kasur? Atau malah membayangkan visual-visual telanjang, lalu mengakhirinya dengan tangan telanjang? Betapa beragamnya pilihan di pagi ini. Semua memilih untuk paginya, yang akan memberikan pengaruh besar terhadap menit-menit berikutnya.

Andai saya bisa memilih, namun tak bisa. Pagi saya tak mau memilih. Padahal saya memilih untuk tidur, namun tak bisa. Yasudahlah, menulis lalu nonton bola rasanya bukan paksaan yang sangat buruk.

Oh iya, di Salam Perkenalan ini saya akan menceritakan tentang diri saya dengan segala bias yang ada. Awalnya, saya hanyalah manusia biasa yang lahir dari dua manusia yang berlainan jenis kelamin. Lalu saya dan teman-teman saya memulai proyek 30 hari menulis ini, lalu saya harus menulis setiap hari selama sebulan, kalau tidak, akan kena sanksi. Dan akhirnya, sampai sekarang saya masih manusia biasa. Apa yang patut diceritakan? Tak ada. Saya hanya sedang ingin menulis apa saja yang ada di kepala.

Oh, wahai pembaca. Jangan kesal, jangan gundah gulana. Saya sedang tak berusaha memberikan kesan yang baik pada Anda sebagai pembaca. Saya hanya ingin menyapa Anda satu per satu, pun rasanya terlambat karena blog ini sudah berjalan hampir setahun. Namun tak ada salahnya untuk kita bersapa-ria dan saling tertawa.

Sudahlah, sebaiknya Anda tinggalkan tulisan ini sekarang. Saya juga akan meninggalkan blog ini untuk menonton bola –sebagai salah satu bentuk pemanfaatan fungsi televisi yang paling berkualitas, apalagi melihat pertama kali Gareth Bale bermain di Liga Champions. Namun sebelum pulang, mari kita bersalaman untuk saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang. Salam kenal. 

Selasa, 17 September 2013

Kenangan Di Pantai

Semilir angin berhembus
Menebarkan aroma khas
Yang selalu aku sukai dari dulu

SUATU HARI NANTI KAU AKAN TURUN KE BUMI

Foto dicuri dari Jimijiz.

“Kami percaya, suatu hari nanti kau akan turun ke bumi.” Kalimat itu terdengar terus berulang dari ruang anak kelas lima SD. Mereka tak sedang diajari hal-hal aneh oleh Pak Guru, layaknya siswa Helton dibina menjadi pembangkang oleh Robin Williams dalam film Dead Poets Society.

Di ruangan itu tak ada Pak Guru. Meja dan bangku masih tersusun rapih. Namun tak ada satu pun anak yang menggunakannya. Dua puluh delapan anak itu lebih memilih duduk melingkar di depan papan tulis. Mereka duduk rapat. Matanya terpejam dan tangannya saling genggam. Tak ada sedikit pun canda.

Dalam suasana yang sunyi, mulut mereka tak henti-hentinya mengucap kalimat tadi. “Kami percaya, suatu hari nanti kau akan turun ke bumi.”

Saya teringat dengan orang-orang yang bertasbih di mesjid. Karena begitu serius dan fokus, orang-orang itu sampai tak sadar badannya bergoyang sendiri. Rasanya begitu magis. Begitu gaib. Seolah-olah ada dunia yang menyelimuti dunia nyata, tanpa terlihat.

Mungkin apa yang dilakukan oleh anak-anak itu bukan yang pertama kali. Mungkin selalu mereka lakukan setiap kali tak ada Guru. Entah apa yang mereka rasakan lewat bertasbih semacam itu.

Kalimat tersebut masih tak putus mereka ucapkan. Kali ini lebih keras. Juga lebih cepat. Lambat laun seorang dari mereka ada yang berdiri. Tubuhnya gemetar seperti kejang. Matanya tertutup. Ia berjalan menuju pintu kelas, tapi kemudian balik lagi. Ia mengitari deretan bangku dan meja kosong.

Tak beberapa lama, seorang lainnya ikut berdiri. Kemudian seorang lagi. Lalu seorang lagi. Terus begitu sampai dua puluh delapan anak itu semuanya berdiri.

Terus diucapkannya kalimat itu. Kini keadaan semakin rumit ketika gerakan mereka saling tak beraturan.

Saya, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, tiba-tiba melihat wujud mereka berpendar. Rasanya seperti di batas antara nyata dan mimpi. Lalu saya tak percaya, saya melihat seseorang menjelma Yesus di sana. Ada juga yang berubah Power Rangers. Ada yang berubah Doraemon. Ada yang terlihat Socrates, Kurt Cobain, Marlyn Manson, bahkan Soekarno. Yang paling membuat saya tercengang adalah sosok ular berkaki empat, seperti cerita dalam Al-Kitab.

Dan panas siang itu secara cepat menjadi dingin. Hitam menjadi putih. Tinggi menjadi pendek. Dan semua hal berubah menjadi yang bukan dirinya. Tetapi mereka masih belum juga berhenti bertasbih, “kami percaya, suatu hari nanti kau akan turun ke bumi.”

Sebuah Mixtape Kecil untuk Mendengarkan Radiohead

Sambil menenggak minuman sehat, terdengar sayup-sayup lirik berbunyi, “Climbing up the walls.” Ya, itu adalah lagunya Radiohead! “Radiohead is too mainstream,” begitulah Taufiq Rahman menulis dalam esainya. Tapi peduli setan, liriknya enak sambil menemani meminum intisari susu sebagai pelengkap lima sempurna sehabis makan. Bahkan kaki saya ikut bergoyang tak henti-hentinya, seperti saat di dalam kelas menanti jam pulang.

Saya sedang tidak berusaha menafsirkan lirik lagu tersebut. Saya hanya menuliskan apa yang saya ingin tuliskan. Baiklah, mari kita awali dengan ‘Menari’ bersama Tigapagi, sebelum membahas tentang lirik yang sayup-sayup terdengar tadi. ‘Menari’, dengan suara senar gitar yang bersahut-sahutan, begitu mudah untuk membawa saya ikut bernyanyi, sampai saya lupa kalau kematian sedang menghampiri. Tigapagi kabarnya sedang merilis album perdananya. Semoga saya bisa mendapatkannya –entah dengan apa caranya.



Jadi saya akan ceritakan awalnya saya mendengarkan lirik yang membuat kaki saya bergoyang tadi. Sore itu saya baru bangun saat azan magrib berkumandang, langsung disuruh mandi dan solat oleh ibu saya, dan tahu-tahu ada pertandingan timnas Indosesia U-19 melawan timnas Thailand U-19. Ah membosankan, namun akhirnya pertandingan itu dimenangkan oleh timnas Indonesia dengan skor 3-1, dan rasa bosan berubah menjadi kesenangan. Yah, sebagai orang Indonesia, senang saat timnas menang adalah bawaan dari perasaan yang tak bisa dijelaskan. Yang penting saya senang, pun awalnya adalah bosan.

Karena timnas Indonesia menang, maka saya memutuskan untuk makan nasi dengan lauk yang tak sampai empat sehat. Tapi tak apalah, yang penting hidup ini berkah. Dalam ‘Doa’ tertuliskan lirik yang sederhana namun penuh kejujuran. Tentang pujian, nasihat dan pengharapan dari orang-orang yang hatinya pernah mati. Lirik yang merupakan ajakan untuk bersyukur dalam kehidupan yang sebentar ini. Badan sehat/ Jiwa sehat/ Hanya itu yang kami mau// Hidup berkah/ penuh gairah/ Mudah-mudahan Alloh setuju//  


‘Doa’ adalah lagu dari akhir keemasan Iwan Fals sebelum akhirnya menjadi bintang kopi.

Setelah senang, makan dan bersyukur, saya mencari sebatang dua batang rokok ke luar. Di luar, sep[erti biasa, akamsi (anak kampung sini, termasuk saya) selalu berkumpul selepas Isya, dan terjadilah obrolan tentang kendaraan, masa depan dan khayalan-khayalan, layaknya dalam ruangan kelas satu sekolah dasar. Langsung saya setel lagu Takkan Melupakanmu' milik Naif, yang dicover oleh band asal Malaysia, Couple, untuk mengalihkan perhatian dari obrolan yang tak akan jelas ujung persoalannya.



Merasa bosan berada di warung, saya memutuskan untuk pulang. Niatnya untuk membaca metode-metode teater a la Stanislavski, tapi kaki saya beranjak ke depan komputer. Duduk diam memandang layar monitor, membuka folder film Holly Motors, tapi hasrat saya sedang tak ingin menonton film. Yasudahlah, membuka Microsoft Word, Winamp dan saya menyalakan ‘Climbing Up the Walls’ Radiohead.

Senin, 16 September 2013

Sotoy



Orang sok tau adalah orang yang paling menyebalkan sedunia akhirat buat gue. They make things seems harder to be explained. Sesuatu yang biasanya terasa mudah untuk dikerjakan, apabila dijelaskan kepada orang sok tau, akan menjadi sangat sulit bahkan ketika baru sampai pada tahap penjelasan.

Sementara Menunggu Riko


Di pinggir jalan dekat pohon yang beridiri gagah, sambil duduk di gundukkan tanah, Estragon mencoba melepas sepatunya. Dibetotnya dengan kedua tangannya disertai mendesah. Setelah istirahat sejenak, dicobanya lagi melepaskan sepatu –begitu terus, berulang-ulang sampai Vladimir masuk. Lalu, lakon Menunggu Godot pun dimulai.

Saya belum pernah menonton lakon karya Samuel Beckett itu secara langsung. Saya hanya pernah membacanya, itu pun belum sampai tuntas. Namun katanya, Godot tak pernah muncul –dan tak ada yang tahu siapa itu Godot. Padahal Vladimir dan Estragon begitu setia menantikan kehadirannya, pun mereka bebas untuk meninggalkan tempat penantian Godot.

Ah, terlalu sok tahu kalau saya menceritakan sebuah karya sastra, yang saya sendiri belum tamat membacanya. Lagi pula, mungkin ada ribuan ulasan tentang naskah Menunggu Godot. Saya akan bertutur tantang langit saja. Ah, langit sedang hitam. Hanya bulan yang tampak di kejauhan. Sepertinya tema langit sedang tak mau diajak bercanda –padalah saya sedang ingin bercanda. Atau  bercarita tentang absurditas yang semakin lama menjadi dekat dengan kita. Misalnya? Saya adalah pencari contoh yang buruk, jadi sulit untuk menampilkan misal.

Yasudahlah, mau tak mau, lagi dan lagi, Riko menjadi bahan. Lagi pula saya sudah menulis nama Riko sebagai judul.

Beberapa hari terakhir ini saya menunggu Riko. Bukan. Bukan karena karena urusan bisnis yang belum terselesaikan, namun karena sebuah romansa sederhana melalui media 140 karakter, bernama Twitter. Riko bukan Godot yang absurd nan menjengkelkan. Riko adalah manusia utuh yang bisa sedikit main gitar dan sangat protektif terhadap air mineral.

Sudah lebih dari dua hari saya tidak melihat Riko membuat kata-kata –brengsek- di Twitter. Bahkan di dunia nyata, sudah seminggu lebih saya tidak bertemu dengannya. Ada yang bilang kalau Riko sakit, tapi ia tak mau dijenguk. Padahal ingin sekali saya membawakan jamu-jamu pilihan dari perempatan yang memisahkan jalan menuju Pasar Rebo, Cijantung, Cililitan, dan Kampung Rambutan.

Riko adalah superstar, orang yang saya kenal baik dari sekolah dasar hingga sekarang. Keinginannya sederhanya. Hanya membakar sampah di sebuah tong kosong agar terlihat seperti kebiasaan orang-orang di luar negeri –hal ini disebabkan karena ia sering melihat film-film Hollywood, banyak orang-orang berkumpul dan berdendang melingkari tong yang mengeluarkan api, dan itu terlihat keren.

Ah, Riko. Kembalilah muncul ke permukaan! Paling tidak menulislah kejujuran di Twitter. Saat orang-orang banyak berbicara tentang Tuhan, paradoks, rasionalis, jadwal kuliah, habib yang meninggal, atau bahkan polisi yang dibegal, kau hanya berbicara tentang kejujuran. Yang lain masih berkicau mengenai tentang tren vickinisasi, sampai ada yang ngetwit lagu 'Karma Police' Radiohead dengan kata “Karma polish! !” yang entah apa maksudnya. Saat yang lain sibuk dengan segala hal yang aktual nan absurd, sementara saya hanya masih menunggu Riko!

Matahari Abadi yang Terbit di Kepala

Seperti yang sudah saya bilang, di projek tiga puluh hari menulis edisi ke dua ini, saya akan lebih banyak menulis cerita tentang apa saja, dengan cara apa saja, dan intinya, spontan saja. Tanpa rencana, tanpa susunan plot maupun alur, tanpa karakterisasi yang jelas, tanpa teknik bercerita yang blablabla. Saya ingin membiarkan tokoh-tokoh itu hidup menentukan nasibnya sendiri.

Dan berikut inilah cerita pertama saya...

__________________________

Setelah terang yang deras itu, Susi mengalami trauma berat. Betapa senangnya ia berada di bawah cahaya. Dirasakannya kilau-kemilau cahaya itu mengelilingi dirinya bagaikan  bodyguard yang siap menyapu habis setiap gelap. Sejak saat itu lah ia mengalami ketergantungan pada terang.

Kini ia takut gelap. Pengalaman dengan cahaya membuatnya takut. Ia barangkali tak mengerti, betapa gelap secara fisika tak seharusnya ada. Sebab terang bisa dibuat. Cahaya, seperti juga panas, bisa dicipta.

Tapi itu tak membuatnya putus asa. Perasaan takut tak menimbulkan pasrah begitu saja. Susi tetap menempuh setiap gelap yang ada. Ia tetap menghadapinya, meski dengan tangan dan kaki gemetar.
Ditempuhnya gelap dengan lari, dengan jerit, dan korek api. Segenap cara ia pikirkan, meski kemampuan otaknya jauh lebih sedikit dari pada ketakutannya.

Pada suatu ketika, saat Susi keluar dari kamarnya untuk membuat roti berisi susu dan keju, ia menemukan ruang tamu tanpa cahaya. Di saat bersamaan, Ayahnya yang baru saja selesai sembahyang Maghrib mengatakan kepadanya, lampu itu putus dan berhati-hatilah sebab di sana bersemayam Hantu Kepala Gundul.

Susi panik seribu macam gestur. Kabar Hantu Kepala Gundul itu membuatnya bertambah takut. Namun Ayahnya tetap bercerita soal Hantu itu. Susi membentak Ayahnya meminta diam agar ketakutan di kepalanya tak bertambah parah. Tetapi Ayahnya menolak bungkam. Dan Susi dengan segala upayanya lagi-lagi mencoba menghentikan kata-kata Ayahnya yang kini seolah membentuk teralis besi yang mengelilingi hasrat di kepalanya.

Ayahnya tetap tak kunjung berhenti. Ia malah coba membuat Susi percaya dengan menyuruhnya memastikan kabar itu dari mulut Ibunya. Disuruhnya Susi bertanya kepada Ibu yang kini sedang tidur.

Susi benar-benar takut. Namun ketakutan tak menghentikan niatnya untuk membuat roti berisi susu dan keju. Maka berlarilah ia menuju dapur. Di dapur, Susi membuat roti berisi susu dan keju itu cepat-cepat, sehingga susu yang ia gunakan mengalir berceceran. Meski begitu, Susi enggan membersihkan. Kelak beberapa menit kemudian, semut-semut akan mengerubungi susu itu sebanyak ketakutannya menggerayangi pikiran.

***

Selanjutnya, Subuh Ibu terbangun lebih lambat dari Ayah. Tetapi Susi lah yang terakhir. Ia mendengar Ayahnya menyuruh Ibu membeli lampu untuk dipasangkan di ruang tamu.
Tanpa pikir panjang, Susi lantas menanyakan kebenaran Hantu Kepala Gundul itu pada Ibu.

“Bu, memangnya benar, ada Hantu Kepala Gundul di ruang tamu?”

Ibunya tersenyum dan berkata, “benar, tetapi karena Ibu orang baik, Ibu tak pernah melihatnya.”

Susi ragu. Ia ingat bahwa Ibunya tak pernah percaya pada Hantu. Bahkan juga tak percaya pada Tuhan dan segala hal-hal magis. Maka dianggapnya senyuman ibu tadi sebagai sesuatu yang wajar.

 “Pikiran Ibu selalu baik. Hantu tak suka pada orang-orang baik. Maka dia takut sama Ibu,” lanjut Ibunya berusaha memecahkan keraguan Susi. “Ia tak pernah nyata. Di pikiran Ibu, Hantu tak pernah ada. Bagaimana bisa ia nyata?”

Susi masih ragu. Ia malah kesal mendengar perkataan Ibunya.

Hari masih gelap. Setelah percakapan itu, agak terasa lama, seluruh lampu mati. Ruangan gelap semesta. Namun di pekat kegelapan itu, Susi tersenyum. Entah cara pola pikir apa yang membuatnya tiba-tiba tersenyum dalam gelap.

Tetapi Susi tak sedang bermimpi ketika di matanya ia melihat terang yang begitu menyilaukan menyembul dari kepala Ibunya. Matahari yang belum terbit pagi itu, seolah-olah berpindah tempat ke kepala ibunya. Terang di matanya itu mutlak. Seperti terang yang tak terhapuskan.

Senyumnya memekar dan terus memekar. Lugu dan terus memekar. Ia terpukau seperti seorang Balita di padang pasir yang menemukan hujan.

Cukup lama ia terpukau dan gelap masih pekat. Di gelap yang pekat itu, Susi lalu melihat tubuhnya. Dan ditemukannya tubuh tanpa sehelai benang. Susi telanjang.