Catatan: tulisan ini
adalah draft yang belum terselesaikan, apalagi tersunting. Tulisan ini
diposting atas dasar tuntutan untuk mempublish di blog 30 hari menulis. Oleh
karena itu, sangat mungkin ada kelanjutan atas tulisan ini.
Seorang teman saya putus cinta. Ia bicara panjang-lebar tentang perasaan dan permasalahannya. Tapi kemudian ia mencapai pada sebuah pertanyaan: apa itu cinta?
Cinta bukanlah tema yang langka dibicarakan. Banyak lagu, buku, dan film yang mengangkat tema ini. Tapi jarang sekali ada pembahasan ontologis mengenai cinta. Ketika saya bertanya apa itu cinta, teman saya selalu menjawab bahwa cinta hanya bisa dirasa. Jawabannya adalah jawaban sekaligus pelarian agar berhenti untuk mempertanyakan cinta. Seolah-olah cinta hanya dipercaya keberadaannya, namun tak bisa dibuktikan. Bagi saya ini aneh. Ia seperti seorang agnostik yang selalu menolak ketika diajak membicarakan cinta.
Di Indonesia, konstruksi cinta dibangun oleh berbagai macam cerita. Cerita-cerita ini yang kemudian menghegemoni dan dengan sendirinya disepakati sebagai “cinta”.
Dalam cerita Sri Rama dan Dewi Sinta, misalnya. Saat itu Sri Rama dan Hanoman beserta pasukan Kera-nya berhasil mengalahkan Rahwana. Tapi Sri Rama cemas. Ia meragukan kesucian istrinya (Dewi Sinta) yang telah berbulan-bulan menjadi tawanan Rahwana.
Dewi Sinta tak tinggal diam. Ia ingin membuktikan kesuciannya dengan mengajukan sebuah opsi: dengan menceburkan diri ke dalam api. Apabila api membakar dirinya dan ia mati, itu berarti ia sudah tak lagi suci. Namun jika api tak mampu membakar Dewi Sinta sedikit pun, kesuciannya terbukti.
Upacara itu pun dilakukan. Dewi Sinta menyeburkan dirinya ke dalam api. Namun tak seujung rambut pun ia terbakar.
Itulah sebuah pengorbanan Sinta (dalam huruf sankrit Sinta (mungkin) ditulis dengan huruf “Çinta” (Sinta), sebagaimana juga “Çakti” (Sakti)) yang dijadikan simbol rasa kasih sayang yang rela berkorban apa saja – termasuk jiwanya – untuk menyatakan kesetiaan dirinya pada Sri Rama, suaminya. Simbol inilah yang kemudian beranak pinak diadopsi menjadi kisah-kisah, dan bahkan lirik-lirik lagu, yang pada gilirannya menjadi pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia.
Erich Fromm, dalam bukunya The Art of Loving mengatakan bahwa konstruksi cinta tak lepas dari tuntutan perkembangan zaman. Pada zaman pertengahan, misalnya, konsep cinta mengarah ke dalam bentuk yang spiritual. Pada zaman Victorian, konsep cinta ditentukan oleh norma-norma sosial dan aturan feudal. Atau pada tahun 1920-an, seorang gadis perokok dan peminum, ulet serta seksi dipandang menarik. Pada pertengahan abad 20, apa yang dianggap menarik mengalami perubahan.
Hal itu menunjukkan bahwa persoalan cinta bukanlah semata tentang perasaan, tapi juga tentang kultur.
Kembali ke Indonesia. Di sini, konsep cinta bukan hanya dibangun oleh kisah Rama-Sinta. Sekarang, nilai-nilai fetisme terhadap benda-benda (sebagai konsekwensi atas kapitalisme) juga turut mengkonstruksi pemahaman masyarakat terhadap cinta. Maka wajar jika banyak orang menentukan ciri-ciri orang (laki-laki atau perempuan) yang disukainya dengan pedoman “cantik” atau “ganteng” berdasarkan stereotip barat yang mulai mendominasi melalui globalisasi.
Tapi ukuran “ganteng” juga tidak pernah sama. Ia bergantung pada nilai-nilai historis suatu tempat. Teman saya pernah bercerita, di Afrika, ada sebuah suku yang mengukur “kegantengan” melalui panjang penis. Ia jadikan sebuah kelakar, “jika ukuran ganteng tersebut diberlakukan di Indonesia, maka ajang pencarian jodoh seperti take me out atau seperti yang di koran-koran hanya akan ramai dengan seberapa panjang penis cowok”.
Seperti halnya ukuran “ganteng” atau “cantik”, konsep “cinta” juga tak datang dari sananya. Ia dikonstruksi, dan dihancurkan oleh nilai-nilai yang berlaku pada zaman tertentu, oleh penguasa yang memiliki wewenang atas itu – yang memiliki kemungkinan besar untuk menciptakan standar baik-buruk, benar-salah.
Lalu, adakah cinta yang universal?
Seorang teman saya putus cinta. Ia bicara panjang-lebar tentang perasaan dan permasalahannya. Tapi kemudian ia mencapai pada sebuah pertanyaan: apa itu cinta?
Cinta bukanlah tema yang langka dibicarakan. Banyak lagu, buku, dan film yang mengangkat tema ini. Tapi jarang sekali ada pembahasan ontologis mengenai cinta. Ketika saya bertanya apa itu cinta, teman saya selalu menjawab bahwa cinta hanya bisa dirasa. Jawabannya adalah jawaban sekaligus pelarian agar berhenti untuk mempertanyakan cinta. Seolah-olah cinta hanya dipercaya keberadaannya, namun tak bisa dibuktikan. Bagi saya ini aneh. Ia seperti seorang agnostik yang selalu menolak ketika diajak membicarakan cinta.
Di Indonesia, konstruksi cinta dibangun oleh berbagai macam cerita. Cerita-cerita ini yang kemudian menghegemoni dan dengan sendirinya disepakati sebagai “cinta”.
Dalam cerita Sri Rama dan Dewi Sinta, misalnya. Saat itu Sri Rama dan Hanoman beserta pasukan Kera-nya berhasil mengalahkan Rahwana. Tapi Sri Rama cemas. Ia meragukan kesucian istrinya (Dewi Sinta) yang telah berbulan-bulan menjadi tawanan Rahwana.
Dewi Sinta tak tinggal diam. Ia ingin membuktikan kesuciannya dengan mengajukan sebuah opsi: dengan menceburkan diri ke dalam api. Apabila api membakar dirinya dan ia mati, itu berarti ia sudah tak lagi suci. Namun jika api tak mampu membakar Dewi Sinta sedikit pun, kesuciannya terbukti.
Upacara itu pun dilakukan. Dewi Sinta menyeburkan dirinya ke dalam api. Namun tak seujung rambut pun ia terbakar.
Itulah sebuah pengorbanan Sinta (dalam huruf sankrit Sinta (mungkin) ditulis dengan huruf “Çinta” (Sinta), sebagaimana juga “Çakti” (Sakti)) yang dijadikan simbol rasa kasih sayang yang rela berkorban apa saja – termasuk jiwanya – untuk menyatakan kesetiaan dirinya pada Sri Rama, suaminya. Simbol inilah yang kemudian beranak pinak diadopsi menjadi kisah-kisah, dan bahkan lirik-lirik lagu, yang pada gilirannya menjadi pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia.
Erich Fromm, dalam bukunya The Art of Loving mengatakan bahwa konstruksi cinta tak lepas dari tuntutan perkembangan zaman. Pada zaman pertengahan, misalnya, konsep cinta mengarah ke dalam bentuk yang spiritual. Pada zaman Victorian, konsep cinta ditentukan oleh norma-norma sosial dan aturan feudal. Atau pada tahun 1920-an, seorang gadis perokok dan peminum, ulet serta seksi dipandang menarik. Pada pertengahan abad 20, apa yang dianggap menarik mengalami perubahan.
Hal itu menunjukkan bahwa persoalan cinta bukanlah semata tentang perasaan, tapi juga tentang kultur.
Kembali ke Indonesia. Di sini, konsep cinta bukan hanya dibangun oleh kisah Rama-Sinta. Sekarang, nilai-nilai fetisme terhadap benda-benda (sebagai konsekwensi atas kapitalisme) juga turut mengkonstruksi pemahaman masyarakat terhadap cinta. Maka wajar jika banyak orang menentukan ciri-ciri orang (laki-laki atau perempuan) yang disukainya dengan pedoman “cantik” atau “ganteng” berdasarkan stereotip barat yang mulai mendominasi melalui globalisasi.
Tapi ukuran “ganteng” juga tidak pernah sama. Ia bergantung pada nilai-nilai historis suatu tempat. Teman saya pernah bercerita, di Afrika, ada sebuah suku yang mengukur “kegantengan” melalui panjang penis. Ia jadikan sebuah kelakar, “jika ukuran ganteng tersebut diberlakukan di Indonesia, maka ajang pencarian jodoh seperti take me out atau seperti yang di koran-koran hanya akan ramai dengan seberapa panjang penis cowok”.
Seperti halnya ukuran “ganteng” atau “cantik”, konsep “cinta” juga tak datang dari sananya. Ia dikonstruksi, dan dihancurkan oleh nilai-nilai yang berlaku pada zaman tertentu, oleh penguasa yang memiliki wewenang atas itu – yang memiliki kemungkinan besar untuk menciptakan standar baik-buruk, benar-salah.
Lalu, adakah cinta yang universal?