Selasa, 15 Juli 2014

Agresi Gaza dan sepakbola Zion



Saya mungkin termasuk salah satu orang yang jenuh terhadap agresi Istrael ke Gaza. Bagaimana tidak, sejak masih sekolah dasar hingga sekarang, selalu ada berita tentang bombardir kaum zion ke tempat yang disinyalir menjadi persembunyian pejuang Hammas. Entah mengapa, karena bodoh atau tak bisa membaca situasi, roket-roket istrael tak pernah mengenai markas Hammas. Apakah Hammas memang dilindungi yang maha kuasa? Entahlah.

Anehnya, jika Hammas melakukan agresi ke Istrael, mereka kerap mengenai sektor-sektor pemerintahan Istrael. Inilah keajaiban. Tuhan selalu bersama orang-orang teraniaya. Ah sudahlah, saya tak ingin terlalu agamais disini toh juga saya tak begitu memperdulikan konflik disana. Karena kehidupan saya terlalu banyak mengandung konfli. Saya tak ada waktu untuk mengurusi urusan receh tersebut.

Saya ingin menggarisbawahi masalah budget yang dikeluarkan Istrael untuk biaya perang. Sudah berapa juta dollar yang mereka keluarkan sepanjang waktu demi menyerang Gaza? Hal tersebut terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk berperang dengan Palestina. Bukankah bangsa Istrael –atau yahudi lebih tepatnya- termasuk bangsa yang cerdas? Qur’an pun pernah menyebutkan hal tersebut. Saya lupa dibagian mana. Apakah memang prinsip orang cerdas selalu membuang-buang uang? Saya rasa tidak.

Jika saja Istrael mau sedikit saja mengalokasikan dana perang mereka yang tak penting itu ke ranah sepakbola, saya yakin perkembangan sepakbola mereka tak akan kalah dengan sepakbola Inggris, Italia atau Spanyol. Bukankah orang yahudi juga gemar sepakbola? Lihat saja bagaimana Abramovic menyulap Chelsea menjadi tim yang menakutkan di Eropa. Atau Glazer yang sudah berkuasa di United beberapa tahun belakangan. Walaupun sebagaian orang-orang tersebut lebih mengutamakan bagaimana bisnis mereka berkembang di sepakbola. Minimal mereka mencoba memajukan sepakbola. Lihat saja transfer-transfer bombastis yang dilakukan Abramovic untuk Chelsea atau sepak terjang keluarga Glazer bersama United. Nama-nama besar selalu hadir disetiap bursa transfer didengungkan. Semua itu dilakukan atas dasar ingin membuat klub yang mereka sokong menjadi lebih besar dan berprestasi.

Bagaimana dengan sepakbola Istrael sendiri? hampir setiap tahun saya selalu melihat perwakilan mereka mentas di ajang Eropa. Baik itu Liga Champions ataupun piala UEFA. Tapi, sejauh mana perwakilan mereka melangkah? Untuk kadar Liga Champions, perwakilan agung mereka hanya sampai pada fase 32 besar. Tak lebih dan kurang. Jika sedang beruntung, mereka masih mendapatkan jatah bermain di piala UEFA berkat duduk diperingkat ketiga di fase grup. Untuk kadar piala UEFA, agak lebih baik, perwakilan mereka kerap maju ke fase gugur. Namun hanya sebatas itu, sungguh menyedihkan.

Apalagi jika kita mencoba mencari rekam jejak pemain mereka yang terkenal di dunia sepakbola secara keseluruhan. Berapa persentasenya? Kecil sekali. Saya hanya mencatat nama Yossi Bennayoun saja. Yossi pernah membela Liverpool, Chelsea dan West Ham. Namun untuk dua nama pertama, Yossi bukanlah pilihan utama. Pasalnya, kualitas Yossi masih jauh untuk bersaing dengan pemain sekaliber Gerrard ataupun Lampard. Yossi jelas bukan pilihan yang baik untuk diturunkan dari awal laga. Ditambah lagi, ia kerap inkonsisten dan bingung dalam bermain. Ia bak domba tersesat diantara gundukan berlian. Sungguh memilukan.

Yang jadi pertanyaan, apakah federasi sepakbola Istrael pernah memikirkan kepiluan saya terseut tersebut. Jika boleh jujur, mereka sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi lebih baik dan mampu menghasilkan pemain-pemain yan berkualitas apabila itu tadi, mereka mencoba menyisihkan sedikit dari dana perang untuk memajukan sepakbolanya, merapihkan struktur pembinaan pemain muda bahkan bisa saja tim nasional mereka lolos ke piala Eropa atau piala Dunia. Bukankah itu tidak terlalu muluk untuk mereka? Bisa saja mereka menemukan Messi atau Neymar baru di tanah yahudi bukan?

Jika memang benar mereka bisa memajukan persepakbolaan mereka. Bukankah nantinya nama mereka akan harum di mata Internasional? Bukankah hal tersebut amat baik untuk merapihkan kredibilitas mereka yang kerap di cap tak memiliki rasa kemanusiaan karena kerap membunuh orang-orang yang tak bersalah? Dan jika sepakbola mereka menjadi maju, bisa saja mereka membantai Jerman atas nama balas dendam bangsa yahudi yang sudah dibunuh Hitler puluhan tahun lalu melalui sepakbola. Semua kemungkinan bisa terjadi. Mereka bisa membuat Angela Merkel menjadi jalang murahan dengan sepakbola.

Secangkir Kopi Pahit untuk Ayah

Kredit ilustrasi: di potonya udah ada
Pagi ini Zia tak seperti biasa. Tak ada koran di pangkuannya, tak ada telepon genggam, tak ada senyuman. Matanya hanya menatap lurus ke ujung jalan yang ramai, di mana orang-orang menghabiskan pagi di akhir pekan.
 
Sudah tiga cangkir kopi pahit ia habiskan. Ini cangkir keempat pagi itu. Sementara pikirannya masih berkelana entah ke mana.

Zia harus meninggalkan rumah yang telah ia tempati 25 tahun terakhir. Semua barang sudah ia masukan ke dalam kardus yang tersusun rapi. Namun Zia tetap masih merasa meninggalkan sesuatu di rumah tua itu. Entah apa, ia tak mampu merabanya.

Anton yang semalam menginap telah memindahkan barang itu ke mobil pick up terbuka yang telah siap setengah jam lalu. Zia masih memandang ujung jalan sambil sesekali menyeruput cangkir kopi ke empatnya.

“Sudah waktunya, Sayang.” Suara Anton memecahkan lamunan Zia. “Barang-barang sudah semuanya dimasukkan. Hanya kamu dan cangkir itu yang masih di luar. Ayo, nanti keburu siang.”

“Sebentar. Aku masih merasa ada yang tertinggal, namun tak tahu apa,” ucap Zia perlahan.

“Bukannya semalam kita telah sama-sama, dengan teliti, memasukkan semua barang ke kardus-kardus itu.”

“Iya, sayang. Tapi entah kenapa aku merasa ada yang tertinggal.”

Anton menyerah membujuk Zia yang masih duduk dengan cangkir kopi pahitnya. Dengan gelisah, ia mendekati kekasihnya.

“Kamu tahu apa yang paling berat dari kepindahan ini?”

Anton hanya mengangkat kedua bahunya.

“Kenangan. Andai aku bisa memasukan semua kenangan dalam kardus-kardus itu.”

“Bukankah kita telah membicarakannya semalam? Kau tak bisa selamanya hidup dalam kenangan, Zi.”

“Iya aku tahu. Tapi biarlah sejenak aku duduk di kursi ini sebentar lagi, kursi yang dulu sering menidurkan aku di pangkuan ibu.”

Zia kembali terdiam, mengingat betapa setia ibu menantikan pulang ayah di kursi itu sampai Izrail menjemputnya tiga tahun lalu. Sudah 15 tahun ayah tak pulang. Saat kematian ibu pun tidak. Zia tak pernah tahu di mana ayahnya. Hanya bisik tetangga yang memberinya petunjuk; Ayah pergi ke seberang bersama perempuan simpanannya.

Betapapun bisikan tetangga selalu melewati telinga Zia dengan sembunyi, ia tak pernah percaya bahwa ayahnya selingkuh. Namun sejak kematian ibu, ia bertekad untuk selalu membenci ayah. Membenci segala kepahitan yang diderita ibu.

“Kau mau berjanji satu hal padaku?”

“Berjanji apa?”

“Kau akan pulang lebih cepat dari kedatangan Izrail kepadaku.”

“Pasti. Aku akan selalu pulang. Pun jasadku terlambat datang, tapi percayalah, jiwaku akan selalu di rumah,” tangan Anton menunjuk dada Zia.

Air mata Zia menetes. Melihat kekasihnya menangis, Anton berdiri. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dan melihat rumah yang kosong itu dengan tatapan tajam. Tak lama, kembali ia keluar.

“Tak perlu kardus untuk membungkus semua kenanganmu. Aku sudah merekam semuanya dalam mataku. Kalau kelak kau merindukannya, tataplah mataku.”

Zia tersenyum mendengar ucapan Anton barusan. Segera dihabiskannya kopi pahit yang masih tersisa.

“Ayo. Aku sudah siap untuk jalan.”

“Kau tak mau membawa cangkir itu?”

“Biarlah cangkir itu tetap setia di sini. Biar kelak, kalau ayah pulang dan rindu padaku, ia bisa menatap cangkir itu. Sisa kepahitan dari kopiku tadi masih ada di dindingnya.”