Jumat, 14 Desember 2012

Tentang Teater, Hidup, dan Menulis Kehidupan



Saya adalah orang yang tergabung dalam sebuah kelompok teater, Teater Kinasih. Baru-baru ini, kelompok teater tempat saya tergabung bengadakan sebuah diskusi tentang jurnalisme musik. Ada pro, ada kontra.

Kenapa musik? Karena semua orang suka musik, semua orang menikmati musik, dan semua orang hidup berdampingan dengan musik. Musik juga merupakan elemen penting dalam teater. Menulis tentang musik berarti berusaha untuk mengetahui tentang latar belakang teriptanya musik tersebut.

Bila memutuskan untuk mengundang pembicara yang notabennya adalah seorang teaterawan/ti, tentu yang akan senang adalah kita sepihak, sebagai kelompok teater. Animo masyarakat kampus pun tak akan besar dan akhirnya, hanya kelompok teater tersebut yang bertambah ilmunya. Teater Kinasih mencoba untuk tidak memuaskan diri sendiri.

Ada yang bilang, jika sebuah kelompok teater hanya bergaul dengan sesama orang teater, setiap nonton, nonton teater, mengadakan acara, acara teater, kita hanya akan mendapatkan teknik berteater yang baik dan benar (dan kami tentu sadar bahwa kami belum menguasai teknik itu dengan benar), dan sebagai bonus, kita hafal nama-nama pembesar teater dan dikenal dikalangan orang-orang teater.

Teater Kinasih mencoba untuk tidak terperangkap dalam arti teater yang sempit di atas, yang hanya memikirkan tentang pementasan, aktor, panggung, dll. Kemarin, Kinasih mengadakan sesuatu yang berbeda, "Bincang Musik Teater Kinasih: Jurnalisme Musik Dulu & Sekarang". Di acara yang diaselenggarakan oleh Teater Kinasih yang bekerja sama dengan webzine lokal Jakartabeat.net, juga tidak serta merta lepas dari pelajaran, yang telah didapatan dari latihan maupun masukan yang diberikan para senior (orang-orang yang lebih dahulu bernaung di Kinasih) yang hadir, tentang bagaimana mengaplikaskan ilmu teater dalam kehidupan, tentang cara membangun relasi dengan mereka yang dibilang awam dalam dunia teater, tentang mengajak masyarakat kampus mengenal Teater Kinasih yang terbuka.

Ada benang merah yang masih berkesinambungan antara teater dan menulis musik. Kalau teater itu adalah ilmu tentang kehidupan, menulis musik juga menulis menulis tentang kehidupan (setidaknya itu yang dikatakan oleh Taufiq Rahman sebagai pembicara). Kita bisa mempelajari dan menuliskan tentang kehidupan sekaligus, melalui proses berteater dan menulis.

Saya pribadi cukup puas dengan terselengaranya acara "Bincang Musik Bersama Teater Kinasih: Jurnalisme Musik Dulu & Sekarang", dan respon para peserta diskusi pun sama, puas. Semua senang dan mendapatkan sesuatu yang baru untuk dibawa pulang. Jadi, bila anda yang merasa kenal maupun awam dengan teater, mungkin perlu untuk menuliskan kehidupan.

Rabu, 14 November 2012

Harga yang sepadan untuk CD C'mon Lennon


Dua tahun yang lalu, saya pergi kesebuah toko musik independent dibilangan Jakarta Selatan. Bisa dikatakan saya sering berkunjung kemari sekedar membeli rilisan fisik, t-shirt dan berbagai pernak-pernik lain dari berbagai musisi independen. Saat saya sedang memilih milih CD di rak yang tersusun rapih, seorang penjaga kasir kemudian menghampiri, ”Coba deh lu beli ini (Album C’mon Lennon, Ketika Lalala) keren nih, lu pasti bakal suka”, cerocosnya. Waktu itu saya sekedar tahu C’mon Lennon melalui lagu ‘Aku Cinta J.A.K.A.R.T.A’, sebuah lagu yang memceritakan kecintaan C’mon Lennon akan kesebelasan sepak bola, Persija Jakarta. Timbulnya rasa penasaran dan keingintahuan yang besar, saya kemudian membeli album tersebut dan membayar di kasir. Lima puluh ribu adalah harga yang saya bayar untuk album itu. Sebuah harga yang fantastis untuk ukuran rilisan album musisi independent tanpa ada embel-embel keemasan eksklusif, dan tentunya harga yang mahal untuk ukuran kantong pelajar seperti saya, sudahlah lupakan.

Kemudian saya keluar toko dan duduk sambil menghisap sebatang rokok, sambil menghisap rokok tersebut, saya membuka keemasan CD tersebut. Terlihat cover yang menggambarkan sebuah kepolosan disana. Bagian lirik lagu dituliskan layaknya tulisan anak anak disertai berbagai gambar-gambar mini dan foto para personil semasa kecil. Saya membaca bait demi bait lirik yang ada. Kesan pertama yang muncul adalah bagaimana notasi musiknya dibuat? Mengingat liriknya terkesan tidak biasa. Penjaga kasir tadi keluar dan menyulutkan sebatang rokok ke mulutnya dan berbicara kepada saya, “ga bakal nyesel lu beli ni album, soalnya bandnya udah bubar. Ini juga barangnya tinggal dikit disini. Ditempat laen udah kaga ada” sebuah omongan yang tak bisa di amini sepenuhnya. Mengingat toko ini milik beberapa personil band independent ibukota, Ballads Of The Cliché, dan biasa mengadakan pertunjukan music musisi independent dan tentunya mereka memiliki kedekatan historis dengan para personil C’mon Lennon. Bisa saja ini adalah trik dagang mereka agar sesegera mungkin menghabiskan katalog-katalog rilisan yang sudah lama. Dan kamipun berbincang-bincang mengenai musik dan sepakbola.

Sesampainya dirumah, saya langsung memutar CD tersebut di CD player saya. Track pertama ‘Sudahkah kau minum obat’ mengalun dengan sedang. Lagu ini menceritakan tentang seseorang yang sakit dan kawannya menanyakan apakah obatnya sudah di minum. Sebuah tema yang cukup langka untuk diangkat menjadi sebuah lagu. Notasi yang cukup bisa dinikmati sekali dengar. ‘Kelinci Jantan’ adalah sebuah analogi untuk para Playboy sebagai sosok kelinci dan wortel sebagai sosok perempuan. Mereka mencoba menghaluskan perbendaharaan kata untuk menghaluskan makna yang terkandung. Atau bisa juga untuk membuat tema yang benar-benar polos. ‘Deketektif flamboyan’ tema yang cukup jarang pula untuk dituliskan. Dektektif. Bassline yang cukup unik dan menawan serta ketukan drum yang liar tersaja di track ini.’Kikuk’ lebih bercerita tentang kehidupan masyarakat kelas menengah yang berkunjung ke rumah kawan, melewati hamparan tanah lapang dan sekumpulan anak-anak yang bermain layangan di sore hari. ‘Ambulan’ yang di daulat sebagai lagu penutup mengalun absurd, gelap dan suram. Di balik semua keaneka ragaman warna yang di tawarkan C’mon Lennon. Sampai hari inipun, beberapa lagu mereka masih terselip di MP3 saya. Sebuah pilihan yang tepat untuk para penikmat musik 

Selasa, 13 November 2012

Folk, Penyederhanaan dan Sakit Generik Harlan

Folk kembali hadir ke permukaan musik yang hingar bingar, setelah era Iwan Fals dan Ebit G Ade, banyak musisi baru bermunculan. The Trees and The Wild, The Whispy Hummers, Panda Beach, Endah n Rhesa adalah beberapa nama yang mewarnai ranah musik. Folk yang saya sebutkan tadi adalah jenis yang agak sukar bila didengarkan oleh khalayak awam.

The Panasdalam hadir ke ranah musik untuk lebih menyederhanakan folk. Dengan musik yang ringan dan lirik yang jenaka menjurus kearah absurd. The PanDal (sebutan lain untuk The Panasdalam) seakan memiliki tempat di hati para pendengarnya. Tanyakan saja kepada mahasiswa Universitas Padjajaran, Sumedang, Bandung. Hampir di setiap sudut kampus dan kost-kostan disekitarnya kerap kali memutarkan tembang-tembang The PanDal.

Sir Dandy, seorang vocalist dari band rock ugal-ugalan Teenage Death Star seakan kembali menyambung nafas The PanDal. Ia mencoba peruntungan dengan bersolo karir dan merilis album Lesson #1 via Organic Record. Kesederhanaan yang dibawa Sir Dandy pada lagu-lagunya seakan menjadi sebuah Signature Disc-nya. Lagu-lagu seperti "Jakarta Motor City" , "Anggur Merah" , "Lagu itu" , "Gibson atau Epiphone" , dengan mudahnya mampu dihafalkan oleh pendengar. “Kalo liat Sir Dandy solo sama Di TDS (Teenage Death Star) kaya beda yeh, padahal mah orangnya sama” , tutur Bayu, seorang nihilis dari Srengseng Sawah. Saya juga mengutip beberapa kalimat dari Booklet TDS, Honesty is Best Policy. Mungkin hal inilah yang menjadi dasar berkarya Sir Dandy yang tulus dan apa adanya.

Pasca bubarnya moniker pop C’mon Lennon beberapa tahun lalu, praktis hanya Pugar Restu Julian (Drummer) yang memutuskan membuat band baru bernama The Dying Sirens. Semetara para personil eks C’mon Lennon tak diketahui kabarnya. Harlan Boer (Vocals) memutuskan menjadi manager Efek Rumah Kaca (2006-12) dan membuat sebuah majalah independent yang berbasis di Jakarta.

Beberapa waktu belakangan, terdengar kabar bahwa Harlan Boer merilis sebuah EP (Extendent Play) yang bertitel “Sakit Generik”. Mini album pertama dari Harlan yang bernafaskan Folk minimalis. Sebuah lagu lepasan dari Harlan di luar EP, “Jajan Rock” coba saya dengarkan. Lagu yang bercerita tentang fenomena keranjingan Vynil dari seorang Harlan Boer. Ekspektasi saya sebagai penikmat C’mon Lennon buyar. Harlan seperti memaksakan membuat lagu ini. Hasilnya kurang enak di telinga dan saya sempat berfikir, “apakah Harlan ingin menjadi Sir Dandy berikutnya? “ataukah Harlan ingin meneruskan tongkat estafet dari The PanDal? “inikah Harlan sesungguhnya tanpa ada embel-embel C’mon Lennon, The Upstairs ataupun Room V?. “Sakit Umum” mendayu dan syahdu dengan suara latar seorang wanita. Sekilas lagu ini terdengar seperti "Sudahkah Kau Minum Obat" milik C'mon Lennon. apakah lagu ini termasuk sesi selanjutnya dari "Sudahkah Kau Minum Obat", “Kiri kanan” bisa jadi sesuatu yang spesial. Harlan menuliskan tema yang jarang dan pasti tak terfikirkan sebelumnya, Sepatu. Tema seperti ini bisa jadi bom yang bisa meledak kapan saja, seperti Sir Dandy yang booming dengan lagu yang menceritakan tentang seorang petinju. Komposisi manis Harlan bersama seorang wanita teman kantornya. Vocal sang wanita sangat manis, sehingga saya ingin memutar track ini berulang-ulang.

Apapun itu, Harlan setidaknya telah membuat sesuatu yang bisa dinikmati. Terlepas dari jujur atau tidaknya  rilisan ini. Setidaknya ada hal yang membuat saya sedikit tersenyum, nafas dari C’mon Lennon masih terasa di mini album Harlan yang bernafaskan Folk minimalis.

Mengukur Media di Kampus Tercinta


Catatan berdasarkan sudut pandang tunggal yang bias dan penuh prasangka.

Kampus IISIP Jakarta, yang saya tahu, terkenal dengan sebutan kampus jurnalistik. Lulusannya banyak yang berhasil menjadi wartawan besar. Sebut saja, Andy F Noya, salah satu lulusan IISIP Jakarta yang sudah tak perlu lagi untuk diulas profilnya dalam tulisan ini. Banner yang memajang gambar mukanya di depan Kampus Tercinta cukup untuk menarik minat lulusan SMA yang tak sengaja tidak diterima di perguruan tinggi negeri.

Kampus jurnalistik, seperti bayangan banyak anak muda, pasti akan ada berbagai media di dalamnya. Isu-isu sengit dalam lingkungan sekitar, mungkin, akan dibahas menggunakan berbagai teori populer. Paham ke kiri-kirian, mungkin juga, akan menambah rasa tusukan pedang dari isi pernyataan. Namun setelah ke dalam, entah kenapa, saya merasa hampa, sepi, sedikit sekali media –dalam bentuk konvensional- beraksi. Padahal, dengan bangga, Kampus Tercinta memajang gambar muka Andy, yang notabennya adalah pekerja media, di depan kampus. 

Nanti juga saat lulus dan dapat kerja saya akan diajari caranya membuat tulisan pesanan. Oh, betapa dangkalnya pemikiran saya. Tapi tunggu dulu, saya sudah membaca dan berpikir tentang teori-teori komunikasi populer. Sampai sini, kesimpulan saya adalah, generasi saya adalah generasi pemikir tanpa tindakan.

Saya rasa tulisan ini sudah mulai mengawang jauh ke angkasa, melantur karena memang saya kurang tidur. Mungkin bila saya lanjutkan tulisan ini, akan berakhir dengan caci maki.

Tak perlulah saya mengucap sumpah serapah terhadap keadaan media di Kampus Tercinta yang sepi. Toh, masih banyak hiburan berkualitas dalam kampus, berupa pertunjukan seni dan berbagai seminar formal, yang juga merupakan media untuk menyampaikan kegelisahan. Yang pasti, mahasiswa, seperti saya, adalah masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi intelektual yang bertindak secara independen. Pun ada kepentingan, itu hanyalah cara untuk mencari eksistensi yang alami.

Hai


Assalamu Alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh...
...................
.............
.........
.....
...
Assalamu Alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh...
.................
.............
......
Assalamu Alaikum!
...........
......
....
Assalamu Alaikum!!!!!!!!!!!
............
......
....
..
WOY! KOK GAK ADA YANG JAWAB SIH?
............................
ASSALAMU ALAIKUM!!!
.............
........
.....
SALAM ITU HARUS DIJAWAB!
.........
......
...
NIH COBA LO BACA!
 

وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيباً

“Apabila kamu dihormati dengan suatu tahiyah (selamat), maka balaslah tahiyah itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu." (QS. 4:86)

Senin, 12 November 2012

Memaknai Hari Senin


Menonton pertunjukan musik kolektif pop White Shoes And The Couples Company, Menjadi saksi bisu kekalahan As Roma atas SS Lazio dalam Derby Della Capitalle. Mengadiri seminar serta pembagian penghargaan untuk para pewarta dari salah satu koran ternama di Indonesia adalah beberapa kejadian yang terjadi kemarin dan banyak lagi. Tak mungkin saya ceritakan dengan seksama.

Setelah beberapa agenda telah kita lakukan kemarin. Rasa penat dan lelah menyelimuti raga. Tidur adalah pilihan yang cukup bijaksana. Bermimpi adalah kehidupan kedua yang sebenarnya dan terbangun di hari Senin yang memuakan adalah kenyataan yang harus diterima.

Hari awal bekerja adalah hal yang menjemukan dan ingin dihindari. Memakai  t-shirt bertuliskan Lope Monday adalah pencitraan super menjijikan dari seorang laki-laki tomboy bernama Olga Syahputra. Sandiwara menjemukan terjadi pada trending topic di twitter pagi ini dengan Hello Monday sebagai hal terpopuler.

Seandainya pagi ini saya tak terbangun.

Three Little Pigs, Messing Their Own Life: Sebuah Dunia yang Tak Baik-Baik Saja



"Don't worry about a thing, cause every little thing gonna be all right." - Bob Marley, dalam lagunya Three Little Birds.

Albert Camus pernah mengatakan bahwa dunia ini ditakdirkan sebagai sesuatu yang absurd. Oleh karena itu, semua pencarian atas kebenaran akan berakhir pada kegagalan dan kesia-siaan. Di dunia yang serba tak jelas seperti itu, keberadaan manusia pun menjadi pertanyaan.

Sementara itu, di zaman ini, teknologi yang semakin canggih malah menimbulkan kegelisahan: apakah hal itu adalah sebuah kemajuan, atau kemunduran? Banyak orang sudah menduga bahwa pada waktunya, semua peran manusia akan dapat digantikan oleh mesin. Teknologi akan melampaui segalanya, bahkan melampaui interaksi manusia. Hidup pun semakin tak jelas. Albert Einstein pernah menghawatirkan hal ini, "I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots."

Harri Muthahari (selanjutnya akan saya sebut “Harbiw”), seorang mahasiswa FISIP UNPAD, melukisan hal tersebut dalam karyanya berjudul Three Little Pigs, Messing Their Own Life, sebuah lukisan dengan bentuk, objek, dan warna yang eksperimental. Ia mengaku, judul Three Little Pigs, Messing Their Own Life diambil dari judul lagu Bob Marley, Three Little Birds. Judul lagu itu kemudian ia plesetkan dan tambahkan sesuai konteks yang hendak ia hadirkan.

Dalam lukisannya, Harbiw menghadirkan tiga Babi yang berada dalam sebuah meja sebagai fokus yang menggiring mata. Di atas meja itu ada daftar menu dan secangkir kopi. Meja itu seperti meja restoran. Tapi di meja restoran itu, ketiga Babi tersebut tak saling bicara. Mereka nampak hanya saling menggenggam handphone, dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Harbiw ingin menghadirkan suasana keterasingan dalam sebuah “dunia” yang di dalamnya teknologi ikut berperan.

Di belakang ketiga Babi itu, sesosok Monster berwarna biru dengan sebelah matanya yang mengedip, seperti meledek. Diam-diam Monster itu mengamati tiga Babi yang tak menyadari. Di sini, Harbiw menghadirkan tanda yang penuh makna simbolis. Siapakah sebenarnya Babi-babi itu? Siapakah sebenarnya Monster itu? Ada "rahasia" di sana.

Lebih dari itu, Harbiw sekonyong-konyong juga menghadirkan jam dinding, gitar, dan satu monster kecil yang berpose seperti ingin menyergap. Sebuah dunia yang tak jelas, yang terasing, sebuah dunia yang menghawatirkan.

Jika Bob Marley menyadari hal yang sama, ia harusnya juga ikut khawatir, sebab every little thing isn’t gonna be alright!

Hujan di Derby Della Capitale yang Panas


Ilustrasi: merdeka.com

Derby Della Capitale adalah pertandingan antara dua klub ibukota Italia, SS Lazio dan AS Roma. Minggu, 11 November 2012, Lazio berlaku sebagai tuan rumah di stadion Olimpico, menjamu rival abadinya Roma.  Pertandingan derby dibuka dengan kepulan asap dari tribun penonton stadion Olimpico dan juga hujan yang terus mengguyur lapangan. Babak pertama berjalan baru memasuki menit ke-9, Roma membuka keunggulan dengan sundulan Erik Lamela, yang berawal dari sebuah tendangan sudut.

Pertandingan terus berjalan keras, dan Lazio mendapatkan tendangan bebas. Antonio Candreva dengan tendangannya yang keras, mampu menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Lazio berbalik unggul ketika Klose dapat memanfaatkan umpan datar dar Hernanes menjadi sebuah gol.

Hujan yang semakin deras mengguyur lapangan sempat menyulitkan para pemain untuk mengontrol bola. Namun derasnya hujan tak mampu meredakan tensi di lapangan. Puncaknya adalah ketika De Rossi dihadiahi kartu merah oleh wasit setelah mendorong muka Stefano Mauri di penghujung babak pertama.

Memasuki babak kedua, Lazio bermain cepat. Mauri berhasih menambah keunggulan Lazio, setelah memanfaatkan bluder dari pemain belakang Roma, menjadi 3-1. Lazio terus mendominasi jalannya babak kedua sebelum akhirnya, Mauri mendapat kartu kuning kedua akibat tangannya menyentuh bola. Bersamaan dengan itu, Pjanic, yang baru masuk menggantikan Totti, menjadi eksekutor tendangan bebas, mampu memperkecil ketinggalan dengan tendangan kerasnya yang tepat menuju jala gawang. Namun sayang, Roma tidak mampu memanfaatkan waktu sisa pertandingan, sehingga Lazio untuk sementara menjadi raja di kota Roma. Hujan yang deras sekaligus menutupi tangisan air mata Roma.

Foto: istimewa

Derby Della Capitale adalah pertandingan dua klub sekota paling panas di dunia sepak bola. Masing-masing pendukung adalah tifosi yang fanatik. Laziale (sebutan untuk tifosi Lazio) dan Romanisti memang tak pernah bisa berdamai. Di dalam stadion Olimpico, mereka memiliki wilayah masing-masing, Laziale di tribun sebelah utara (curva nord), sementara Romaninti menduduki bagian selatan tribun (curva sud). Tifosi kedua tim saling berseberangan tak hanya di dalam stadion, tapi juga di luar stadion. Terakhir pada tahun 2007, korban nyawa hilang dari seorang Laziale saat menyaksikkan Derby Dela Capitale.

Tak heran bila para pemain mati-matian dalam pertandingan demi gengsi dan kemenangan. Hujan deras yang sempat menghambat jalannya bola karena genangan air, bahkan hujan kartu pun tak mampu untuk menurunkan tensi laga Derby Della Capitale. Kedua tim sama-sama ingin kemenangan, yang bukan hanya untuk merebut poin, tapi juga nama besar tim. Namun untuk saat ini, Lazio yang menjadi raja di Roma.

Minggu, 11 November 2012

Nyamuk




Katanya, Tuhan menciptakan segalanya dengan menyertakan kegunaannya masing-masing. Maka semuanya saling terkait seperti rantai makanan.

Nyamuk mungkin berguna bagi Cicak. Tapi, setiap kali saya begadang, Nyamuk selalu terasa menjengkelkan dan kerap membuat saya berpikir bahwa ia sama sekali tak berguna. Rasanya ingin sekali membunuh semua Nyamuk, dan melihat darahnya di telapak tangan saya. Rasanya ingin sekali melihat darah-darah Nyamuk membercak merah dan tebal di lantai. Ah! Mungkin saya brengsek, namanya juga manusia.

Saking brengseknya, manusia dengan akalnya menciptakan metode pemusnahan para Nyamuk. Manusia membuat obat Nyamuk, krim anti-Nyamuk, dan raket Nyamuk. Bukan hanya itu, manusia juga membuat metode genosida yang lebih besar dan tak berkepribinatangan: vogging (pengasapan).

Tapi Nyamuk tak akan pernah benar-benar habis. Itu bukan karena Tuhan sengaja menakdirkan hidupnya agar tak benar-benar habis, seperti Hitler yang katanya sengaja tak membunuh semua orang Yahudi, agar yang bukan Yahudi mengerti betapa brengseknya Yahudi. Tapi itu karena manusia memang tak akan pernah menang melawan alam.

Sudah begitu, masih saja tak tahu diri: manusia tetap mengulangi kebrengsekannya lagi, tetap berusaha meniadakan yang sudah ada.

Manusia memang brengsek, iya, saya tahu. Apalagi Tuhan, tentu sudah tahu soal itu jauh lebih dulu. Oleh karenanya, Ia barangkali sengaja menciptakan Nyamuk yang menggigit kulit dan menghisap darah manusia, supaya manusia sering memukul dirinya sendiri, supaya manusia sadar bahwa dirinya brengsek. Plok!

Lebam Telak di Otak Sungsang




Kalo lu bisa nge-review albumnya, gue kasih ceban deh,” begitulah Mawar (nama disamarkan), yang sedikit lebih besar bentuk dan isinya, berkata kepada saya malam itu. Setalah dua botol minuman produk kapitalis habis, rasa kantuk mulai datang, membawa mimpi. Lalu, setelah matahari kembali, langsung saya unduh album Sapuan Feses Waria Meledak yang dimaksud Mawar di situs netlabel terkemuka.

Sungsang Lebam Telak, begitulah nama band pesanan Mawar yang minta diulas. Track ‘Kejatuhan Rona Jiwa Yang Meronta-Ronta Dalam Estetika Psikedelis’ saya dengarkan, teriakan terdengar, improv-improv super jazz –klaim dari mereka mengenai genre musik mereka- menghancurkan daras-dasar pemikiran tentang musik yang sudah ada. Tiba-tiba, saya tak tahu harus menulis apa. “Ini band mau ngapain sih?” Album yang berisi sembilan lagu, lebih asyik dibaca judul lagunya daripada harus mendengarkan lagunya.

1  –Tertangkapnya Kecepatan Wal Afiat yang Mampu Diramalkan Setiap Kancah
2  –Pengharapan Semu Dapat Dirasakan Asap-Asap Alumnus Terjerembab Lompat
3  –Kapan Lagi Membakar Aroma Bolpoin di Balik Karpet Musim Panas Terus
4  –Sebesar Usaha Kami Mencuci Kaus Ternoda Bersama Gemericik Gledek Cemerlang
5  –Kejatuhan Rona Jiwa yang Meronta-Ronta dalam Estetika Psikedelis
6  –Endapan Kesalahpahaman Bobroknya Birokrasi Tato Rusak
7  –Menyongsong Area Lampu Merah saat Anus Kembali Menyempit per Dua Detik dalam Penasaran Mabrur
8  –Usurlah Partikel Cakupan Melejitnya Adidaya Kerupuk dan Asam Garam Politik
9  –Semburan Diare Langsung ke Lidah yang Telah Terpatahkan oleh Teori Usang Tata-Titi Bersepeda

Track demi track saya putar terus menerus, tetap saja tak ada yang bisa saya tangkap maknanya. Apakah ini yang namanya komunikasi tanpa makna, yang menghancurkan makna palsu dalam komunikasi? Akhirnya dengan berat hati dan kondisi kepala pusing, saya putuskan untuk mendengarkan Weezer –berbubung Weezer sebentar lagi akan konser di Jakarta, pun tak mungkin nonton pula, yang penting kepenatan akibat sembilan track Sungsang Lebam Telak hilang.

Mungkin sesuai dengan namanya, Sungsang Lebam Telak ingin menghancurkan pandangan tentang nilai-nilai moral yang sudah ada. Mendekonstruksi nilai-nilai yang telah tersusun rapih dengan super jazz yang dibawakannya. Satu saran saya, janganlah Anda dengarkan lagu-lagu di atas, cukup baca saja judul lagunya. Anda hanya akan menghabiskan waktu, quota internet, pikiran, bahkan sampai persaan saat Anda memutuskan untuk mendengarkan album Sapuan Feses Waria Meledak. Saya pun menuliskan review ini hanya untuk mendapatkan uang cebanan, yang entah akan dibayarkan atau dianggap sebagai pemotongan hutang yang kian tak tertahan.

Infotaiment, Stigma, dan Masyarakat

Menurut Yang Mulia Wikipedia, Infotaiment adalah salah satu jenis penggelembungan bahasa yang kemudian menjadi istilah popular untuk berita ringan yang menghibur atau informasi hiburan. Infotaiment di Indonesia identik dengan menyajikan berita pesohor dan memiliki penyampaian yang berciri khas. Terkadang Infotaiment bisa menjadi sesuatu yang mengganggu privasi seseorang. Atau apa yang dibicarakan Infotaiment merupakan sesuatu yang tidak begitu penting namun dikemas menjadi seakan-akan penting dan mampu menghasilkan opini publik.

Orang-orang Indonesia biasa melakukan penggunjingan terhadap orang lain. Menempelkan stigma seenaknya kepada orang lain seperti para seniman mural yang semena-mena mengotori dinding-dinding kosong di jalanan. Atau memperdebatkan hal yang sesungguhnya bukan termasuk ranah publik menjadi sebuah konsumsi publik yang nikmat untuk disantap.

Seperti kasus berikut: A, “Cuy, lo pacaran sama si W? B, “Kenapa emang?” A, “Gapapa, gue cuma nanya  doang”. Infotaiment berhasil melakukan tugasnya dengan baik, meracuni orang orang dengan segala bentuk ocehan omong kosong yang tentunya tidak merubah apa-apa selain rasa ingin tahu berlebih tentang hal yang sebetulnya bukan untuk diketahui.

Beberapa waktu yang lalu, ketika saya menggati-ganti saluran televisi. Ada sebuah acara yang mengulas tentang kehidupan selebriti Indonesia. Yang saya lihat adalah Pasha Ungu membuatkan susu hangat untuk istri tercintanya yang saat itu tengah hamil. Apakah hal ini patut diberitakan? Apakah ada hal positif dari acara tadi? Apakah hal tersebut mengedukasi khalayak luas?.

Dan betapa nikmatnya menjadi bahan pembicaraan dikalangan masyarakat. Terimakasih Infotaiment.

Sabtu, 10 November 2012

Tarian Perpisahan

Saya berada di sebuah ruangan kaca. Bening sekaligus hening. Ada yang tertinggal di luar sana sebelum langit pecah. Arloji yang berdegup, redup. Dilemparnya gumpalan kertas oleh Boneka Kelinci berwarna putih, memantul jatuh berserak di ruangan hampa berbentuk kaca.

Saya menari telanjang, menikmati ular-ular yang menggelayut di setiap lekuk tubuh. Dipetakannya juga luka-luka yang tak utuh. Matahari yang tepat berada di bawah kaki, membiarkan saya menari, mengundi hidup atau mati. Tak kunjung pepat.

Gumpalan kertas itu belum juga berhenti. Tiap pantulnya mengandung bunyi, melesap menyatu dengan diri. Boneka Kelinci yang belum juga mati, sesekali menyalak tak terperi: menyaksikan saya yang masih juga mengundi hidup atau mati.

Merayakan Akhir Pekan


Sabtu yang cerah berawan. Berjuta orang menyiasati keadaan untuk nanti malam. Djakarta Artmosphere adalah satu dari sejuta pilihan untuk menghabiskan malam ini. Atau bisa juga kita merapatkan diri di atas Fly over Pasar Rebo sambil memandangi hiruk pikuk pinggiran kota bersama pujaan hati.

Hotel melati selalu menawarkat paket-paket menggoda. Short time, long time or whatever. Singkat padat dan tepat. Namun adapula beberapa muda-mudi yang menolak paket-paket tersebut. Tercetuslah ide cumbu missal disekitar STEKPI, Kalibata. Semua sekedar seks. Tak lebih.

Diantara ribuan lampu kota yang menyala malam nanti. Akan ada puluhan atau ratusan hati yang kosong. Membuka cerita dengan kawan, bersulang, atau melinting dedaunan yang memabukkan. Pilihan terbaik dan terburuk. Terserah, rayakanlah.

Konservatif


Ilustrasi: blogspot.com

Senja menghilang, malam datang, permainan kartu dimulai. Seperti yang sudah-sudah, kopi dipesan, rokok dinyalakan. Namun sungguh sayang, permainan tak berkembang. Tak ada Poker, tak ada Remi. Yang ada hanyalah Tepok Nyamuk, Cangkulan, dan 41. Payah. Tak berkembang.

Lagu dari The Adams yang berjudul ‘Konservatif’ dimainkan, seakan suasana saat itu langsung terlambangkan dalam lagu tersebut. “Dan kini telah gelas ke tiga, jam sembilan malam aku pulang,” begitulah liriknya, begitu pula suasana saat itu. Ingin pulang, tidur dan bermimpi indah.

Berita belum juga datang, permainan terus berjalan. Rasa bosan mulai melawan, permainan sudah tak menawan. Konservatif. Payah.

Sirine ambulan berlalu-lalang, malam tak kunjung berteman. Permainan semakin membisankan, kekalahan selalu datang, kegelisahan. Payah.

Permainan ditutup dengan setan. Saya berhenti menulis untuk makan. Setan, setelah makan menjadi setan. Ya, permainan setan.



Jakarta, sedang menunggu berita, November 2012

Jumat, 09 November 2012

Menunggu Ratu Adil II



Sebuah perspektif tentang kehidupan, sebagai lanjutan dari Menunggu Ratu Adil

Ratu Adil, konon katanya akan datang sebagai juru selamat. Entah dalam sosok manusia atau sebuah zaman keadilan. Yang pasti ada sebuah kepercayaan bahwa saat itu akan datang, saat ketika semua orang tidak lagi gelisah. Semua tenang, semua nyaman.

Budaya Eropa atau barat, yang dikenal telah mendapat pencerahan, mengagungkan hak asasi manusia, dengan segala tedeng aling-aling kepentingan, sebagai proses menuju keadaan damai, utopis. Hak asasi disebarkan ke seluruh polosok dunia, dan menumbuhkan harapan-harapan semu tentang keadaan tersebut. Mengatasnamakan hak asasi sebagai kebenaran sama halnya dengan mereduksi kemampuan manusia untuk melawan. Kelemahan dianggap sebuah kewajaran, sehingga orang-orang cendderung menjadi lemah. Manusia-manusia lemah tersebut diberi pengharapan akan datangnya Ratu Adil untuk menyelamatkan.

Menurut Nietzsche, budaya eropa yang mengagunggkan hak asasi tidak lagi oriental. Bangsa Eropa menjadi lebih lembek dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Menurutnya, ketidakberdayaan si lemah telah direduksi menjadi moralitas, sementara kekuatan si kuat dimaknai sebagai dosa. Power tends to corrupt adalah sebuah kesalahan.

Bangsa timur yang dikenal terbelakang, barbar, yang belum tersentuh “pencerahan” bangsa barat, justru dinilai sebagai bentuk dari merayakan kehidupan yang gelisah. Masyarakat timur, yang belum mengenal peradaban Eropa, tidak menunggu Ratu Adil datang. Mereka menjadi Ratu Adil untuk dirinya sendiri dengan berperang. Nietzsche juga mengungkapkan bahwa sikap misoginis dan anti-demokratis adalah bentuk dari manusia oriental sejati, yang sudah diketahui banyak orang, namun dianggap barbar oleh pencerahan barat yang mengatasnamakan hak asasi. “Apa yang dianggap perang oleh ‘agama Semit yang menerima hidup’ seperti budaya timur hanya dipandang sebagai gemuruh derap langkah binatang oleh ‘agama Semit negatif’ di barat.”₁

Inilah yang dimaksud dengan merayakan kehidupan, dengan segala kegelisahannya, dan tidak bertameng moralitas untuk menggambarkan ketidakberdayaan. Tak perlu untuk menunggu Ratu Adil datang hingga semua menjadi indah. Kehidupan adalah tentang kegelisahan, bersuka cita merayakan kegelisahan, bukan  menjadi lemah di bawah hak asasi dan berharap tentang kedatangan Ratu Adil yang semu.


Catatan kaki:
1 Ian Almond, Nietzsche Berdamai dengan Islam (terjemahan Depok: Kepik Ungu, 2011), hal 15.

Sore yang Berkaca-kaca

Sore ini hujan membasahi Manggarai dan sekitarnya. Aku berteduh diantara berjuta tempat beratap. Akupun melangkah kedalam sebuah toko kelontong yang sedang populer. Dengan pakaian yang basah kuyup, aku melangkah ringan seraya menahan dingin akibat dinginnya pendingin ruangan. Kulihat beberapa orang memperhatikanku namun aku terus jalan dan tak menghiraukan mereka. Aku menuju kesebuah mesin kopi otomatis yang mampu menampung tiga jenis kopi berbeda rasa dan kaya akan warna. Kuambil sebuah gelas stereoform dan menekan tombol pengisian kopi secara otomatis. aku menekan tombol "Forest Coffee" sebuah nama yang cukup aneh untuk sebuah kopi. dalam pemikiran awamku, ini kopi hutan atau bisa saja kopi liar. Kemudian, terisi penuh sudah kopi yang kupertanyakan.

Aku beranjak ke kasir terdekat dan membayar kopi tersebut. "ini aja mas? jadi sembilan ribu lima ratus rupiah" tutur si kasir manis, saya menggerutu dalam hati "kalo dikampus bisa ngopi empat gelas nih, mahal banget". Dan akupun membayar dengan uang pecahan sepuluh ribu rupiah dan bergegas meninggalkan kasir beserta penjaganya yang manis.

aku naik ke lantai dua toko kelontongan itu. Suasananya nampak ramai oleh pemuda-pemudi borjuis yang berbicara apa saja. Mulai dari rumitnya pekerjaan, fashion terkini, sampai tambatan hati adalah tema yang menurutku lumrah. Aku duduk bersebelahan dengan mereka. Aku duduk di dekat etalase kaca yang bersebrangan dengan gedung pencakar langit sambil memandangi jalan raya yang basah. Aku berfikir tentang harga kopi yang mahal tadi, "apakah layak secangkir kopi dihargai hampir sepuluh ribu rupiah? apakah ada pertimbangan sewa tempat untuk menetapkan harga mitos tersebut? atau aku sudah turut memperpanjang hidup para budak toko kapitalis itu dengan secangkir kopi yang kubeli?" entahlah, Kuseruput kopi itu dan kurasakan sensasi rasa yang jauh dari kata istimewa.

Kuhisap batang demi batang rokok putih yang baru kubeli sambil menunggu hujan reda. Aku kembudian mengambil sebuah Zine musik produksi rekan-rekanku dikampus. Hal itu kulakukan untuk membunuh waktuku yang kosong dan melenyapkan kekesalanku terhadap harga kopi tersebut. Namun yang terjadi adalah aku merasa bosan dengan apa yang kubaca. Tapi aku harus mengapresiasi apa yang mereka tulis, Karena dengan adanya Zine produksi mereka, sudah barang tentu akan menambah gairah menulis mahasiswa dikampusku.

Oh tuhan berdosakah caci-maki yang ku ungkapkan tadi?.

Plastik Hitam, Pasir, dan Angin

Langit mulai berat. Matahari hening menggelayut, nyaris padam. Di bibir pantai, sebuah Plastik Hitam bermuara. Dipertemukanlah Ia dengan Pasir, oleh Angin yang masih sabar menghembus.

Plastik: kau kira di mana berada kesempurnaan?

Pasir: kesempurnaan?

Plastik: ya! Kesempurnaan. Titik di mana kita menjadi utuh, tak terbelah. Total, sempurna.

Pasir: cinta.

Plastik: apa maksudmu cinta?

Pasir: hidup ini masih berjalan, ditopang oleh cinta. Berjalan, berlari, terjatuh terengah, bahkan lumpuh, semua karena ada cinta. Kekacauan bahkan timbul dari cinta.

Plastik: kau mungkin benar. Tapi bagaimana kaitannya dengan kesempurnaan?

Pasir: menurutmu, apa itu cinta?

Plastik: cinta bagiku, semacam keinginan untuk mengisi, melengkapi, menambal, memberi. Itu saja. Oleh karenanya, cinta ya hanya cinta. Yang jujur, tanpa pretensi.

Pasir: maksudmu?

Plastik: untuk menggenapkan kekurangan atas yang lainnya! Meskipun yang lainnya tak pernah benar-benar genap, total, tak pernah benar-benar sempurna. Maka aku tanya, di mana berada kesempurnaan?

Pasir: hmmm...

Plastik: tapi justru itu, kita hidup. Justru karena totalitas tak ada, kita menjadi hidup. Ketiadaan itu memungkinkan kita terus berusaha mencapai, meski tak pernah tuntas.

Pasir: memang, kalau ada kesempurnaan, hidup kita selesai.

Plastik: ya! Tapi kalau kesempurnaan itu tidak ada, bagaimana kata tersebut bisa ada?

Tiba-tiba terdengar suara langkah. Pelan, kencang, kemudian pelan lagi, dan kencang lagi, tak konstan. Angin datang.

Angin: mungkin saya bukan orang yang paling sempurna untuk kalian. Tapi percayalah, setiap pertemuan memiliki maksud yang sempurna. Untukmu, saya ada. Untuk saya, kamu ada. Kita hadir untuk menyempurnakan satu sama lain. Pertemuanlah yang sempurna. Hanya ada kini, dan kini. Tak ada yang lalu, dan yang akan. Hanya kini. Sempurna.

Angin kembali berhembus. Pasir memburai. Plastik Hitam kembali terbang.

Kamis, 08 November 2012

Semesta dan Sejuta Rasa Sakitnya



Semesta, apa kabarmu? Maafkan aku jika tak mampu merawatmu dari apapun. Aku hanya bisa memandangimu diantara rongsoknya kota dan kebiri matahari. Jarang sekali aku tersenyum kepadamu dikala malam tiba. Dan apa kabar bintang-bintangmu? Apakah masih setia berada dihamparan langitmu? Apakah mereka selalu menghangatkanmu? Aku tak tahu.

Semesta, maafkanlah jika polusi roket dan manusia luar angkasa mengotori tempatmu. Maaf jika mereka mengganggumu. Apa perasaanmu saat bendera Amerika ditancapkan di bulan pada tahun 1967? Sakit? Dan apakah benar Neil Amstrong telah menginjakan kaki di bulan? Dan benarkah ada suara Adzan disana? Apakah hanya propaganda?.

Satelit antariksa yang di letakan diatas permukaan ruangmu adalah sebuah dosa yang aku dan kaumku lakukan. Kami dengan seenaknya mengambil ruang kosong untuk sebuah kepentingan. Dan pada akhirnya kepentingan-kepentingan itu hanya menghasilkan kebodohan missal yang tak terhindarkan.

Waktu-waktu yang aku habiskan untuk menghancurkanmu secara perlahan adalah hal terbodoh yang kami lakukan. Apa yang kami lakukan seperti melubangi cawan berisi air. Kami adalah mahluk-mahluk yang tak tahu diri. Adakah senyum untuk kami hari ini?.

Matahari seakan mewakili kemaraahanmu yang besar. Sinisme tiada henti seakan nyinyir menemani hari demi hari. Panas yang kami rasakan tentu tak sebanding dengan penderitaanu yang besar. Sekaratlah kami dengan kemarahanmu yang sedekarnya,

Maka izinkanlah aku untuk memelukmu, menyentuh wajahmu ataupun mengkecup dirimu walau sejenak. Biarkanlah aku mati membusuk disisimu bersama seluruh benda-benda di antariksa sekedar menebus dosa aku dan kaum-kaumku yang nista. Sekalipun nyawaku tak seberapa untukmu. Maafkanlah aku, Semesta.

Jujur

Saya hanya ingin mencintaimu dengan jujur. Tak peduli ini benar atau salah. Saya menikmati segala kecurangan yang engkau ciptakan, sebagai pondasi untuk merawat perasaan ini agar tetap hidup. Saya hanya ingin mencintaimu dengan jujur. Maaf, mungkin cara ini salah. Ini barangkali takdir sebuah kejujuran.

Lukisan Sang Idola yang Baru Selesai


Gambar ini dibuat oleh Inu

Saya mulai bosan berbicara tentang Riko, saya punya nama baru yang tak kalah asyik. Inu, seorang pemuda yang potongan rambutnya tersimpan di dalam plastik yang entah untuk apa. Inu adalah teman saya dari taman kanak-kanak (TK) yang secara kebetulan bertemu lagi di sekolah menengah kejuruan (SMK). Sampai saat ini kami masih berteman baik. Sampai akhirnya saya memilih nama Inu, untuk sementara menggantikan Riko yang mulai lelah.

Cerita ini merupakan lanjutan dari kisah Melukis Malam, di mana saya, Riko dan Inu berkarya bersama. Riko menggambar dengan sangat cepat, secepat pak Raden yang melukis di sebuah acara televisi. Oleh karena itu, karya Riko lebih dahulu masuk galeri saya. Sementara Inu, baru saja mengirimkan karya jadinya kepada saya. Lukisan Sang Idola, begitulah kalau saya boleh menamainya.

Inu, pada hemat saya, adalah seorang barcelonistas. Setiap bermain PES bersama-sama, selalu memakai Barcelona –entah karena cinta atau tak mau kalah, mengingat Messi adalah dewa di PES. Tak banyak yang saya ketahui dari dia. Namun satu hal yang pasti, karyanya, Lukisan Sang Idola, sudah jadi.

Saya akan mencoba menafsirkan –dengan kebenaran yang saya yakini, tentunya- gambar yang dibuat oleh Inu. Lidah Messi yang menjulur bagaikan ular yang siap meracuni gawang lawan dan melumpuhkan kekuatan penjaga gawang. Rambutnya yang masih panjang, mengecohkan pertahanan musuh dengan kibasannya. Sayang rambutnya kini sudah tak lagi panjang, sama dengan Inu yang memotong rambutnya dan menyimpan potongan rambutnya di dalam sebuah plastik. Hhmm.. saya pun masih tidak mengerti untuk apa. Dan, di gambar itu (menurut kebenaran saya) Messi sedang menjulurkan lidah kepada Cristiano Ronaldo, rivalnya saat ini dalam berbagai ajang, yang mencoba menciumnya. Ya, ciuman yang menggunakan lidah, konon katanya, sangat mematikan.

Satu hal lagi, ada sebuah copyright di gambar tersebut. Perhatikan INUISME, yang menunjukkan gambar tersebut dibuat oleh Inu. Menurut ke-soktahuan saya, itu yang menjadi satu-satunya nilai minus, karena copyright is only for beginner.

Rabu, 07 November 2012

Jendela pada Sebuah Malam

Catatan: cerita ini hasil kolaborasi saya dengan Addis Nadira. Awalnya kalimat perkalimat, lama-lama alur peralur. Ditulis agak spontan dalam waktu kurang lebih satu jam.
______________________________________________________________________________


Di depan saya ada sebuah jendela. Sepertinya ada seorang perempuan di balik jendela itu. Rupanya samar, terhalang tumpukan embun. Entah apa yang ia lakukan. Sisa-sisa hujan yang masih juga menetes, semakin membuatnya ganjil.

Perempuan itu menempelkan jarinya pada kaca, geraknya terlihat asyik mengukir embun yang dirahasiakan hujan. Nampaknya ia hendak menerjemahkannya pada sebuah kata.

Entah siapa dia. Saya tak tahu betul seperti apa rupanya. Yang jelas, hanya jari-jarinya yang nyata. Saya mengamatinya, di antara asap yang terus mengepul bersamaan rasa penasaran, yang membeku pada dinding-dinding ruangan. 

Lama mengamatinya, saya hanya sadar pada waktu yang terhitung dalam puntung-puntung rokok, yang menggunduk di asbak. Tik-tok jam terus berdenyut. 

(23:35) ada yang hendak ia sampaikan...

(23:40) mungkin ia hanya iseng...

(23:42) oh, sepertinya bukan...

(23:46) nampaknya ia memberi sebuah petanda...

Perempuan itu melepaskan jari-jarinya, menjauh perlahan, menghilang dari jendela. Yang samar, kini benar-benar menghilang, dengan meninggalkan sebuah tanda.

Saya mendekat pada kaca mendapatkan satu kata, yang tak kalah dingin dari dinding: R-O-M-A-N-T-I-S

...

...

...

Tanda yang ia tinggalkan itu membuatnya tak benar-benar menghilang. Yang hilang, yang semula samar, kini justru menjadi jelas. Kata itu, sama persis seperti sebelumnya. Kata yang sama, namun rasanya tak pernah sama. Kata yang selalu membuat kita berbeda.

Saya lantas menghisap rokok dalam-dalam. Asapnya mengepul, membawa saya terbang-tenggelam, ke dalam ingatan.


Lenteng Agung, 7 November 2012.