Klau satu-satunya perempuan yang rela meninggalkan orangtuanya
hanya untuk seorang lelaki bernama Froi.
Cinta mereka barangkali sebuah kutukan. Froi adalah seorang pengembara yang tak
kenal rumah dan saudara. Sedangkan Klau, perempuan terhormat karena ayahnya
seorang raja, di sebuah tempat beradab.
Entah bagaimana, mereka bertemu dan jatuh cinta. Tetapi cinta
mereka terlarang. Tradisi masyarakat tempat Klau tinggal tak mengizinkan
seseorang untuk jatuh cinta yang tak jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Semua masyarakat
tahu, Froi adalah pengembara dekil dan kumuh. Selain itu, keluarga Klau tentu
saja mengetahui hubungan mereka berdua.
Secara terang, tak ada satupun orang yang mendukung rasa
cinta Klau.
Singkat cerita, Klau akhirnya memutuskan untuk melarikan
diri dari tempat ia tinggal. Sebuah tempat yang ia bilang, “tak kenal arti
cinta.” Klau meninggalkan tradisi serta keluarganya untuk ikut mengembara
bersama Froi.
Klau merasa begitu bahagia tak terkira. Bertahun-tahun hidup bersama Froi, tak sedikitpun rasa bosan tumbuh di dadanya. Ditambah lagi, mereka kini mempunyai seorang putra bernama Grome. Hidup sederhana tak membuatnya sengsara. Kerluarga mereka malah terlihat seperti surga yang jatuh di padang pasir.
Hari demi hari berlalu. Grome mulai besar dan belajar bicara. Tapi Klau merasa ada yang tak baik-baik saja. Dirasanya Froi telah menyelingkuhinya. Entah perasaan itu timbul dari mana. Meski begitu, firasat Klau sangat kuat.
Belakangan, Klau memang melihat tanda-tanda tak biasa. Froi, lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta dan meninggalkan orangtua biologis serta sosialnya, tak menunjukkan tatapan mata cinta pada dirinya. Klau tahu betul bagaimana mata yang penuh cinta, mata yang menjadi alasan untuk lari dari rumah.
Betul saja, Klau akhirnya mendapati Froi tengah bercumbu dengan saudagar bernama Sofi, di tepi sebuah telaga. Klau marah sedemikian hebat. Dadanya berdetak keras, membuat air matanya mengucur deras. Ia tak menyangka, lelaki yang begitu ia cintai, malah mengianatinya.
Froi menyadari tindakannya diketahui Klau. Tapi Froi biasa saja. Ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa seolah-olah ia tak bersalah. Kemarahan dan air mata Klau tak juga membuat Froi meminta maaf. Sofi pun tak berbuat apa-apa. Hal tersebut membuat Klau benar-benar kecewa seperti pisau yang menancap di punggung, tembus ke jantung.
Karena merasa kemarahan dan tangisannya tak menghasilkan apa-apa, dengan dendam terang menyala, Klau mengambil segenggam kapak. Dipegangnya kapak itu kencang-kencang. Lalu diayunkannya ke arah leher Grome, anak hasil hubungannya dengan Froi, hingga badan-kepalanya terpisah.
Froi terperangah. Sofi hanya bisa menganga tak menyangka. Klau lebih memilih membunuh anaknya dari pada membunuh suami atau selingkuhan suaminya. Tapi keputusan Klau itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin meninggalkan suaminya, seperti ia meninggalkan budaya dan keluarganya. Ia hanya ingin hidup seorang diri, sebagaimana orang yang ia cinta menyelingkuhi dirinya.
Klau merasa begitu bahagia tak terkira. Bertahun-tahun hidup bersama Froi, tak sedikitpun rasa bosan tumbuh di dadanya. Ditambah lagi, mereka kini mempunyai seorang putra bernama Grome. Hidup sederhana tak membuatnya sengsara. Kerluarga mereka malah terlihat seperti surga yang jatuh di padang pasir.
Hari demi hari berlalu. Grome mulai besar dan belajar bicara. Tapi Klau merasa ada yang tak baik-baik saja. Dirasanya Froi telah menyelingkuhinya. Entah perasaan itu timbul dari mana. Meski begitu, firasat Klau sangat kuat.
Belakangan, Klau memang melihat tanda-tanda tak biasa. Froi, lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta dan meninggalkan orangtua biologis serta sosialnya, tak menunjukkan tatapan mata cinta pada dirinya. Klau tahu betul bagaimana mata yang penuh cinta, mata yang menjadi alasan untuk lari dari rumah.
Betul saja, Klau akhirnya mendapati Froi tengah bercumbu dengan saudagar bernama Sofi, di tepi sebuah telaga. Klau marah sedemikian hebat. Dadanya berdetak keras, membuat air matanya mengucur deras. Ia tak menyangka, lelaki yang begitu ia cintai, malah mengianatinya.
Froi menyadari tindakannya diketahui Klau. Tapi Froi biasa saja. Ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa seolah-olah ia tak bersalah. Kemarahan dan air mata Klau tak juga membuat Froi meminta maaf. Sofi pun tak berbuat apa-apa. Hal tersebut membuat Klau benar-benar kecewa seperti pisau yang menancap di punggung, tembus ke jantung.
Karena merasa kemarahan dan tangisannya tak menghasilkan apa-apa, dengan dendam terang menyala, Klau mengambil segenggam kapak. Dipegangnya kapak itu kencang-kencang. Lalu diayunkannya ke arah leher Grome, anak hasil hubungannya dengan Froi, hingga badan-kepalanya terpisah.
Froi terperangah. Sofi hanya bisa menganga tak menyangka. Klau lebih memilih membunuh anaknya dari pada membunuh suami atau selingkuhan suaminya. Tapi keputusan Klau itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin meninggalkan suaminya, seperti ia meninggalkan budaya dan keluarganya. Ia hanya ingin hidup seorang diri, sebagaimana orang yang ia cinta menyelingkuhi dirinya.