Jumat, 20 September 2013

Jembut

Jembut barangkali lebih panjang dari bulu jambang dan janggut. Tapi keberadaannya selalu saja disembunyikan atas nama peradaban, moral, dan etika. Jembut adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang Tuhan berikan, tetapi sekaligus sesuatu yang manusia tolak.

Jembut yang saya maksud adalah rambut-rambut  yang letaknya di sekitar kemaluan. Ada tiga bentuk jembut: jembut yang dibiarkan panjang, jembut yang dirapikan, dan jembut dipotong plontos (malah ditindik). Slavoj Zizek pernah menganalisis bentuk-bentuk jembut di vagina perempuan. Pemikir kontemporer Marxis-Lacanian itu mengatakan bahwa bentuk-bentuk tersebut bukan tak memiliki makna.

Bentuk-bentuk jembut itu mengandung ideologi. "Jembut yang tumbuh liar dan acak-acakan menunjukkan perilaku spontan alami dari kaum hippies; kaum yuppies lebih suka prosedur disipliner ala taman di Prancis (bentuknya adalah cukuran rapi di sisi yang dekat paha, sehingga yang tersisa adalah alur tipis di tengah dengan garis potongan yang rapi); sedangkan untuk perilaku punk, vaginanya dicukur bersih dan dihiasi dengan anting (yang biasanya ditindikkan ke clitoris)." [1]

Sudahlah. Postingan ini memang tanda bahwa saya sedang tak punya ide apa-apa. Tapi mengapa harus jembut?



[1] http://indozizekian.blogspot.com/2011/10/jamban-jembut-dan-ideologi.html

Ketika

Ketika pintu hati tidak lagi dapat diketuk
Ketika nafsu mengalahkan nurani
Dan ketika jerit tangis tak lagi di dengar
Maka hanya ada satu kata, PERANG!

Kabarnya Tono Menang Lotre


Kabarnya Tono menang lotre. Kabar tersebut disiarkan lewat toa langgar yang berada tepat di pinggir lapangan merah dekat rumah Mak Iyem, seorang dukun beranak yang dianggap sebagai sesepuh kampung. Warga kampung serentak gempar, mencari-cari Tono, meminta mengadakan selametan untuk keselamatan kampung dan para pemenang lotre. Sudah menjadi tradisi bila ada yang menang lotre, maka ia harus mengadakan selametan berupa makan-makan agar kehidupannya diberkahi.

Tono adalah pemuda biasa di kampung Coblos. Ayahnya pensiunan kepala desa, namun Tono tak pernah mau kalau di suruh sekolah. Kesehariannya dihabiskan dengan membajak sawah, memandikan kerbau, dan kalau ada waktu luang ia habiskan untuk menggoda gadis-gadis berkerudung yang ingin berangkat ke langgar.
***

Meskipun tak pernah sekolah, Tono dikenal tidak suka main lotre. Ia selalu menolak ketika diajak pasang lotre. Namun teman-temannya selalu meminjam uang ketika mereka ingin pasang. Tono selalu meminjamkannya, namun tak pernah ikutan.

“Lotre itu haram. Mending duitnya dipake untuk beli sabun mandi si Acong, biar lebih bermanfaat,” selalu begitu ucapnya ketika teman-temannya mengajaknya ke pos kamling untuk masang lotre.

“Lotre itu yang lebih bermanfaat, Ton. Kalau menang, bikin selametan, bikin senang orang kampung,” ucap teman Tono.

“Iya, tapi pake... ”

“Yaudah, kalo gak mau ikut ya gak usah ceramah, gak usah seperti yang paling suci. Pinjem duit aja sini, bulan depan aku ganti. Kamu urusin Acong aja.”

Acong adalah teman bermain Tono sejak kecil. Ketika Tono lahir, Mak Iyem diupahi sepasang kerbau oleh bapaknya Tono. Mak Iyem lantas menghadiahi Tono seekor anak kerbau saat dirinya tepat berumur tujuh tahun. Semenjak itu, Tono selalu bermain dengan Acong.

Acong menjadi alasan Tono untuk tidak bermain lotre. Pernah suatu hari Tono bersama Acong pergi ke pos kamling untuk memasang lotre. Namun Acong mendadak ngamuk. Orang-orang di pos pada berlarian tak tentu arah. Ada satu satu orang yang tewas akibat insiden tersebut. Perutnya tertusuk tanduk Acong yang masih tajam. Semenjak itu, Tono tak pernah berniat sekalipun untuk memasang lotre.

Kampung Coblos memang terkenal dengan lotrenya. Sudah turun temurun. Nenek moyang mereka mengajarkan untuk bermain lotre, agar hidup mereka penuh dengan pengharapan kepada Tuhan. Setiap bulan, pasti warga kampung menggelar selametan untuk memberi keberkahan kepada pemenang lotre. Semua kegiatan lotre di kampung Coblos sudah menjadi tradisi. Tak ada yang berani melarang, kecuali Acong yang hanya seekor binatang.

Di suatu malam, saat warga mulai merasa resah terhadap kelakuan Acong, langit berwarna merah. Suara kodok dan jangkrik tenggelam dalam suara peletikan api yang menyambar dari sebuah kandang kerbau, tempat di mana Acong tinggal. Tono yang sedang tertidur lelap tak mengetahui apa yang terjadi. Saat matahari datang, Tono menangis histeris kandang Acong sudah habis. Ia mencari tulang belulang Acong, namun tak pernah ditemukan. Tidak ada seorang warga pun yang mengetahui kejadian tersebut. Hanya ada satu saksi mata, Mak Iyem. Ia melihat ribuan bayangan putih menyemburkan api, membakar kandang Acong. Tapi sebelum membakar kandangnya, para bayangan putih itu membawa Acong terbang ke langit.

Tono tak percaya dengan ucapan Mak Iyem. Ia pergi ke kali untuk menyendiri. Saat senja tiba, Tono terlihat berada di pos kamling memasang lotre. Itu terakhir kalinya ia terlihat di kampung Coblos.
***

Ketika kegemparan warga kampung belum surut mengetahui Tono menang lotre, burung camar membawa kabar bahwa ada mayat lebih dari sebulan mengambang. Tono mati bunuh diri dengan tangan memegang golok yang menancap dalam perutnya.