Sabtu, 05 Juli 2014

Bangku

Masih kosong. Pastilah bangku di taman itu masih kosong. Tentu karena hujan tak kunjung berhenti meski sudah berjam-jam. Tapi ketabahan saya bukan sebuah bulan Juni dan tulang punggungku tak sekeras teriakan Kurt Cobain dalam Smells Like Teen Spirit. Namun ia punya kegelisahan yang dimiliki kemarau panjang tentang air yang jatuh dari langit.

Kaki Langit barangkali tak akan tercapai meski definsi jarak diterjemahkan dengan menggabungkan bahasa Indonesia dan Inggris. Sebab, peluang menang bergantung seberapa besar uang seseorang, bukan pada optimisme atau harapan yang kelak menjadi kesia-siaan semata. Maka biarkan hidup bertahan lebih panjang dari pilek yang diderita Bruce Lee.

Dari jendela kamar, aku melihat bayangan orang-orang yang tak jelas detilnya melintas deras lewat depan rumahku. Aku tahu itu hanya halusinasiku. Mungkin Tuhan sedang memberiku kejutan. Entah apa maksudnya. Memang, bayangan-bayangan itu sesaat melupakanku pada hujan yang tak kunjung selesai.

Tapi dari bayangan-bayangan itu, ada seekor Kuda meluncur dari jarak yang tak akan sampai aku tempuh. Kuda berkulit hitam itu berlari menunduk, kencang, menabrak segala yang ada di depannya. Aku mendengar ledakan yang begitu kencang dari arah taman. Sepertinya, Kuda itu menabrak bangku yang selama bertahun-tahun belum sempat aku duduki. Sebuah bangku emas dengan tekstur berduri.


Day 7

Pilih



Kita hanya memiliki dua pilihan. Kanan atau kiri

Antara sipil dan militer

Tentang senjata dan otot

Representasi atau bayangan

Jendral atau kacung

Pengobral atau pengingkar janji

Kelam atau suram

Tegas atau santai

Abu-abu dan abu-abu

Amerika atau tidak

Senapan atau padi

Fasis atau Boneka

Ramadhan, Kereta dan Petasan

“Sudah terlalu jauh! Sudah terlalu jauh!” 

Sumber: Google

***
Sore itu, dulu sekitar dua belas tahun yang lalu, saya dan Jamal, teman saya yang akhirnya dimasukkan ke pesantren, mencari petasan berharga murah. Kami pergi berdua, berjalan dari Setu Babakan, kawasan yang belum tersentuh kapital asing, hingga Universitas Pancasila. Niatnya satu: ke Tebet, yang saat itu menjadi pusat petasan yang saya ketahui.

Stasiun kereta api belum seketat sekarang yang harus memberi jaminan 5000 rupiah di muka agar kartu kereta tidak dibawa pulang. Penagih tiket hanya bermodalkan pen-jekrek kertas, memeriksa penumpang. Kadang, bayar di tempat justru akan lebih menguntungkan bagi penagih tiket.

Khusus untuk anak sekolah, yang menggunakan seragam, saya hanya memasang muka melas ketika penagih itu datang. Atau duduk di pintu kereta yang terbuka, pura-pura tak melihat. Niscaya, penagih itu tak akan menagih. Ah, dasar.

Namun, cobaan yang paling berat ketika menggunakan moda transportasi termurah dan tercepat kala itu, bagi saya, adalah anak-anak dari sekolah lain. Ya, kereta saat itu memang dikuasai anak sekolah.

Syahdan, saya pergi ke Tebet bersama Jamal naik kereta tanpa membeli karcis. Saya masih takut untuk naik di atas, karena masih belum punya pengalaman. Jamal di atas, saya di bawah. Saya membawa tas kosong, yang atasnya robek, untuk nanti petasan disimpan.

Sampai di Tebet, polisi ada di mana-mana. Dengan cepat, Jamal mengajak saya keluar stasiun melalui peron. Langsung menyusup ke perumahan, gang sempit yang aroma merconnya sangat terasa.

Ibu-ibu menjajakan barangnya. Mereka tidak membuka lapak, namun mengajak saya dan Jamal masuk ke dalam. Rumahnya. Gorden jendela telah rapat semenjak kami belum datang. Kami masuk, pintu ditutup. Transaksi dimulai.

Saya mengeluarkan dompet, mengambil uang lima ribuan. Jamal merogoh kantung celana, menghasilkan 10 ribu. Uang kami satukan. Petasan didapatkan. Saya langsung memasukkan semua petasan itu ke dalam tas, yang memang bolong di baian atas.

Saat kami ingn berangjak, sang ibu pemilik rumah menghentikan. “Nanti dulu, di luar masih banyak polisi razia. Nanti kalau sudah aman, saya baru kasih keluar,” ucapnya dengan nada datar. Jantung saya ketika itu memang mengompa darah lebih cepat, lebih kencang. Suara-sara sepatu lasar dari tadi mondar-mandir seperti mencari korban.

Akhirnya kami diperbolehkan keluar. Saya dan Jamal langsung menuju stasiun untuk pulang. Tas yang bolong itu saya pegang erat dan tutupi. Memang benar, polisi ada di mana-mana.

Dalam tas saya ada petasan senilai 15 ribu mungkin bisa menjadi barang bukti di persidangan, kalau-kalau kami tertangkan di sini. Namun kami selamat. Saya dan Jamal menjadi bandar petasan untuk seminggu di Setu Babakan bagian selatan.
***

Bunyi ledakan mercon itu terdengar dari kejauhan. Pagi ini banyak nyamuk. Saya setengah terjaga menonton pertandingan Jerman vs Prancis, yang golnya pun tidak saya sadari. Lapar menyeruak. Saya kembali ke kamar, menuliskan tentang Ramadhan. Pikiran saya melayang.

“Sudah terlalu jauh! Sudah terlalu jauh!” gigitan nyamuk menuntaskan pikiran saya yang menerawang kejadian dua belas tahun silam.