Rabu, 09 Oktober 2013

Catatan Semester Dua di Kelas Penulisan Berita

Saya teringat dua semester lalu, saat saya masih mengambil mata kuliah Penulisan Berita. Bang Norman adalah dosen mata kuliah itu. Ia kini memimpin Redaksi Sinar Harapan.

Ia sering sekali bercerita tentang bagaimana sulitnya menjadi wartawan. Selama 14 kali pertemuan, ia hampir selalu menceritakannya. Gaya ceritanya yang antusias membuat semua mahasiswa dengan seksama menyimak.

Yang paling saya ingat saat ia bercerita bagaimana menjadi wartawan berarti juga menjadi musuh beberapa pihak. Wartawan kerap menimpa kekerasan. Tentu saja hal itu dilakukan oleh "penguasa" yang tidak menyukai keberadaannya.

Bang Norman sering berpesan agar selalu bekerja dengan hati. Hal tersebut tak hanya ia lakukan pada profesinya sebagai wartawan. Sebagai dosen, ia terlihat bekerja bukan karena uang, tapi karena kesenangan. Wajar saja jika di kelas ia begitu antusias saat membagi pengalamannya. Ia juga sangat terbuka jika diajak diskusi.

Saya mencatat sebuah kalimat yang ia ucapkan di pertemuan terakhir semester itu. Sebelumnya, ia meminta kritik dan saran dari mahasiswa, serta memohon maaf atas kesalahan yang tak sengaja ia lakukan. "Jangan takut menjadi wartawan. Menjadi wartawan memang tak mudah," ungkapnya dengan intonasi pelan. Lalu ia menaikan volumenya saat mengatakan, "tapi semua kebaikan yang dilakukan wartawan, akan dicatat Tuhan, karena membuka hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi, yang sengaja diputar-balikkan."

Song's PoV

Pernahkah kalian mendengarkan sebuah kagu sesuai mood atau keadaan hati kalian saat mendengarkan lagu itu? Misalnya kalo lagi jatuh cinta kalian muter lagu-lagu yang bertema jatuh cinta. Kalo baru putus, kalian muter lagu yang liriknya, bukannya menambah semangat move on, malah makin mencabik-cabik perasaan kalian. Ato lagi sama temen-temen se geng ato sahabat tersayang, kalian dengerin lagu-lagu yang bertema friendship never end. Pernah gag?

Berlayar Menuju Suara Nyanyian Lautan

Bahtera Kehidupan oleh Amang Rahman

“Badai datang, Kapten!”

“Cepat naikkan layar! Jangan sampai kita tenggelam.”

“Aye aye, Kapten!”

Semua awak kapal sibuk di posisinya masing-masing. Ada yang memegang kemudi, menggulung layar, menyelamatkan kawan yang tersentak ombak, ada pula yang berlari ketadutan menuju dek kapal. Ombak yang datang tak seperti biasanya. Kali ini mungkin bila tak sigap, kapal tua bernama Rosswood ini akan karam. Semakin lama, ombak yang datang semakin kencang. Seluruh awak panik sambil mulutnya berkomat-kamit sesempatnya.

Kapten David tetap tenang. Ia sudah tahu dari awal, ketika memutuskan untuk berlayar, badai pasti akan menghalang. Sudah ratusan kali Kapten David berlayar entah di lautan apa, dan beratus kali pula ia menghadapi ombak yang mematikan. Namun ombak ini, terasa menyeramkan. Entah karena apa, Kapten David memasang raut muka yang tak biasa ketika menghadapi ombak.

Dahulu, sebelum Kapten memutuskan untuk berlayar, ia adalah anak seorang pembual di kampung halamannya. Semua warga kampung tahu kalau ayahnya adalah seorang pengobral besar. Hanya satu orang yang percaya, yaitu David.

Suatu hari, di tengah kebun yang melintang langsung ke arah bukit, ayahnya pernah berkata padanya bahwa dunia di luar sungguhlah indah dan kampung tempatnya tinggal adalah sampah. Betatupun ia tahu bahwa ayahnya adalah penduduk asli turun-temurun dan tak pernah meninggalkan kampung halamannya, ia percaya pada kata-kata ayahnya tanpa adanya sedikitpun keraguan.

David memulai perjalanannya saat ia sudah pernah mimpi basah. Pertanda seseorang dewasa di kampung itu adalah dengan hadirnya mimpi basah. Usianya mungkin masih 16 tahun, namun kemaunannya sudah bulat, mencari sebuah lukisan yang pernah diberikan oleh ayahnya sesaat sebelum menemui ajal.

Orang-orang kampung tahu kalau lukisan itu hanyalah angan-angan ayah David. Namun perkataan orang kampung tak pernah didengar, ia tetap melakukan perjalanan mencari sebuah bangunan.

“Carilah bengunan ini di luar sana. Ketika kamu menemuinya, maka keajaiban akan datang,” ingat Kapten David pada pesan ayahnya kala itu.

Hingga saat ini, ia telah melalukan pelayaran ratusan kali, mungkin sudah tiga kali mengitari garis katulistiwa. Namun lukisan titipan ayahnya belum juga ditemukan.

Sementara ombak masih senang menggoda kapan Rosswood yang awaknya mulai gemetar, tak hentinya berkomat-kamit mengucapkan entah mantra apa.

Kapten Jono masih tetap diam di haluan kapal. Dalam ketenangannya, wajah yang tadinya murung berubah menjadi senyuman. Ia menemukan bangunan seperti di lukisan ayahnya dalam kejauhan.

“Arahkan kapal lurus ke depan,” perintahnya kepada para awaknya.

Lautan sepertinya sedang tak senang untuk ditunggangi satuan kayu-kayu berisi manusia. Dari bawah ombak menghantam, memutar kemudi kapal kembali ke belakang. Langit pun sepertinya sedang senang bersekutu dengan laut. Badai tak lagi menyisakan ruang kering di atas kapal.

Terdengar lantunan suara-suara tak dikenal dari kejauhan, dari tempat bangunan dalam lukisan itu berdiri kokoh. Ombak semakin kencang, hujan semakin ramai menyerang kapal yang saat itu tunggal di sepanjang mata memandang.

Kapten David menjadi ketakutan. Dari kayu lapisan bawah, air laut terlihat menyembur ke atas. Semua awak yang tedinya hanya komat-kamot sesempatnya, sekarang menghabiskan waktunya di pojok-pojok haluan sampai buritan sembil terus menerus mulutnya bergoyang namun tak bersuara.

Yang terdengar hanyalah lantunan asing dari bangunan di kejauhan dan suara ombak yang berkerja sama dengan hujan menenggelamkan kapal dengan perlahan. Kapten David pun tenggelam bersama kapal Rosswood dan para awaknya. Tak pernah ada terdengar penyesalan dalam perjalan mereka, yang ada hanyalah suara komat-kamit tak terdengan yang  menyatu dengan lautan dan asingnya lantunan dari bangunan di seberang.