Selasa, 24 September 2013

Hug Me Like There's Tommorow~

Yeah...

Abominasi Zine: Setitik Semangat Berbagi di Kampus Jurnalistik

IISIP Jakarta, dulu bernama Sekolah Tinggi Publistik (STP), terkenal keunggulannya di bidang jurnalistik. Pada tahun 2011, saya masuk institusi ini dengan membawa hobi membaca dan menulis. Karena bayang-bayang citra sebagai “kampus jurnalistik” (saya akan selalu menggunakan tanda kutip untuk istilah itu), saya mengkhayalkan bagaimana kerasnya dinamika penerbitan/pers mahasiswa di kampus ini.

Namun apa yang saya rasakan ternyata sebaliknya. Kampus ini sepi media mahasiswa. Pertukaran ide melalui tulisan dan semangat berbagi informasi begitu minim. Waktu itu hanya ada dua media cetak yang saya tahu: Eleven (milik Himajur) dan Epicentrum.

Eleven hanya dua edisi saya lihat, setelah itu seperti tak ada sampai saat ini. Saya pun mendengar kabar Epicentrum bubar. Artinya, persis tak ada media yang saya baca, saat itu.

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan sebuah zine keren bernama Ruang Melati. Tetapi itu cuma satu kali. Kemudian saya menemukan Buletin Kinasih dan Berisik (milik Kremmasi). Kedua media inilah yang terakhir kali saya lihat. Namun di tahun 2013 semester ganjil ini, kedua media tersebut belum lagi muncul.

Kini media-media itu seperti tak jelas nasibnya.

Di sisi lain, saya pernah beberapa kali mendengar beberapa dosen jurnalistik mengeluh bahwa mahasiswanya banyak yang tak bisa menulis. Barangkali ketiadaan medium pembelajaran – dalam hal ini penerbitan mahasiswa – adalah salah satu penyebabnya. Karena, dengan adanya penerbitan mahasiswa, semua civitas akademi bisa belajar bersama mengenai jurnalisme, khususnya tulis-menulis. Kalau sampai lulus mahasiswa IISIP masih banyak yang tak bisa menulis, saya kira, cepat atau lambat, citra “kampus jurnalistik” yang sudah sedemikian melekat di kampus ini akan memudar sendirinya. Pembentukan citra tak cukup dengan hanya mengandalkan wajah Andy F Noya.

Saya juga tak tahu apakah HIMAJUR – yang (kata buku profil organisasi tahun 2011/2012) memiliki Divisi Kajian Jurnalistik – memikirkan permasalahan ini atau tidak.

Tetapi, di samping kekecewaan saya itu, hari ini saya mendapat hal menyenangkan: sebuah zine dari teman saya, Bayu. Yang membuat saya senang dari zine itu adalah saya mengetahui bahwa ternyata ada seorang mahasiswa IISIP yang secara mandiri membuat zine bernama Abominasi. Dialah Bima Putra.


Saya tak mau terlalu banyak membahas isi karena bukan itulah esensinya. Bagi saya, yang terpenting adalah semangatnya dalam berbagi informasi serta pemikiran. Dan Bima melakukan itu dengan menyebarkannya secara gratis seperti udara! Namun secara singkat, Abominasi fokus menulis musik-musik metal.

Yang menarik buat saya adalah bagaimana Bima memproduksi zine 44 halaman ini sendirian. Saya melihat semangat punk dari gambar-gambar, gaya tulisan, dan layoutnya. Gambar-gambar menggunakan tangan yang terkesan sangat cuek, gaya tulisan yang bodo amat, dan layout seadanya justru membuat zine ini menjadi menarik.

Itulah kelebihan dari zine ini. Karena itu, Bima seolah-olah mencubit pipi saya, menyadarkan saya bahwa menghasilkan karya tak perlu menghamba pada otoritas dan mengemis bantuan dari orang lain. Do it your self!

Maka, di tengah sepinya terbitan di "kampus jurnalistik", Abominasi adalah setitik semangat berbagi.


Bima dapat dikontak melalui:
twitter: @abominasizine
email: zineabominasi@yahoo.co.id

Kekal

Ilustrasi: Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit

“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat perpisahan,” Rani terkejut saat suara itu menggema di kamarnya.

Seperti biasa, setelah mendengar suara-suara di kamarnya, Rani lantas menggelar sajadah dan berdoa meminta perlindungan dalam malam yang sunyi, saat hanya suara binatang yang terdengar. Rani sudah tahu pasti bahwa suara itu akan menghilang dengan sendirinya setelah ia berdoa. Saat suara itu menghilang, Rani mencoba untuk kembali ke ranjangnya dan menutup tubuhnya dengan selimut hangat. Ia kembali tidur.

Sinar mentari mulai kembali lewat lubang-lubang yang menganga di antara kayu-kayu jendela. Perlahan, hangatnya mentari menyentuh kelopak mata Rani yang masih tertutup. Tak ada suara burung berkicau yang ikut menyapa paginya. Hanya suara dering alarm dari telepon genggam yang membuatnya sadar. Rani duduk sejenak di atas ranjang. Ia masih mengingat malam-malamnya yang menyeramkan, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membasuh tubuhnya dengan air yang masih dingin.

“Dalam ketenangan ini, akan kubacakan dosa-dosamu,” suara itu muncul lagi.

Rani yang tubuhnya masih basah, lantas kaget mendengar suara itu. Tak biasanya suara itu muncul di pagi hari. Itu adalah pertama kalinya suara aneh itu muncul di pagi hari. Rani mencoba tenang. Ia mengambil sajadah dan langsung berdoa. Namun, kali ini suara itu semakin kencang.

“Aku bukan iblis yang bisa kau usir dengan doa,” suara itu menantang.

Rani tetap berdoa. Suara itu semakin kencang dan semakin kencang lagi. Rani melafalkan doanya semakin kencang, mencoba mengalahkan suara itu. Hingga akhirnya ia tidak tahan lagi.

“Aaaaaaggghhhhhhhhh!!!!!!!!”

“Aku akan membacakan dosa-dosamu selama di dunia.”

“Hentikan! Hentikan! Jangan bicara lagi!”

“Wahai manusia, sadarlah! Kematian akan datang, dan aku akan membacakan semua dosa-dosamu.”

“Ampunnnn.....”
***

Warga kampung terlihat tegang. Bendera kuning telah terpasang di jalan-jalan yang mengubungkan ke rumah Rani. Orang-orang tua berlalu-lalang, sedangkan yang muda sedang sibuk meminjam keranda mayat dari kampung sebelah. Langit yang cerah mendadak hujan.

“Siapa yang meninggal?” tanya Tika, yang baru pulang kuliah, kepada sorang pemuda yang sedang memasang bendera kuning.

“Gak tau, saya hanya disuruh pasang. Pasti ada yang meninggal,” jawab pemuda itu singkat dengan tatapan mata yang menyeramkan.

Tika lantas meninggalkan pemuda itu dengan cepat, mengikuti arah benra kuning yang terpasang. Ia berjalan melewati jalan-jalan sempit. Pikirannya masih terbayang dengan tatapan pemuda yang menyeramkan tadi. Ia baru pertama kali melihat pemuda itu di kampungnya.

Sudah setengah jam ia berjalan, namun rumah duka tak juga ditemukan. Tikatetap berjalan dengan penuh keyakinan. Sampai di persimpangan, berdera kuning tak ada kelanjutan. Tika malah tersasar entah dimana. Saat menegok ke belakang, bendera kuning yang sebelumnya menyangkut di tiang-tiang listrik tiba-tiba menghilang. Tika panik. Ia melihat ke sekitar, namun tak ada seorang pun yang nampak. Langit yang carah namun meneteskan air hujan mendadak gelap.

Tika berdoa dalam hatinya meminta perlindungan. Ia mencoba tenang.

“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat perpisahan,” suara itu muncul dibarengi petir yang menyambar.

Tika yang berusaha untuk tenang tak bisa menahan kuasanya untuk berteriak. Ia meraung, meminta pertolongan kepada siapa saja.
***

Semuanya terjadi begitu cepat. Semua gelap. Yang terdengar adalah raungan kesakitan yang terasa sangat dekat. Suara-suara minta ampun sangat jelas terdengar. Bau busuk tak mau ketinggalan untuk mengambil bagian. Hawa panas menjaral dari ujung kaki sampai pangkal ubun-ubun. Yang terasa hanyalah suara, bau busuk dan hawa panas yang menyakitkan. Dalam kegelapan itu, suara itu muncul lagi.


“Ini adalah ganjaran bagi kalian yang hanya berdoa saat kesusahan. Nikmatilah! Nikmatilah segala hal yang pernah kalian lakukan.”