Jakarta, 21 Juni 2013
Zakarias Suharto (45), satu
dari sekian banyak wiraswasta yang sukses meraih kesuksesan di dunia bisnis
percetakan. Ia sempat menimba ilmu Desain Grafis di Institut Kesenian Jakarta
namun urung menyelesaikannya. “Sederhana saja sih, kalo di dunia desain kan
gimana cara kita buat kreatif. Saya sudah menguasai dasar desain dan tahu
step-stepnya. Buat saya, gelar
menjadi tak penting jika kita sudah tahu apa yang mau kita kerjakan,” tuturnya.
Ia mengawali karir sebagai
desainer prodak di salah satu perusahaan percetakan di bilangan Tanah Abang,
Jakarta Pusat. Disana, Karirnya tidak bertahan lama karena tempatnya bekerja
mengalami kebangkrutan medio 1996.
“Tahun 1996 merupakan awal
yang mengerikan untuk saya. Saat itu perusahaan banyak memberhentikan
pekerjanya dikarenakan sulitnya membayar gaji karyawan. Saya hanya mendapatkan
pesangon seadanya. Padahal waktu itu, saya memiliki seorang anak yang masih
kecil,” Tukas pria kelahiran Cirebon, Delapan Mei 1967.
Ia memulai usaha
percetakannya sendiri dengan nama Artolini. “Nama itu sebenarnya diambil dari
nama panggilan saya waktu kecil, Arto,.Sementara huruf sisanya (olini)
merupakan karangan saya saja. Aslinya saya ingin menulis Art-o-line, namun
karena terlalu rumit, saya singkat menjadi Artolini,” Jelasnya.
Dengan modal awal Rp 200.000
dan sebuah sepeda motor, ia membuka usahanya. “Waktu itu saya menyewa sebuah
rumah dikawasan Kramat Soka,Senen, untuk kegiatan produksi. Saya bekerja berdua
bersama sepupu saya.Ppendistribusian barang saya lakukan sendiri dengan
mengantarkan langsung ke pelanggan di kawasan industri Kerawang dengan sepeda
motor.”
“Jika mengantarkan langsung
prodak ke pelanggan, setidaknya bisa menjalin silahturahmi dengan mereka. Dan
bisnis tak melulu bicara soal uang, melainkan juga kedekatan dan keeratan dari
masing masing pihak yang berkutat di dalamnya,” tandasnya sambil menyeruput kopi.
Di awal tahun 2000, Zakarias mulai melebarkan sayap
bisnisnya. Ia membeli sebuah rumah di kawasan kalibaru, Jakarta Pusat demi melancarkan
kegiatan produksinya. “Sebenarnya saya lebih senang di tempat yang lama, karena
banyak kenangannya. Namun tempat itu sudah dibeli orang lain dan saya harus
mencari tempat baru.” Jumlah pekerjanya meningkat menjadi tujuh orang dan
memudahkan proses peroduksi sebuah barang / jasa. “Bisa meringankan beban saya
sih intinya, jadi ngga grasak-grusuk kaya dulu lagi,” Ujarnya sambil tertawa
kecil.
Banyaknya karyawan tak
mempengaruhi proses pendistribusian barang, semuanya tetap ia laksanakan
sendiri tanpa menggunakan jasa pengiriman barang. “Bisa saja sebenarnya saya
menggunakan jasa pengiriman barang, namun ya itu tadi, saya tetap ingin
menjalankan silahturahmi dengan para pelanggaan. Saya juga menetapkan prinsip
itu kepada para pekerja saya.”
“Usaha kadang tak selalu
berjalan baik. Pada tahun 2002, saya mendapat order dari perusahaan Korea
Selatan. Mereka memesan banyak kalender dan buku panduan perusahaan, namun
mereka cuma membayar setengah dari harga kesepakatan. Sejak saat itu, saya
berfikir ulang jika mendapat order dari perusahaan Korea,” tukasnya.
Menurutnya, pahit manis dalam
dunia bisnis merupakan hal yang biasa terjadi. “Sama seperti roda aja sih,
berputar terus. Bisnis, kehidupan dan apapun itu pasti akan mengalami pasang
surut dan kejadian-kejadian di luar perkiraan.”
Tahun 2007, ia kembali
harus pandah karena tempatnya yang lama, di Kalibaru terlalu sulit untuk
dijangkau oleh para customernya yang kian banyak. “Agak bingung juga kalau ada
customer yang mau ke kantor. Karena
letaknya di dalam gang dan nama jalan kalibaru itu ada banyak. Mau ngga mau,
saya atau pekerja saya suka jemput customer di suatu tempat,” jelas pria
berzodiak Taurus ini.
“Tempat yang sekarang sih
udah lumayan bisa di jangkau sama customer. Karena tempatnya strategis dan
gampang buat akses kendaraan. Semoga saja ini tempat terakhir saya dan tidak
pindah-pindah lagi.” Tukasnya lagi.
Untuk pendapatan omset dari
bisnis yang dijalaninya, ia merasa amat cukup dan tidak kurang. “Alhamdulillah,
sejak merintis usaha ini, saya selalu cukup dan tidak kekurangan. Ya cukup
untuk membiayai pendidikan anak-anak dan kebutuhan keluarga,kalau bicara
nominal, ya relatif lah,” jelas ayah dari tiga orang anak ini.
Empat belas tahun sudah
Zakarias menggeluti usaha percetakannya. Dan ia sempat berfikir untuk menyudahi
usahanya. “Keinginan untuk berhenti sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun
lalu. Saya ingin memulai sebuah hidup di usia 40 tahun. Namun saya urung melakukannya
karena masih ada target yang belum saya raih.”
Ia juga memberikan kiat
sukses dalam melakukan usahanya. “Jika ingin sukses dalam dunia bisnis sih
sebenarnya mudah saja. Ikuti kata hati dan percaya saja sama apa yang ingin
dijalani. Insya Allah pasti ada berkahnya,” tutupnya. (hs)
*narasumber wawancara
merupakan ayah dari penulis
Heri Susanto
2011110014