Jumat, 02 November 2012

Hujan

Sore itu hujan lebat membasahi Jakarta, Robert termenung diantara jutaan rintik hujan. Ia kembali membayangkan apa yang terjadi semalam saat ia tiba-tiba menangis saat melihat langit-langit kamarnya yang kusam. Ia seperti mengalami krisis kepercayaan diri berlebih yang mengakibatkan ia menjadi pemurung dan lebih banyak mendengarkan band-band Post-Rock. Menjadi anti sosial bukanlah hal yang diharapkan oleh seoang Robert yang biasanya menjadi sosok periang. Namun ia menemukan suatu titik dimana belum pernah ia temui sebelumnya, ketenangan.

Robert sendiri menjadi sering terdiam belakangan ini. Post-Rock sepertinya banyak berpengaruh dalam hidupnya yang semakin hari semakin berantakan. Pelan -pelan ia mulai berubah menjadi sosok anak baik dan sedikit periang dan nampak sedikit membosankan. Efek dari musik tenang yang baru ia dengarkan seakan menjadi sugesti termutakhir untuk dirinya.

Robert tak lagi menjadi sosok "Si Gembira Hati" kemuraman dan ketenangan menjadi bagian dari hari-harinya selama seminggu ini. Ia seakan menjadi orang lain dan anehnya ia menikmatinya peran barunya secara konstan. Banyak orang menyebutnya sebagai sosok "pemilik kepribadian ganda" melekat kepadanya dan sepertinya dia tak peduli dengan semua stigma tersebut.

Saat hujan mulai reda, Ia melihat ke langit yang masih agak kelabu dan tersenyum lepas. Sepertinya ia mulai menemukan hidup barunya yang bersih tanpa cela. Dan semoga ia sembuh dari segala dilemanya.

Pak Polisi di Tengah Jalan



Riko (ternyata nama ini cukup asyik untuk dijadikan karakter apa saja) baru selesai kuliah sore itu. Langit mendung, angin kencang datang, perlahan butiran air turun dari awan. Riko cepat membeli segelas kopi untuk menemani rokoknya yang masih tersisa beberapa batang.

Ia termenung melihat hujan yang tak konsisten. Sebentar deras, sebentar mengecil, mungkin karena terbawa angin. Ia menyulut rokoknya dan mulai mehirup aroma kopi yang bercampur wangi senja yang tersiram hujan. Perlahan ia meminum kopinya dan pikirannya menjadi tenang.

Hujan sudah mulai mereda, suara azan berkumandang dari musholah sebelah. Temannya yang baru datang, mengajak untuk pergi ke suatu tempat untuk menghadiri sebuah pertemuan. Selepas azan dan menghabiskan kopinya, Riko, yang belum sempat solat magrib, mengambil motornya dan pergi ke tempat pertemuan itu bersama temannya.

Ia beboncengan dengan temannya melewati jalanan Jakarta selepas hujan, yang agak lengang namun ketika bertemu pecahan jalan selalu membuat kemacetan. Terlihat banyak polisi mengatur lalu lintas di antara jalur dan lajur jalanan. Jalanan di Jakarta memang kadang sangat membosankan ketika hujan belum lama berhenti.
Riko mengemudikan motornya dengan perlahan. Di sebuah putaran balik di daerah Pasar Minggu, ia melihat seorang polisi di tengah lajur jalan, tepat di depannya, sedang mengatur lalu lintas. Riko, yang entah sadar atau tidak, berhenti di samping polisi yang sedang mengurusi kendaraan yang berputar arah. Sang polisi terlihat kesal dan langsung mematikan kontak motor Riko. “Sabar dong, mas. Jangan asal main serobot aja!” setelah mematikan mesin motor Riko, “mundur ke belakang!” Riko, yang lupa membawa STNK, langung deg-degan sambil menahan ketawa mengingat kebodohannya yang telihat konyol. Ia tidak hanya shock, namun juga bingung karena tidak ditilang oleh polisi tersebut. Sementara temannya yang diboncengi malah sibuk sedang menelpon, seakan tak peduli dengan apa yang terjadi.

Ketika teman Riko selesai menelpon, ia langsung menanyakan apa yang terjadi tadi. Riko langsung menjelaskannya dan mereka berdua tertawa perihal kebodohan dan keberuntungan Riko, karena tidak ditilang oleh polisi yang baik itu.

Sampai tempat tujuan, Riko masih memikirkan menapa ia tidak ditilang. Padahal reputasi polisi lalu lintas Jakarta-Depok terkenal dengan mata duitan. Ternyata ia baru sadar bahwa di body depan motornya ada sticker Mabes TNI. “Masa polisinya ngeliat sticker TNI doang langsung diem? Ah, mungkin saja polisi tadi memang polisi lalu lintas yang baik,” pikirnya, sambil membuang jauh-jauh kesadaran akan adanya sticker Mabes TNI.

Menikmati Rasa Sakit di Nasi Pecel Dilema Cinta

Beberapa hari lalu, di jalan Bambu Apus, Jakarta Timur, Addis tak sengaja melihat sebuah tempat makan Nasi Pecel yang unik. Addis memberitahu saya, namanya "Dilema Cinta". Bagi kami, nama itu terdengar aneh untuk sebuah tempat makan. Kami pun tertawa sambil membayangkan apa yang ada di dalamnya: jangan-jangan, nama-nama menunya juga galau? Jangan-jangan, isinya orang-orang galau semua? Jangan-jangan?


Kami kemudian memutuskan ke sana.

Addis memesan makanan. Saya tanpa basa-basi langsung menanyakan kepada Abang yang bekerja di sana perihal nama Pecel Ayam ini.

"kok namanya Dilema Cinta, sih, Bang?"

"iya. Lagi galau," jawabnya pelan dengan aksen Jawa.

Saya dan Addis pun tertawa. Saya menggerutu iseng, "lagi galau mah bikin band atau apa gitu." Addis bilang, "mungkin mereka nganggep kalo bikin band itu terlalu mainstream, makanya mereka bikin Nasi Pecel." Si Abang pun mesem-mesem sendiri.

Rupanya mereka (tiga orang yang bekerja di sana) memang berasal dari Surabaya. Mereka membuka tiga cabang Dilema Cinta. "ini yang pertama, dan ini yang paling lama, sudah dua setengah tahun. Dilema Cinta dua dan tiga, sudah tutup," katanya.

Hal tersebut barangkali membuktikan bahwa di daerah ini, memang banyak orang-orang yang mengidap galau akut. Itu yang membuat Dilema Cinta di daerah ini tetap hidup, dan memiliki pasar. Kalau mau lebih jelas lagi, silahkan buktikan: datang dan amati wajah-wajah orang yang sedang makan di sana.

Makanan pun matang. Saat si Abang menyuguhkan makanan kepada Addis, ia berkata pelan sekali bahkan saya pun tak mendengar, "makan dulu, mba, biar ga galao."

Addis nampak jengkel, tapi tak bisa menahan tawa. Ia mengeluh dan menceritakannya pada saya sambil ngakak. Saya bilang, "sesama orang galau memang wajar kalo saling paham, soalnya ada keterkaitan."

                                           Seorang perempuan nampak seperti sedang makan sepiring rasa sakit.

Sebenarnya menu makanan di tempat ini biasa-biasa saja. Sama seperti Nasi Pecel pada umumnya. Padahal, jika saja menu-menu makanan itu diberi gimmick berupa nama yang juga bercitarasa galau, mungkin tempat ini akan lebih menarik.

"Rasa" di lidah boleh biasa saja. Tapi kalau bicara tentang "rasa" di hati, sudah tentu berbeda. Di tempat ini, siapapun yang sedang merasakan galau dilematis, pasti akan merasakan sensasi yang luar biasa karena perasaan di hati telah direfleksikan pada kenyataan melalui Nasi Pecel Dilema Cinta.