Rabu, 17 Oktober 2012

Menyelamatkan Pasar Loak


“Broh, anterin gua ke C***z yuk, gua mau beli baju nih”. Mungkin kita pernah mendengar percakapan ringan nan membosankan seperti itu. Barang bermerek seakan menjadi hal wajib untuk dikonsumsi anak anak muda. Semua berawal dari sifat konsumerisme berlebih, sifat manusia yang tak pernah puas, atau yang paling menyedihkan adalah sebuah tuntutan untuk modis disetiap zamannya. Semoga hal terakhir tak masuk ke dalam kategori.

Ada sebuah pemikiran ala hipster (ataupun bukan, entahlah) yang mengena di pikiran saya. Mencari sebuah hal yang baru dan terbatas demi tampil berbeda. Khusunya dalam hal berbusana. Saya lebih memilih berbelanja ke pasar loak daripada harus sibuk mengikuti tren yang ada. Tanyakan kepada David Naif, Jimi Upstairs, ataupun para kolektor barang lawas yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu, karena memang tak berguna juga. Pasar loak bisa memberikan penghematan luar biasa pada pengeluaran anda. Daripada berburu barang ke negeri singa ataupun homebase Upin Ipin sekalipun (yang pastinya akan menguras tenaga, kocek dan mampu mengkerutkan kelamin). Segala yang ingin kita cari bisa didapatkan dipasar loak. Mulai dari jaket berbulu hewan (baik najis ataupun tidak), rompi, jeans, baju tidur, bahkan bra sekalipun.

Tidak bisa dipastikan apakah barang yang ada disana merupakan sebuah barang bekas ataupun barang illegal yang tertahan dipelabuhan. Yang jelas, pandai pandailah menawar barang yang ingin kita beli. Sekedar untuk menyelaraskan harga pasar dan dompet, hal ini terbukti ampuh. Dan satu hal yang penting, persetan dengan stigma orang orang yang mengatakan, “barang barang dipasar loak adalah barang bekas pakai, kita akan terkena penyakit kulit, bla bla bla”. Dengan pencucian yang baik dan benar, tentu kita bisa mensterilkan hal buruk yang disebutkan orang-orang tadi. Atau jika masih ragu, pergilah ketempat laundry terdekat (walaupun sama saja hasilnya).

Dengan berbelanja ke pasar loak, kita setidaknya turut membantu para pengusaha kecil menengah untuk tetap makan. Daripada membayar mahal untuk barang bermerek dan mengguritakan program kapitalis yang seakin menggurita.



Tulisan ini ditanggapi oleh Bayu Adji P

Surat untuk Seorang Perempuan yang Tak Terduga (Part I)

Kepada seseorang yang selalu menyimpan rahasia.

Apa kabar? Semoga seperti yang kau inginkan. Sejujurnya, aku merasa pertanyaanku itu penting. Kau pasti tahu, saat ini kita tak seperti minggu-minggu lalu. Kita semakin jarang bertemu. Maka apakah pertanyaan yang paling wajar mengenai kerinduan selain kabar? Mungkin kau akan bilang itu tak penting-penting amat. Tapi itu terserah.

Hmm...

Terakhir kali aku tahu saat itu kau memegang perut, dan berkali-kali mengeluhkan sembilu. Sebenarnya aku ingin sekali berbuat sesuatu, setidaknya berbicara. Hanya saja waktu itu aku bingung, aku tak paham. Aku malah bertanya tentang bagaimana mengatasi kesakitan yang kau rasakan. Ah, aku benar-benar tak mengerti sama sekali soal itu. Maaf, mungkin bukan hal yang kau inginkan.

Itu saja yang terakhir kutahu perihal kesehatanmu. Mungkin sebenarnya sejak awal kau memang tak hendak menceritakan apapun padaku, tak inginkan aku mengetahui apapun riwayatmu. Tapi aku tak peduli. Aku tak peduli jika aku sama sekali tak mengerti tentangmu. Aku sadar: cinta -- seperti juga hidup -- ditakdirkan untuk tak jelas, samar-samar, dan absurd. Ini mungkin sama seperti puisi yang pernah kau tulis yang entah untuk siapa, "cukup kau tahu, tak perlu dimengerti". Karenanya, aku rasa semuanya tak perlu dimaknai.

Tapi aku merasa perlu untuk menulis surat ini. Mungkin karena sudah hampir seminggu aku tak benar-benar hidup dalam duniamu. Aku hanya mengintaimu dari jauh: seperti seseorang yang tengah mengamati Burung terbang tinggi di langit terbuka. Aku tak benar-benar tahu Burung apa itu. Kadang aku anggap itu memang Merpati, tapi ia terlalu tinggi. Maka aku pun selalu ragu.

Barangkali keraguan adalah esensi dari semuanya. Aku menerimanya serupa menerima ketidakjelasan yang mungkin mirip dengan kesementaraan yang kau pernah ceritakan: ia ada dan selalu menyimpan rahasia. Ia ada, tapi tak selamanya. Itu mungkin yang sebenarnya abadi, yang kerap menyimpan misteri.

Surat ini sewujud rindu. Kau boleh meragukannya, mencurigakannya, bahkan menertawakannya. Kau pun boleh -- kalau kau mau -- melibatkan seorang siapapun yang pernah kau sebut. Tapi lagi-lagi aku tak akan peduli. Sebab mencintaimu bukanlah sebuah kompetisi. Aku tak akan merasa menang ataupun kalah.

Jika sampai sekarang kau masih enggan terlibat dialog denganku, semoga kau baca surat ini. Memang, aku tak berharap banyak. Tapi setidaknya inilah caraku merawat sesuatu yang pernah kuceritakan padamu, sesuatu yang selalu erat dengan kehilangan, dengan ketakutan.

Apa kabarmu, Kekasih?

Berkelana Bersama Wieteke van Dort

Sumber: last.fm

Lagi-lagi Riko (baca: profil Riko), yang masih menunjukkan kesetiannya kepada musik-musik lawas, merekomendasikan lagu dari penyanyi yang belum pernah saya dengar sebelumnya, Wieteke van Dort. Menurut wikipedia, Louisa Johanna Theodora "Wieteke" van Dort, yang dilahirkan di Surabaya 16 Mei 1943, adalah seorang aktris, kabaretis dan penyayi asal Belanda.

Tak perlu lama-lama membahas tentang riwayat hidup Wieteke van Dort. Ketika Riko memberi rekomendasi kepada saya untuk mendengarnya, saya langsung percaya padanya dan mencari di Youtube untuk mendengarkannya. Pencarian teratas menampilkan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng, dan beruntung saya tak perlu menunggu buffering yang panjang untuk mendengarkan seperti apa musik yang ditawarkan.


Ketika lagu mulai terputar, latar waktu sudah pasti bisa ditebak. Imajinasi saya membawa nuansa  malam yang gelap di masa setelah Indonesia saat itu, yang baru merdeka secara simbolis, mulai mengisi setiap ruang perasaan. Terbayang di kepala saya, para pemuda masa itu sedang berkumpul mendengarkan saluran radio –meskipun saya tak hidup di “masa itu”- yang menjadi satu-satunya hiburan setelah malam menjelang. Riuh rendah musik indorock (atau keroncong atau apapunlah namanya) era 60-an menyihir suasana malam yang perlahan menghanyutkan membawa saya ke masa lampau. Walaupun belum seberapa lama saya mengenal Wieteke van Dort, tak menjadi alasan untuk tidak berimajinasi tentang suasana indahnya malam-malam yang tenang.

Lirik dalam bahasa Belanda yang terselip nama-nama makanan khas dari Indonesia membuat lagu ini terasa dekat secara emosional. Kedekatan ini yang membuat saya lagsung membuat kopi –sesuai saran Riko yang berkata bahwa mendengarkan Wieteke van Dort lebih asyik kalau sambil ngopi- dan saya mulai berkelana ke masa yang entah kapan, namun terasa tentram.

Mungkin benar jika ada yang mengatakan bahwa sebuah lagu memiliki efek psikologis yang dapat menghipnosis para pendengarnya. Hal itu dibuktikan Wieteke van Dort kepada saya melalaui rekomendasi Riko, tentunya. Saya berkelana dengan cepat bersama Wieteke van Dort ke masa lalu, masa di mana negeri ini terasa nyaman. Pun hanya ilusi, tapi terasa nikmat untuk sekedar menemani kopi yang masih hangat.