Minggu, 13 Juli 2014

Menjilat Takdir

Asap tebal terhembus. Mengepul dan menebas udara menjadi beberapa bagian, sebelum terbang, kemudian menghilang. Ia tak akan kembali. Ia pergi saja tanpa menghawatirkan apa-apa. Ia tahu tak akan terbakar sayapnya di ketinggian karena ia bukan Icarus.

Udara memahami betul semua yang terjadi sebagaimana ia memahami deret Fibonacci. Tapi ia selalu berbaik hati meski asap tak pernah peduli. Ketika asap menembusnya, udara membiarkan dirinya terbelah, pecah, bahkan bila harus berdarah. Ia mengerti, asap adalah bagian dari dirinya.

Orang-orang bilang lautan tak mungkin diteguk hanya dengan satu-dua tarikan nafas. Tapi orang-orang bilang bulan dapat ditiup dengan perut mabuk. Dan perang yang tak akan kita selesaikan adalah melawan keinginan untuk kembali pulang.

Menurut langit, udara sedang berupaya menjadi kuat. Udara sebenarnya tak sanggup menerima takdir untuk selalu pasrah. Tapi langit tak bisa berbuat apa-apa. Pada saat Tuhan menjilatkan takdir pada ruh udara, langit mendapati api tengah menelanjangi diri. Ditatapnya api itu penuh curiga. Api yang penuh siasat, penuh isyarat.

Tapi langit menolak memberi tahu kabar itu kepada asap. Ia hanya anggap itu bagian dari hidup.

Mudik

SABTU siang lelaki tua itu terbangun. Tak ada yang berbeda dari harinya itu. Hanya ada hujan yang menyambut mesra di atap yang ditambal seng hibahan dari asrama militer. Istrinya seperti biasa, tidak ada di rumah. Ia langsung ke kamar mandi, mengambil wudhu dan sembayang.

Sabtu itu adalah pertengahan bulan puasa. Lelaki tua itu masih masih terus berdoa, memohon restu kepada semesta. Ada perasaan yang aneh siang itu. Pikirannya selalu melayang ke kampung halamannya di Kebumen. Ada sesosok suara yang menyuruhnya pulang. Ia bimbang, apakah tahun ini akan pulang.

Sudah lebih dari lima tahun ia tak pernah berjumpa dengan Emaknya. Di Jakarta, ia tinggal dengan keluarga kecilnya. Anaknya tiga. Satu sudah menikah dan merantau ke seberang. Di rumahnya hanya ada empat manusia, temasuk dirinya. Keluarganya memiliki satu kebiasan yang sama: DIAM. Lelaki tua itu rindu kepada Emak yang banyak bicara.

Ia rindu Emak, rindu Kebumen, rindu pulang.

SORE hari sehabis mandi, ia langsung bersiap menyuruh anak lelakinya yang terakhir untuk mengantar ke Pasar Minggu, tempat bus malam Sinar Jaya menunggu penumpang. Mardi bingung bercampur kesal, pasalnya sudah pukul 17.00 dan sebentar lagi buka puasa. Namun Mardi tak banyak bicara, ia simpan kesalnya dalam hati.

Dengan motor yang dulu dibelikan Bapaknya, ia mengantar dengan kecepatan 40km/jam di jalan yang sedikit lengang. Sampai di Pasar Minggu, bus-bus Sinar Jaya sudah menunggu. Beberapa jurusan Purwokerto, ada yang ke Pekalongan. Ada satu yang menuju Kebumen. Leaki tua itu langsung membeli tiket. Mardi sungkan untuk izin pulang.

Azan magrib telah berkumandang. Lelaki tua dan anaknya berbuka di warung kopi dadakan yang hanya ada saat bulan puasa. Setengah jam, Sinar Jaya yang menuju Kebumen dengan nomor polisi B 2345 BM akan jalan. Mardi mencium tangan bapaknya.

Mardi segera pulang setelah bus Sinar Jaya jalan. Malam itu ia tidak ikut solat Tarawih di masjid samping rumah. Ia baru sampai ketika bilal sudah mengucap niat Tarawih.

Di televisi, Mardi menghabiskan waktunya. Berita. Aku butuh berita, pikirnya. Maklum, hasil hitung cepat dari kemarin masih belum ada yang mau mengalah. Mardi senang membanding-bandingkan antara Metro TV dan TV One, hanya untuk ditertawakan.

Seperti tersambar kilat, ia diam menganga, melihat berita terbakarnya bus malam Sinar Jaya yang dia hapal nomor polisinya itu. Bus itu meledak di jalan tol menuju Cibitung. Mardi bingung hendak melakukan apa. Ia mencoba menelpon nomor Bapaknya, namun tak nyambung jua.

Mardi masih tegang. Ia tidak yakin dengan berita yang dilihatnya itu. Ia tidak percaya berita televisi. Namun ia akhirnya menyerah, mencoba untuk percaya.

“Bapak akhirnya pulang,” ucapnya pelan seperti tak ingin didengar.

Lelaki tua itu akhirnya pulang.

The Final: Jerman, Messi dan Argentina




Argentina akan menjamu Jerman pada Final Piala Dunia 2014 di Maracana. Kedua tim sebelumnya pernah bertemu di dua final Piala dunia, yakni pada 1986 dan 1990. Dimana keduanya membagi rata tropi tersebut. Dan uniknya, gelar tersebut adalah yang terakhir untuk keduanya. Argentina terakhir menjuarai pada 1986 dengan Maradona sebagai perwakilan tuhan di dalamnya. Sementara Jerman menjuarainya pada 1990 dengan Andreas Brehme menjadi aktor antagonis bagi tim tanggo dengan eksekusi pinaltinya.

Dan keduanyapun siap bertempur ulang di Maracana dengan ambisi membawa pulang gelar prestiius yang di dambakan setiap negara di belahan dunia. Jeman ingin memecahkan stigma tim Eropa bisa menjadi juara dunia di tanah Amerika. Sementara Argentina ingin membuktikan mereka mampu berjaya di tanah sang rival abadi, Brazil.

Sosok yang tentunya akan disorot pada pertandingan pagi ini ialah Lionel Messi. La pulga tak pernah memberikan apapun untuk negaranya. Ia sudah mendapatkan semua hal yang didambakan pesepakbola seperti gelar pemain terbaik, liga champions, sepatu emas dan masih banyak lagi. Semuanya berhasil dipersembahkan bersama FC Barcelona, Sebuah klub yang merepresentasikan kekuatan rakyat catalan atas ketidakadilan pemerintah Spanyol. Untuk negara, Messi belum mampu mempersembahkan apapun. Emas di Olimpiade 2004 dan piala dunia U-20 bukanlah takaran yang pas untuk sosok maha kuasa sepertinya.

Apesnya, performa Messi yang inkonsisten di negaranya malah dijadikan acuan Alejandro Sabella dalam menenrukan skema permainan. Sabella sendiri kerap memaksimalkan Messi sebagai tumpuan utama permainan. Skema yang diterapkan Sabella mungkin cukup sederhana, “semua pemain hanya perlu menjadi pelayan, biarlah Messi menjadi tuhannya, menjadi eksekutor, menjadi tokoh paling dikagumi.” Kenyataannya, Messi kerap bermain tak sesuai ekspektasi yang diharapkan Sabella. Dengan demkian, Messi-sentrisme dinyatakan gagal.

Percobaan messi-setrismepun nampaknya akan dicoba Sabella sekali lagi di final. Sabella mungkin lupa, Argentina bermain tanpa di Maria, sang transporter bola. Hal inilah yang memaksa la Messiah harus merebut bola kebelangang. Ini jelas tak pantas, mengingat peran Messi adalah eksekutor dan sosok penuh puja-puji. Tak pantaslah ia bersusah susah merebut bola.

Berbeda dengan Jerman, tim panser tengah dihinggapi kepercayaan diri tinggi usai memutilasi Brazil 1-7. Skuad asuhan Joachim Loew siap mematik hasil maksimal lainnya. Apalagi bonus besar telah menanti apabila Jerman berhasil memenangi trophi keempatnya sepanjang sejarah. Jerman sendiri tengah mencari kebanggaan. Mereka mencari pelipur dahaga setelah lama tak bersorak juara semenjak kemenangan 1-2 atas Ceko di Euro 1996. Loew paham betul ia harus membawa pulang tim dengan senyum sungging dan membuat Angela Merkel menari kabaret untuk Klose dan kolega.

Terlepas dari semua, Jerman disinyalir akan membawa pulang kemenangan. Jerman akan kembali mengangkan moral ras arya yang lama tertidur pasca hilangnya Hitler. Dan Miroslav Klose akan mencetak sebuah gol lagi nanti malam.