Senin, 14 Oktober 2013

Sayonara~

Aku tahu kok
Sekaranglah saatnya
Aku katakan

Membaca Eleven yang Sayang untuk Dibuang

Sebuah lanjutan yang tak berkesinambungan.


Akhir pekan lalu, saya bertemu dengan dua mahasiswa yang menjalankan blog ini untuk pertama kali. Berkumpulnya kami, sebagai mahasiswa yang bergerak di media on-line, membahas seputar media kampus. Kebetulan saya diberi tahu oleh anak-anak Pos Bawah, bahwa terbitan Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (Himajur) Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Eleven terbit kembali. Langsung saja kami membelinya.

Sebenarnya saya sudah membaca Eleven sekelibat, dan tak lantas membuat saya tertarik. Namun, rasa haus akan terbitan kampus membuat kami terpaksa membeli untuk melihat isinya lebih dalam. Kata “kami” di atas merepresentasikan kerjasama apik antar mahasiswa. Heri Susanto menyumbang Rp 2000, May Rahmadi Rp 3000, dan saya yang jalan membeli Eleven yang harganya Rp 5000. Benar-benar kerjasama apik, layaknya tim nasional Indonesia U-19 kala menggilas Korea Selatan U-19.

Akhirnya terbitan –buletin, majalah, zine, bulanan, atau apalah namanya- dengan jargon “Gunakan Pena, Menulis dan Bertindak” ini sampai ke tangan kami.

Membuka halaman pertama, membuat saya kaget. Ternyata, Eleven ini sudah bisa dibilang besar karena di halaman pertama ada iklan sebuah merek prosesor komputer. Di halaman pertama juga nampak susunan redaksi dan dua gambar yang tak jelas maksudnya –mungkin karena tak ada caption-nya.

Halaman dua saya baca dengan singkat, karena hanya ada daftar isi dan salam redaksi yang berisi basa-basi. Dalam editorialnya, kalimat terpenting yang saya dapati adalah, “dalam rangka hari tata ruang dan hari hak-hak asasi hewan, eleven ingin membahas seputar permasalahan tataruang jakarta”. Saya menuliskannya apa adanya, dan memang sengaja tanda titik saya taruh di luar tanda kutip.

Kertas itu tertiup angin dan membuka halaman selanjutnya, yang berisi rubrik “Fokus”. Niat untuk membaca mendadak hilang, terbang bersama angin yang membuka halaman ini. Saya paksakan untuk membaca, namun hati ini tetap menolak. Ya sudahlah.

Di halaman lima, ada tulisan berjudul ‘Ulang Tahun KATS’. Tentu saya senang, karena saya adalah bagian dari KATS (Kampus Tercinta Scooter). Dan kebetulan, yang menulis liputan tersebut adalah teman saya di Pos Bawah, sesama anak KATS. Tulisannya asyik, mengalir seperti air. Tentu, paragraf ini tak berdiri sendiri. Ada latar belakang yang tak bisa dipisahkan dalam diri saya. Sehingga...

Saya lanjut membaca –tepatnya melihat- halaman berikutnya. Ada rubrik ‘Pojok Himajur’ dengan tulisan berjudul ‘Ibukota harusnya sebagai simbol kemakmuran, bukansimbolpermasalahan.” Saya pikir, pasti ada filosofi tinggi di balik kata-kata tersambung dan judul yang berakhir dengan tanda titik. Sampai sekarang saya masih memikirkannya.

Berikutnya, ada rubrik ‘Sosok’ yang mengangkat seorang mahasiswi manis dari jurusan Desain Interior, Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia Telkom. Tak ada yang spesial dari mahasiswi tersebut kecuali rupanya yang ayu, pun hanya dalam cetakan hitam-putih. Dan tentu saja, keinginannya untuk membuat desain rumah yang sesuai dengan tata ruang di Jakarta, bisa dibilang spesial. Entah faktor apa lagi yang membuat Riris, sapaan mahasiswi tersebut, bisa masuk dalam rubrik ‘Sosok’. Keberuntungan, mungin.

Di halaman sembilan, ada tulisan dengan judul ‘Mengangkat DNA Nusantara pada Arsitektur Masa Kini’ yang mengisi rubrik ‘Lintas Sahabat’. Entah apa yang dimaksud dengan DNA dalam judul tulisan itu. Apakah ada yang bisa menjelaskan?

Sampailah kita di bagian tengah terbitan ini, tepatnya halaman 11 dan 12. Isinya membahas seputar komunitas dan tempat wisata yang layak dikunjungi. Dalam rubrik ‘Komunitas’ tak ada masalah, karena yang menulis adalah teman saya, yang saya jelaskan di atas –tentu jika dilihat dari bingkai yang saya miliki. Di halaman 12, rubrik ‘Plesir’, saya diajak untuk mengunjungi Dubai. Semoga saja di masa depan saya benar-benar bisa ke sana, mengingat untuk mendapatkan terbitan ini pun harus patungan, dan saya menyumbang tenaga.

Setelah membuka halaman 13, saya sadar, ternyata gambar yang terpasang di halaman pertama bukanlah iklan. Di rubrik ‘Iptek’, saya menemukan ulasan tentang merek prosesor yang terpampang di halaman awal.

Melihat sepintas, rubrik di halaman berikutnya sangatlah menarik, ‘Sekilas Sebelas’. Isinya tentang 11 tokoh arsitektur dunia. Sayang, perasaan menarik hanya lewat sepintas. Tiga halaman terbuang sia-sia dengan informasi yang dengan mudah dapat saya temukan secara on-line.

Halaman 17 dan 18 berisi testimoni enam mahasiswa terkait Hari Kesaktian Pancasila. Isinya seragam, menyayangkan fenomena yang terjadi, di mana hari besar tersebut tak bermakna lagi. Ah, seandainya mereka mencoba sedikit keluar dari jendela. Jika saya boleh mengisi testimoni, maka isinya adalah, “Hari Kesaktian Pancasila adalah tanda dimulainya penghakiman absolut kepada orang-orang yang dianggap komunis.”

Rubrik ‘Skor’ di halaman 19 bisa saya anggap sebagai penghibur, pun isinya sudah kadaluwarsa untuk edisi Oktober. Judul tulisannya ‘Indonesia Juara Umum ISG’, jumlah paragrafnya ada lima, dan setiap paragraf berisi satu sampai dua kalimat. Saya rasa, itu adalah berita lempang. Saya mencoba mengetik di Google tentang Indonesia yang juara Islamic Solidarity Games. Hasilnya, saya menemukan 302.000 halaman terkait dalam 0,30 detik. Lantas, apa saya harus menunggu sebulan untuk membaca berita lempang?


Halaman 20 saya lewatkan. Saya tak begitu tertarik untuk membaca tulisan tentang Indonesia International Motor Show di rubrik ‘Event’. Saya beralih ke halaman 21, dengan rubrik ‘Ada Yang Baru’. Ah, ternyata isinya adalah sinopsis film yang akan keluar. Andai saja resensi, pasti saya baca.

Di bagian belakang, tepat di balik sampul penutup, ada sebuah ilustrasi yang tak mimiliki kredit. Pasti yang membuat ilustrasi tersebut berpaham ‘Copyright is Only for Beginner’. Begitulah. Dan, ada sepotong pengumuman untuk memasang iklan.

Sampul penutup Eleven memasang rubrik ‘Jendela Rana’. Mungkin, ditempatkan di bagian paling belakang agar tercetak warna. Cukup menghibur. Sayang, tak ada keterangan tentang foto-foto tersebut. Hanya ada tiga buah foto dan, lagi-lagi, sepotong pengumuman yang berisi, “Redaksi menerima kiriman artikel atau tulisan yang tidak mengandung sara dan kekerasan. Redaksi berhak menyunting naskah tulisan tanpa mengubah maksud. Naskah tulisan diketik 1,5 spasi dan disertai identitas penulis (foto, nama lengkap, NRP, jurusan & fakultas, angkatan, asal kampus, contact person, email, serta pengalaman organisasi) pengiriman ke sekretariat Himajur.”

Begitulah tanda sayang saya kepada terbitan kampus. Andai di blog ini bisa memasang iklan, pasti akan saya iklankan jasa ‘tata letak dan edit tulisan’. Namun blog ini sepertinya anti-iklan. Tak apalah, asal jangan anti-kritik.

Merah Mani

Saya tak tahu harus menulis apa. Billing warnet saya tinggal sejam. Dari pada saya membuang waktu dengan memikirkan harus memposting apa, lebih baik saya posting asal-asalan saja. Sebab saya juga ingin main dota.

Tulisan ini tentang Tempo Institute yang typo menulis nama saya di websitenya. Nama saya May Rahmadi. Tapi Tempo Institute salah menulisnya sehingga menjadi "May Rahmani".


Nama saya jadi ngeri sekali. "May Rahmani", bisa saja dibaca menjadi "Merah Mani". Mani adalah sperma. Jadi, Merah Mani adalah sperma yang berwarna merah. Bayangkan...