Bikin macet lil alamin.
Sabtu, 03 November 2012
Bikin Macet Lil Alamin
Barusan saya naik motor melalui jalan sempit. Macet, karena ada sebuah pengajian. Ini mungkin sudah umum. Pengajian tersebut digelar di lapangan besar. Orang-orang yang datang ke pengajian itu parkir kendaraannya sembarangan: jalan yang sempit itu semena-mena dijadikan parkiran mobil (khususnya mobil bak) dan motor. Alhasil jalanan sempit itu macet gak karuan.
Surat Terbuka untuk yang Terkasih
Terima kasih untuk Tuhan
yang mengadirkanmu kemarin malam di acara Ulang Tahun mantan kekasihmu.
Walaupun tujuanmu datang bukanlah untukku, setidaknya aku bisa kembali
memandang wajahmu setelah sekian lama. Hal ini mungkin tak penting untukmu.
Aku sadar selama ini
kau tak menganggap kehadiranku, tak masalah buatku. Akupun sadar akan hubungan
kita yang Utopis, layaknya Istrael dan Palestina. Masalah kau menyadarinya atau
tidak, tentu aku tak tahu.
Di matamu aku adalah
seorang kakak, seorang yang kau tuakan. Aku tak meminta kau untuk menganggapku
demikian. Namun aku tahu mengapa kau menganggapku sebagai seorang kakak. Percayalah, aku bukanlah seorang yang pantas disebut kakak. Aku tak bisa
menjadi seorang kakak yang baik. Jika kau tak percaya, tanyakan kepada
adik-adik kandungku.
Tak pernah
sekalipun aku menganggapmu sebagai adik, aku menganggapmu selayaknya teman.
Teman yang bisa diandalkan disaat apapun, kapanpun, dimanapun. Sama seperti
teman pada umumnya.
Beberapa bulan
terakhir sepertinya ada perasaan yang berbeda dari diriku untukmu. Aku
merasakan kehangatan dan keintiman saat kita berbicara berdua. Aku merasa kita
telah tenggelam dalam bermacam wacana,
terlepas dari penting atau tidaknya yang hal kita bicarakan. Namun aku senang
saat berbicara denganmu, sungguh.
Akupun selalu menanti
waktu untuk kembali berbicara denganmu. Setelah pertemuan itu, aku merasa kita
menjauh. Akupun tak tahu mengapa demikian. Tentunya aku sadar, aku juga
berperan dalam menjauhnya dirimu kepadaku.
Rasa cemas selalu
hadir ketika kau tak membalas pesan singkat dariku. Apakah kau baik-baik saja,
ataukah sesuatu terjadi terhadapmu? Sekali lagi, aku tak tahu. Dan aku mulai
berfikir kau mulai menjaga jarak terhadapku, semoga saja itu hanya pemikiranku
yang tak menjadi kenyataan.
Selang waktu kembali
berputar, dan aku mulai sadar aku mulai menyayangimu sedikit demi sedikit. Aku
mencoba untuk mengungkapkan perasaanku secepatnya. Keadaan sepertinya tidak
berpihak kepadaku untuk mengutarakan hal itu.
Sejujurnya aku
menyayangimu bukan karena tanpa sebab. Aku merasa nyaman jika bisa berbicara
apa saja denganmu setiap waktu. Sepertinya berbicara denganmu akan memberikan
efek ketenangan dan rasa lega serta kepuasan tersendiri untukku.
Suatu waktu aku
benar-benar kikuk dan tak tahu harus berbuat apa, aku tak tahu dengan cara apalagi
harus bisa bertemu denganmu. Aku memang seorang pengecut yang selalu
bersembunyi dibalik apapun yang bisa menutupi kebodohanku.
Aku bukanlah
Jim Morisson ataupun Nazril Ilham yang pandai menyanyi dan memiliki daya pikat
terhadap wanita. Aku juga bukan Kahlil Gibran yang pandai merangkai kata-kata
mutiara. Aku bukan sosok kharismatik seperti Soekarno. Aku tetaplah seorang
pecundang yang tak memiliki kelebihan apapun.
Maaf jika surat ini
mengganggumu waktumu dan membuatmu jenuh dengan berbagai kata-kata di dalamnya
yang mampu membuatmu bosan dan muak. Sejujurnya aku hanya ingin mengutarakan
apa yang kurasakan. Maaf jika aku hanya mampu menuliskan perasaanku dan tak
mampu berbicara langsung kepadamu. Aku memang seorang pecundang yang akut,
untuk bicara denganmu saja aku tak mampu.
Aku harap kau
membalas surat ini dengan cara apapun, entah dengan berbicara langung maupun
membalas surat lagi kepadaku. Jika kau tak membalas surat inipun tak mengapa
buatku. Kau membacanya saja aku merasa sangat puas.
Sekian.
Sajak Kebenaran
Vox populi vox dei. Suara mayoritas adalah suara yang paling benar.
Kalau begitu, bunuh saja minoritas, biar perkara selesai. Semakin banyak rakyat
yang merasa sebagai mayoritas, yang menyebut kebenarannya adalah kebenaran
mutlak.
Rakyat yang
(merasa) mayoritas
semakin sulit untuk dikritik, semakin sensitif akan pandangan negatif. Semua pandangan mayoritas adalah benar
(titik). Tak ada yang bisa mengganggu gugat. Suara kami (mayoritas) adalah
suara tuhan. Lalu apa urusanmu? Pergi sana jauh-jauh. Nanti kalau lama-lama di
sini kau bisa mati. Kau hanyalah minoritas, makhluk hidup yang tak pantas
memperjuangkan kebenarannya. Makhluk yang harusnya mengikuti kami, mayoritas.
Egoiskah kami? Apakah
boleh kami membunuh minoritas untuk kebenaran kami? Salahkah kami
memperjuangkan kebenaran bagi orang yang lebih banyak? Hah? Anda jangan diam
saja. Bicara! Bertindak! Jangan menjadi pengecut, yang mondar-mandir lalu
menganggukkan kepala, tanda sepakat. Apa Anda tak ingin memberontak? Tak ingin
memperjuangkan kebenaran yang anda percayai?
Ambilah senjata. Isi
otak kalian dengan pemahaman. Cari tahu dulu apa arti kebenaran. Sudah ketemu? Mari
kita serang orang-orang yang memaksakan ketuhanannya!
Tusuk matanya. Robek
kulitnya. Jangan lupa, karatkan terlebih dahulu tongkat besimu sebelum kau
tancapkan ke jantungnya. Jangan beri mereka kesempatan. Hancurkan, sampai
mereka kesakitan dan menemukan kebenaran, kematian.
Sampai jumpa
kawan-kawan. Dahulu kita bermain bersama, melewati lembah, menghirup ganja sampai berkhayal tentang surga. Namun
kita saling berlawanan, saling menghancurkan. Aku adalah tuhanku dan kau adalah
tuhanmu, kebenaranmu. Sampai jumpa. Sampai jumpa di kematian, kebenaran.
Jakarta, November
2012
Langganan:
Postingan (Atom)