Selasa, 30 Oktober 2012

Kisah Lainnya


Berantakannya hidup saya dimulai pada saat saya dimulai saat saya mengikuti akun Twitter yang bernamakan M. Bisa dilihat setiap detik dan menit selalu ada tweet yang penuh sesak  oleh omongan yang tak jelas. Namun dibalik itu semua, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari sana.

Semena-mena, asal-asalan dan ketidakpeduliannya seakan memberikan sebuah renungan singkat untuk diri saya. Yang saya dapat adalah tidak semua omongan orang bisa kita terima semuanya. Sebuah hal yang kecil namun sangat bermanfaat. dan saat itu sikap tak peduli mulai tumbuh dalam diri saya.

Ada lagi hal yang bisa saya petik dari M, sifat terbukanya terhadap kaum hawa menjadi sebuah pelajaran untuk saya yang pecundang ini. Beberapa hari lalu saat saya melihat obrolan kawan saya dengan kawannya di Twitter. Dan yang jadi masalah adalah ketika saya ikut nimbrung diantara obrolan mereka dan berkata “cantik nih, siapa mey (nama kawan saya)?” mey pun menjawab “temen gue lah her” dan kawannya menjawab “wow”. Sebuah sinyal keberanian sedikit demi sedikit mulai muncul dari diri saya. Kemarin saya pecundang, hari ini saya pemenang. Terima kasih M.

Kemarin sore saat ada obrolan pembunuh waktu dengan para founder blog ini, kami kembali membicarakan Mr. M dan segala tingkah lakunya yang super cerdas dan kadang terlihat bodoh. Dan ada cerita yang membuat saya tertawa sore kemarin “ sesanggar-sangarnya m, gondrong, tattoan, tetep aja tunduk sama tukang tahu sumedang (Tukang tahu sumedang disini adalah Pidi Baiq , presiden Republik Panas Dalam)”  ucapnya.

Kalimalang yang Lurus nan Panjang



Akhir pekan kemarin, saya hendak menuju Pondok Kelapa untuk menyaksikan perhelatan Festival Teater Jakarta Timur. Tapi tenang, saya tidak hendak membahas tentang perlombaan teater yang sedang berlangsung itu. Saya ingin berbagi pengalaman tentang jalanan lurus sepanjang Kalimalang, jalan yang saya lewati untuk menuju Pondok Kelapa. Secara sadar, saya belum pernah ke daerah Pondok Kelapa. Google Maps menjadi alat bantuan yang pasti, setelah saya tanyakan ke orang-orang yang selalu menjawabnya penuh perkiraan.

Siang itu, Jakarta, seperti biasa, terasa sangat menyakitkan dengan panasnya yang memang biasanya tidak biasa. Untung –sebagai orang Jawa saya selalu merasa untung- kemacetan tidak terlalu parah sehingga energi dan emosi saya tidak terlalu habis di jalanan Jakarta. Pasar Minggu sudah terlewati, Kalibata pun terkangkangi, sampai UKI Cawang, langsung saja belok kanan dan saya mulai memasuki Kalimalang.

Angkutan kota (angkot) warna biru mulai menghiasi pinggir jalan. Kadang ada yang menancap gas dengan perlahan, ada pula yang langsung banting setir ke kiri ketika menurunkan penumpang. Ah sudahlah, itu memang kebiasaan yang tidak biasa. Pemandangan di kanan jalan ada kali sempit yang lurus mengikuti panjangnya jalan Kalimalang. Terlihat pula di pinggir kali beton-beton bakal jalan layang yang terabaikan. Mungkin kali itu yang namanya Kali Malang. Tapi mengapa bernama Malang? Apakah dahulu banyak orang Malang tinggal di tempat itu? Atau masyarakat tempat itu selalu merasa malang? Saya sedang tidak ingin membicarakan asal-usul Kalimalang.

Mungkin tidak benar jika nama Kalimalang dimaknai sebagai representasi warga di daerah itu yang malang, karena kemalangan itu tak terjadi pada saya –walaupun saya bukan warga Kalimalang dan hanya sekedar tersesat dalam kelurusan Kalimalang. Saya membiarkan diri saya tersesat di daerah Kalimalang, walaupun saya sebelum berangkat sudah mengamati Google Maps dengan seksama, namun Kalimalang tetap terasa asing. Seperti pergi ke daerah Kuningan, Jawa Barat (mungkin saya agak berlebihan), ketika sejuknya pepohonan menghalangi matahari yang sedang tak senang (setidaknya seperti itu kondisi Kuningan saat terakhir kali saya melewatinya). Perlahan, saya mulai bosan saat sadar jalanan yang lurus ini tak kunjung berpangkal –ya, sama seperti hidup yang lurus-lurus saja, pasti membosankan. Namun, saya tetap menikmati ketersesatan dalam Kalimalang.

Kalimalang tak seganas jalan panjang Condet yang sempit, macet dan banyak pengemudi tak sabaran di belakang Metro Mini yang menunggu penumpang (mohon maaf untuk warga Condet dan sekitarnya bila tersinggung). Juga tak sepanjang jalanan lurus dari Puncak menuju Bandung (entah, saya lupa nama jalannya). Tapi suasana di Kalimalang membuat saya merasa senang untuk tersesat dalam jalanan yang lurus dan panjang. Entah karena apa. Mungkin pepohonan yang terasa menyejukkan, mungkin kemonotonan jalanan yang terus saja tak bergoyang, atau mungkin suasana kalinya yang sempit dan berwarna hijau-kecoklatan. Saya rasa, tak dibutuhkan sebuah alasan untuk menikmati suasana jalan Kalimalang. Saya membiarkan diri saya untuk tersesat dalam sebuah perjalanan dan mencoba menikmati ketersesatan itu. Semoga saja lain kaki sya kembali beruntung menemukan Kalimalang-Kalimalang yang lain, tentu dalam ketersesatan yang lain pula.

The Power of "Terus Kenape"


Frasa "terus kenape", belakangan ini menjadi senjata paling ampuh bagi beberapa teman saya dalam menangkal setiap serangan kalimat-kalimat dari oranglain. Setiap kritikan yang ofensif, sekejap dapat dipatahkan dengan pertahanan berupa pertanyaan "terus kenape?". Kadang-kadang, frasa itu ditambah kalimat lain semacam, "you pikir vox you vox dei?" (lo pikir, suara lo suara tuhan?).

Awalnya, frasa itu sering digunakan oleh akun twitter @midiahn, seorang publik figur yang absurd (sila cek timeline twitternya). Salah satu teman saya yang juga fans M (nama twitter @midiahn) pun menirunya hingga akhirnya menjadi tren lokal di kalangan teman-teman saya.

Saya semula menganggap itu semacam lelucon. Tapi barusan saya mendapatkan pengalaman yang membuktikan bahwa frasa itu memang memiliki semacam kekuatan tersembunyi.

                                                                                                      ***

Saya kaget. Sekitar jam satu tengah malam tiba-tiba telfon rumah saya berdering, memecahkan segala kesunyian. Ini tak seperti biasanya. Aneh. Jarang sekali orang menelfon di malam seterik ini. Orang-orang rumah saya sudah tertidur lelap. Saya pun langsung bergegas mengangkat telfon tersebut dengan segenap penasaran yang ada dan juga untuk menjaga agar orang-orang di rumah saya tidak terbangun.

"Halo...," saya mengangkat telfonnya. Terdengar suara kerumunan.
"Pa...," suara tangis. Si penelfon itu menangis membelakangi suara kerumunan tadi.
"Halo... Siapa nih?", saya memastikan.
"Pa, ini aku," nangisnya semakin menjadi-jadi, "aku ketangkep polisi, Pa...", semakin lengking.
"Terus kenape?", saya menjawabnya enteng.
"nuuuut... nuuut... nuuuuut," dan telfon pun terputus.

Saya tahu betul, itu adalah telfon penipuan. Teman-teman saya sudah banyak sekali yang menceritakan pengalamannya mengenai penipuan dengan modus seperti itu. Cara yang sama, di waktu yang sama. Penipu tersebut biasanya meminta korban menransfer uang, membuat korban panik di tengah malam yang sepi. Beberapa teman saya pernah ada yang terjebak. Mengerikan memang.

Tapi betapa tidak, malam ini, si penipu menyerah dengan menutup telfonnya karena merasa usahanya sia-sia hanya karena sebuah frasa: TERUS KENAPE?