Senin, 16 September 2013

Sementara Menunggu Riko


Di pinggir jalan dekat pohon yang beridiri gagah, sambil duduk di gundukkan tanah, Estragon mencoba melepas sepatunya. Dibetotnya dengan kedua tangannya disertai mendesah. Setelah istirahat sejenak, dicobanya lagi melepaskan sepatu –begitu terus, berulang-ulang sampai Vladimir masuk. Lalu, lakon Menunggu Godot pun dimulai.

Saya belum pernah menonton lakon karya Samuel Beckett itu secara langsung. Saya hanya pernah membacanya, itu pun belum sampai tuntas. Namun katanya, Godot tak pernah muncul –dan tak ada yang tahu siapa itu Godot. Padahal Vladimir dan Estragon begitu setia menantikan kehadirannya, pun mereka bebas untuk meninggalkan tempat penantian Godot.

Ah, terlalu sok tahu kalau saya menceritakan sebuah karya sastra, yang saya sendiri belum tamat membacanya. Lagi pula, mungkin ada ribuan ulasan tentang naskah Menunggu Godot. Saya akan bertutur tantang langit saja. Ah, langit sedang hitam. Hanya bulan yang tampak di kejauhan. Sepertinya tema langit sedang tak mau diajak bercanda –padalah saya sedang ingin bercanda. Atau  bercarita tentang absurditas yang semakin lama menjadi dekat dengan kita. Misalnya? Saya adalah pencari contoh yang buruk, jadi sulit untuk menampilkan misal.

Yasudahlah, mau tak mau, lagi dan lagi, Riko menjadi bahan. Lagi pula saya sudah menulis nama Riko sebagai judul.

Beberapa hari terakhir ini saya menunggu Riko. Bukan. Bukan karena karena urusan bisnis yang belum terselesaikan, namun karena sebuah romansa sederhana melalui media 140 karakter, bernama Twitter. Riko bukan Godot yang absurd nan menjengkelkan. Riko adalah manusia utuh yang bisa sedikit main gitar dan sangat protektif terhadap air mineral.

Sudah lebih dari dua hari saya tidak melihat Riko membuat kata-kata –brengsek- di Twitter. Bahkan di dunia nyata, sudah seminggu lebih saya tidak bertemu dengannya. Ada yang bilang kalau Riko sakit, tapi ia tak mau dijenguk. Padahal ingin sekali saya membawakan jamu-jamu pilihan dari perempatan yang memisahkan jalan menuju Pasar Rebo, Cijantung, Cililitan, dan Kampung Rambutan.

Riko adalah superstar, orang yang saya kenal baik dari sekolah dasar hingga sekarang. Keinginannya sederhanya. Hanya membakar sampah di sebuah tong kosong agar terlihat seperti kebiasaan orang-orang di luar negeri –hal ini disebabkan karena ia sering melihat film-film Hollywood, banyak orang-orang berkumpul dan berdendang melingkari tong yang mengeluarkan api, dan itu terlihat keren.

Ah, Riko. Kembalilah muncul ke permukaan! Paling tidak menulislah kejujuran di Twitter. Saat orang-orang banyak berbicara tentang Tuhan, paradoks, rasionalis, jadwal kuliah, habib yang meninggal, atau bahkan polisi yang dibegal, kau hanya berbicara tentang kejujuran. Yang lain masih berkicau mengenai tentang tren vickinisasi, sampai ada yang ngetwit lagu 'Karma Police' Radiohead dengan kata “Karma polish! !” yang entah apa maksudnya. Saat yang lain sibuk dengan segala hal yang aktual nan absurd, sementara saya hanya masih menunggu Riko!

3 komentar: