Selasa, 23 Oktober 2012

Sajak Rokok Putih


Di sore hari yang cerah, di kampus yang tercinta (huaaaaaaah….), saya sedang menikmati sebuah rokok putih yang hangat beserta sebuah kopi hitam lokal terbaik. Tiba-tiba seorang kawan menghampiri dan berkata. “ Rokok lu kayak orang kaya, kok ngopinya kopi item? Caphuchinno dong harusnya,” sindirnya. 
Lepas itu kami berbicara panjang lebar dan tentunya wasting time.

Keesokan harinya saya kembali membakar rokok putih dan nongkrong bersama kawan-kawan professional time waster, seorang dari mereka mengambil sebatang rokok putih saya dari bungkusnya, “Ini rokoknya Noel (Noel Gallagher, gitaris dari grup Oasis) sama Cobain (Kurt Cobain, vokalis Nirvana), rokoknya musisi ini mah coy.” Saya hanya tertawa.

Beberapa waktu yang lalu. Seorang teman menghampiri dan saya yang sedang merokok rokok putih (lagi) kemudian membuangnya dari hadapan saya, dan mengembalikannya. Orang tersebut adalah orang “yang katanya“  anti kapitalis.

Dari beberapa kasus di atas, dengan sok tahu saya akan memberikan seedikit penjelasan.

Rokok Putih sering dibilang sebagai rokok orang kaya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan stigma seperti itu.

Satu, rokok putih terlihat begitu ekslusif karena tak bisa diketeng (dibeli secara satuan) di warung-warung kelontong. Sekalipun ada, harganya akan lebih mahal (lima ribu rupiah, hanya dapat tujuh batang, tanyakan pada warung  di depan kampus tercinta).

Dua, jikalau diketeng, hal itu akan mempengaruhi rasa yang akan dihasilkan oleh rokok tersebut saat dibakar. Rokok putih akan terasa hambar (tak enak) jika lama terkena angin. Beda dengan rokok lainnya. Yang semakin terkena angin akan semakin enak. Karena pada dasarnya, rokok putih adalah rokok yang terbuat dari kertas yang dicampur aroma saus tembakau.

Tiga, harga rokok putih yang mahal. Sudah barang tentu hal inilah yang menyebabkan stigma tersebut muncul. Bandingkan dengan harga rokok lainnya dipasaran. Jika kita membeli di warung kelontong modern (seperti Alfa dan kawan-kawannya), harga rokok putih mencapai Rp13.500 s/d  Rp 20.000. Warung kelontong sederhana biasanya hanya menjual beberapa jenis rokok putih. Dengan kisaran harga Rp14.000 s/d  Rp15.000.

Keempat, mereka yang borjuis juga menjadi pihak yang menyebabkan “pengeksklusifan” rokok jenis ini adalah rata rata mereka menerapkan standar 4B (Blackberry, behel, belah tengah, black menthol). Hal terakhir bisa jadi acuan. Rokok menthol biasanya menjadi ajang “eksistensi“ untuk para perokok awam untuk sekedar bergaya dan tidak benar benar menyukai jenis rokok tersebut.

Rokok putih dibilang rokok musisi luar negeri karena:

Satu, di luar negeri tidak ada rokok yang terbuat dari tembakau. Karena ada perundang undangan tentang pelarangan pemakaian tembakau pada sebuah rokok. Jelas saja Noel, Cobain atau siapapun tak pernah menghisap jenis rokok lain selain rokok putih. Sekalipun ada rokok dari tembakau, harganya pasti mahal.

Dua, Slash (eks gitaris Guns and Roses) sering memainkan solo gitar seraya menghisap rokok (bisa dilihat di video Sweet Child of Mine). Mungkin hal inilah yang kerap menjadi sebuah acuan tersebut.

Tiga, Sebagian besar produsen rokok putih di negara tercinta ini (Cuih…) berasal dari luar negeri.

Rokok putih juga sering di anggap sebagai produk kapitalis karena berasal dari luar negeri. Namun sebagian besar rokok  putih di Indonesia rata-rata sudah di produksi di daerah daerah di Indonesia. Seperti Jakarta dan Bekasi. Apakah ini masih disebut sebagai produk kapitalis?  Lalu apa kabar dengan celana jeans yang biasa kau pakai setiap hari? Apakah itu bukan produk kapitalis yang selama ini kau benci?

Kebenaranku Kebenaranmu


Ilustrasi: deviantart.net

Kehidupan tidak selalu tentang baik dan buruk, benar dan salah, hitam dan putih. Namun, tak seorangpun yang berhasih menjadi satu sisi tersebut secara sempurna. Tidak ada orang yang sepenuhnya salah, begitu pula sebaliknya. Kehidupan merupakan proses menjumpai kebenaran yang sesungguhnya. Selalu abu-abu. Selalu ada toleransi.

Pertentangan terjadi ketika keegoisan kebenaran melawan segala hal yang dianggap salah. Kebenaran menurut siapa? Menurut golongan yang merasa benar dan tak mau mengakui kebenaran orang lain, karena menurutnya, kebenaran yang diperjuangkannya adalah kebenaran mutlak. Konflik mungkin tak akan terjadi bila dalam kehidupan ini tidak ada kebenaran atau mungkin dengan toleransi yang tak ada batasannya. Tapi, toleransi selalu mempunyai batas. Sayang sekali toleransi tak bisa sepenuhnya menjadi anti-tesis konflik.

OK. Mungkin saya keliru. Kebenaran mungkin memang harus ada dalam kehidupan. Tapi, kebenaran menurut siapa? Kebenaran penguasa? Kebenaran agama? Kebenaran kaum minoritas? Kebenaran feminisme? Kebenaran fasisme? Begitu banyak kebenaran dalam kehidupan kita. Begitu banyak orang yang dianggap salah atas dasar kebenaran tersebut. Begitu bahagianya mereka yang hidup atas nama kebenaran.

Lalu siapa yang paling benar? Tidak ada kebenaran yang mutlak di kehidupan ini. Yang ada hanya kebenaran atas dasar kesepakatan. Kebenaran yang diterima oleh semua pihak. Kebenaran yang tidak mengambinghitamkan yang lain. Kebenaran yang tidak melabeli predikat  “salah” secara semena-mena kepada pihak yang bertentangan. Semua ada prosesnya. Ada proses untuk merundingkan kebenaran untuk disepakati.

Ohhh... Betapa membawa masalahnya kebenaran ini. Kebenaran tulisan ini pun mungkin mengambinghitamkan Anda sebagai pembaca. Tapi hal tersebut tentu saja di luar kuasa saya. Anda yang merasa tersalahkan. Saya tidak bilang bahwa Anda keliru. Tapi tenang, kekelirauan saya masih bisa ditoleransi, saya pun akan memberi toleransi kepada Anda yang keliru secara tidak terbatas –walaupun dalam realita, toleransi selalu berbatas. Ya, masih ada toleransi sebagai kambing hitam untuk tidak menyalahkan Anda atau saya. Mungkin ini adalah keapatisan saya saat ini kepada mereka yang membicarakan tentang kebenaran. Betapapun usaha seseorang untuk membuka kebenaran, namun kebenaran sejati adalah diri kita sendiri –yang tidak semena-mena menyalahkan pihak lain, tentunya.