Rabu, 02 Juli 2014

Seberkas janji yang terlupakan



Alkisah, hiduplah dua anak laki laki dengan latar belakang yang berbeda. Aji adalah seorang anak berperawakan kecil, tengil, memiliki ayah seorang penjaga perdamaian dunia yang  sering diutus  PBB ke zona konflik, serta hidup sederhana. Sementara Anto adalah seorang yang berperawakan besar, mirip penjaga sekolahnya Harry Potter, berkacamata agar terlihat pintar, overweight dan biasa saja. Mereka berdua bertemu ketika menimba ilmu di Institut Ilmu Santet dan Ilmu Pelet. Sebuah tempat yang menolak keras tentang modernitas. Bahkan jarang sekali kita temui televisi di dalamnya.


Pada medio 2012, saat selesai mengikuti kelas komunikasi dua alam, Aji mebuka obrolan ringan dengan Anto seputar sepakbola. Saat itu memang tengah digelar event Piala Eropa 2012 yang di gelar di Polandia dan Ukraina. “Nto, gimana kalo kita taruhan tim yang melangkah lebih jauh di Euro kali ini, gua dukung Inggris nih, gimana? Elu mau gak?” Ujar Aji sambil berapi-api. Gaya bicaranya yang bariton mengingatkan kita kepada sosok revolusioner macam Guevara atau De La Rocha di balik mikrofon RATM.  Anto pun membalasnya ajakan Aji, “Yaudah boleh coy. Gua pegang Jerman deh, taruhannya apa nih? Rokok aje yeh,” tutup Anto. “Oke rokok satu setengah selop yak,” tutup Aji. “Sip deal.” Mereka berdua berjabat tangan. Mencapai kesepakatan. Kesepakatan perjudian yang sesungguhnya dilarang oleh agama manapun.  Saat mereka bersalaman, terdengar sayup-sayup musik dari radio tua di antara mereka. Kira-kira seperti ini bunyinya, “judiiiiiiii..........teeet.”  Ya, itu adalah sebuah lagu legendaris dari Bang Haji Lazio Sejalan yang terkenal itu. Permainan gitar Bang Haji seakan membuat kita harus membandingkannya dengan Richie Blackmore.


Kick Off piala Eropa 2012 telah dimulai. Inggris dan Jerman dengan mudahnya mengkandaskan lawan lawannya di fase grup. Anto dan Aji cukup puas dengan penampian kedua tim yang di dukungnya. Sampailah kedua tim tersebut di fase gugur. Dimana yang kalah harus pulang ke negaranya. Saat itu di babak 8 besar Inggris bertemu dengan Italia dan Jernan berhadapan dengan Yunani. Inggris harus mengakui kehebatan para pembuat pipa dan pizza melalui adu pinalti. Tim tiga singa harus puas kembali ke Britania dengan kepala tertunduk. Seperti habis kena labrak senior. Sementara Jerman tampil perkasa dan mengandaskan tim dewa dewa, Yunani, degan skor 4-2 . secara otomatis, Anto menang taruhan atas Aji. Secara hukum dan deal perjudian, ia berhak menerima hasil dari perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

Sehari setelah match tersebut, Anto menagih haknya kepada Aji, “Oy-oy, mana nih rokoknya? Ude kalah noh Inggris.” Pinta Anto kepada Aji yang  masih terlihat shock atas kegagalan Inggris. Matanya terlihat merah, munkinkah ia menangis meratap kegagalan Steven Gerrad dan kawan-kawan? Ataukah ia terlarut bersama lagu Stop Crying your Heart Out milik Oasis yang khusus diciptakan demi mengenang kegagalan St George Cross di Piala Eropa 2004? Setelah beberapa lama, Aji akhirnya buka suara,” Gini to,” ujar Aji sambil menghumuskan asap tebal dari rokok kretekya. “Gua bakal bayar rokok elu tapi mungkin bulan-bulan depan lah. gua ga ada pemasukan nih. Yaa karena bulan depan udah libur kuliah. Paling awal semester baru deh gua bayar.” Terang Aji. “Yaudah oke, tapi lu bayar kan, jangan ampe ngga ye.” Tukas Anto “Iye selaw lah.” Merekapun kembali memasuki kelasnya masing masig. Anto masuk ke kelas Pendapat Dukun. Sementara Aji masuk ke kelas Propaganda Perpeletan.

Awal semesterpun tiba.  Anto kembali menagih janjinya kepada Aji, “Ude awal semester nih, mane Janji elu? Tukas Anto dengan nada sedikit sewot. “tenang aje lu,  bulan depan pasti gue bayar.” Merekapun berlalu. Bulan depan yang di janjikan tiba. Aji masih juga belum membayar hak Anto. Pernyataan Aji masih sama seperti bulan kemarin. Sama saja. Aji tak memiliki itikad untuk membayarnya. Pahitnya lagi, Anto tak memiliki jaminan apapun dari Aji, ia hanya memegang janji Aji saja. Janji yang entah kapan akan di realisasikannya.

Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan pungkiri.” (HR. Bukhari, Muslim)

Anto kini menjadi gundah. Ia bingung atas sikap rekannya itu. Disatu sisi, Aji sendiri yang berjanji akan melunasi hutang-piutangnya. Disisi lain, Aji sendiri yang meningkarinya. “Ada yak orang model gini....” Gumamnya dalam hati.”

Waktu berlalu begitu cepat, malam terlalu banyak bertukar warna, angin terlalu sepoy menyapa dedaunan rimbun, matahari terlau pagi untuk menyinari..... Aji masih belum membayar hutangnya !!!
Akhirnya sebuah keputusan diambil Anto. Suatu malam ia mengirim sms kepada Aji, kira-kira beginilah isinya, “Oy... lu kapan nih bayar utang, lama bener deh. Ude berape bulan nih? Gue tunggu ampe bulan depan ye pembayarannye. Gimane sih ah?” Namun, tak ada balasan dari Aji. Tak ada sama sekali, kosong melompong. Seperti hati yang ditiggalkan orang tersayang.

Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim)

Tenggat waktu yang diberikan Anto kepada Aji tak digubris sama sekali oleh revolusioner kecil itu. Aji tetap cuek kepada Anto. Seakan tak terjadi apa-apa. Prinsipnya sangat cuek. Itu mungkin bagus. Namun tidak untuk keadaan saat ini. Keadaan yang seharusnya membuatnya berfikir keras. Namun apalah daya, Anto adalah pria sabar dan teraniaya.

Namun apapun yang terjadi, mereka tetap menjalin pertemanan dengan baik. Walaupun Aji memang benar-benar tak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah piutangnya. Mereka masih tetap berteman dan bertegur sapa satu sama lain. Janji tinggalah janji. Perkataan seseorang belum tentu bisa dipegang kebenaranya. Manusia memang tempatnya salah dan lupa. Namun Aji sengaja untuk bersikap salah dan lupa. Banyak orang berspekulasi, Aji sebenarnya bukan orang. Beberapa teman kerap melihatnya berdiam diri, terkadang Aji kerap terlihat sedang mengajak bicara benda mati, seperti batu, gelas kopi, bungkus teh. Bahkan pernah suatu waktu seorang teman tengah mempregokinya berbicara dengan ikan di kolam dekat kampus. Ah semoga saja Aji tidak menjadi gila karena hutangnya kepada Anto.

Setelah kejadian itu, Anto tak lagi ingin berjudi bersama Aji. Dengan yang lainnya masih, walaupun intensitasnya kecil. Ia terkadang masih mengalami trauma yang mendalam karena sikap Aji tersebut. Beberapa waktu yang lalu, ia iseng membuka buku yang berisikan banyak hadist. Ia menemukan hadist yang menggambarkan sebuah keadaan, keadaan yang mungkin pilu untuk dirasakan. Menurutnya, hadist ini cocok untuk menggambarkan keadaan Aji.

Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang.” (HR. Muslim)

Subuh yang Fasis

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Al-Hujurat ayat 13
Kita adalah manusia yang hidup di zaman yang bising, di mana kesunyian adalah suara yang paling menyenangkan. Suara yang lahir dari tidak adanya suara. Namum kita memilih untuk bising. Mengomentari segala hal, sekaligus menutup diri dari segala komentar.

Terlalu banyak suara yang masuk.

Suara-suara itu tak mau juga berhenti. Terus menyergap. Tak peduli apakah suara itu bermakna atau tidak. Namun yang pasti, suara-suara itu hadir dalam setiap ketenangan pagi. Dan, mau tak mau, saya memberi makna pada suara itu.

Pagi ini adalah hari puasa ke empat. Nenek saya baru saja pulang ke kampungnya semalam. Hidangan sahur di rumah, yang seharunya cukup untuk empat orang, terpaksa kami habiskan bertiga –saya, emak dan bapak. Tak ada suara. Hanya televisi yang menayangkan bola, dan kipas angin yang selalu berputar. Namun bermakna. Menenangkan.

Kesunyian itu datang lagi, namun perlahan pergi kembali.

Saya tertidur pulas semalam, sehingga baru bisa menulis setelah sahur. Ada pesan masuk di kotak surat elektronik saya, yang menyampaikan bahwa tulisan bagian akhir tentang kerja mahahasiswa telah selesai. Saya membaca, sesekali tersenyum pahit. Kerja mahasiswa tak akan pernah selesai.

Suara-suara itu datang kembali. Jeritan yang tak henti kesakitan, ledakan ratusan toko di pasar-pasar, tangisan perempuan setengah terbakar di dalam tokonya.

Suara ketakutan. Suara ketakuta yang disisipkan melalui surat elektronik yang datang.

Pagi ini saya sahur terlalu banyak. Otak saya sudah lama tersadar dari gelombang alfa. Perut saya kembung akibat segelas teh hangat yang ditutup dengan sebotol air putih dari kulkas. Jeritan itu masih terdengar; Suara perempuan yang kesakitan.

Saya putuskan membaca kiriman surat elektronik yang masuk tadi malam dengan perlahan. Satu kalimat terakhir di suat tersebut yang ingin saya sampaikan; Meyakinkan orang untuk tidak memilih fasis sebagai presiden nanti.