Selasa, 01 Oktober 2013

Macet Sejak Depan Pagar Rumah Anda



Malam, di sebuah tempat nongkrong yang kedap cahaya, saya dan Bayu duduk di bangku terbuat dari semen. Kami sedikit ngobrol santai soal kemacetan di Jakarta. Kemacetan: alasan yang paling gampang untuk menganggap Jakarta adalah kota yang brengsek.

Kami sepakat bahwa menggunakan jalan raya Jakarta membuat banyak waktu terbuang tak berguna. Oleh karena itu, Bayu punya rencana untuk meninggalkan Jakarta. “Macet kayak tolol,” katanya.

Di kota ini, kemacetan memang sudah di mulai sejak depan pagar rumah anda. Mobil secepat apapun tidak akan berguna di Jakarta. Saking macetnya, maka timbulah istilah “tua di jalan”.

Kondisi macet yang begitu parah ditambah cuaca panas dan debu-debu jalanan dengan sempurna membuat kota ini semakin terasa seperti neraka. Pengendara motor terlihat seperti ninja: hanya mata yang terlihat di wajah karena hidung dan mulutnya ditutup untuk meredam debu. Untuk menghindari macet, tak jarang mereka “berlompatan” naik ke trotoar-trotoar.

Pejalan kaki (pengguna transportasi umum) juga menutup hidung dan mulutnya. Suatu pagi, di sebuah kemacetan, saya melihat seorang laki-laki di dalam angkot. Ia masih menggunakan masker, meski sudah duduk di dalam angkot. Hal itu membuat saya dapat melihat matanya dengan jelas. Mata yang kosong, yang penuh dengan kepasrahan.

Pengguna mobil, meski terlindung dari cuaca panas, sering medapatkan masalah spion patah karena diserempet pengguna motor beringas yang muak dengan kemacetan.

Macet seringnya berdampak pada psikologis. Keadaan jalan raya yang kacau tak jarang menimbulkan perkelahian antar pengguna jalan. Selain itu, kelelahan yang dialami pasca merasakan macet mengakibatkan orang gampang marah. Kalau pun tak marah, sesampainya di rumah, seseorang tak bisa menggunakan waktu bersama keluarganya secara baik.

Wajar jika Jakarta akan dipenuhi oleh orang-orang gila.

Berjam-jam kemacetan Jakarta, tak serta merta membuat orang-orang berpindah. Banyak orang masih kompromi dengan hal tersebut karena alasan yang terdengar menyedihkan: “Mau gimana lagi? Wong dapet kerjanya emang di sini.”

Salah satu faktor penyebab kemacetan di Jakarta adalah mudahnya memiliki kendaraan bermotor. Dengan kredit yang murah, orang dapat mempunyai kendaraan roda dua. Keingininan memliki kendaraan pribadi disebabkan oleh buruknya transportasi publik.

Seorang bule dalam tulisannya mengenai Jakarta berjudul “Kota Fasis yang Sempurna” mengatakan adanya konspirasi antara industri otomotif dengan pemerintahan. Pemerintah sengaja tak membenahi fasilitas umum termasuk transportasi publik, supaya orang-orang membeli kendaraan bermotor.

Lebih parah lagi, saya dengar, Boediono baru saja menyampaikan akan adanya penjualan mobil murah. Kebijakan yang penuh kebohongan.

Seiring jalannya obrolan saya dengan Bayu, kami berandai-andai: jika saja di kemudian hari waktu mengalami macet di Jakarta akan lebih lama dari jam kerja, barangkali orang-orang akan mengatakan hal yang sama, “mau gimana lagi? Wong dapet kerjanya emang di sini.”

Komunisme ≠ Atheisme

Sekitar 3 tahun yang lalu, gue kenal sama seseorang. Sebut saja namanya Kaktus. Kaktus adalah seorang guru bahasa Jepang yang dikenalkan oleh Gadis Kesayangan gue. Ketika bertemu pertama kali, gue biasa aja sama dia. Begitu pertemuan kedua dan ketiga, gue tau kalo nih orang pinter nih. Sebagai seorang sapiosexual, tentulah orang kek begini menarik buat gue.

Pecah

Pagi ini beraroma ganja
Asap menguap dalam paru
Menyambar darah
Mengeraskan sistem otak yang perlahan penyek

Gelas-gelas itu tersusun rapi
Rentetan senjata sedang berdering menyapa
Pagi masih beraroma ganja

Hantaman bayonet semakin terasa di muka
Ratusan manusia berseragam mengantri
Meluapkan kepalan
Lewat moncong tumpul di senjata

Kepalaku pecah
“Bilang pada bapakmu agar menyerah,” teriaknya di telingaku yang hampir putus
Aku tak menyerah
Setidaknya untuk meludah