Solat Ied baru saja dilakukan. Orang-orang yang menghampar di lapangan belum juga pulang. Mereka harus mendengar ceramah dahulu sebelum bermaafan dengan sanak saudara di rumah pun makam.
Dengan kacamata hitam kecoklatan, kopiyah putih dang tongkat –entah untuk apa- di tangan kanan, sang khotib mulai menaiki mimbar. Puji-pujian serta salam terus-menerus dipanjatkan. Mukanya menghadap hadirin yang datang, namun agak tunduk melihat cacatan. Matanya yang terhalang kacamata hitam kecoklatan, jarang menatap jamaah. Keduanya terus fokus pada catatan.
Ia menggambarkan suasana takbir dari malam hingga pagi itu. Dengan sedikit sentuhan sastrawi dan nada suara datar, ia mencoba menunaikan tugasnya pagi itu. Katanya semua hanya fatamorgana, tanpa makna. Banyak sekali kata tanpa makna terucap dari bibirnya.
Pendengar lebih banyak yang membaca korang untuk alas sajadahnya ketimbang menatap wajah khotib yang mululu tunduk menuju catatan. Saya mendengarkan jelas, namun hanya sesekali lewat. Yang saya ingat, kata tanpa makna itu selalu terucap.
Ah, ceramah solat Ied tahun ini memang tanpa makna. Khotib nampaknya tak membuat benang merah dari apa yang disampaikannya. Pujian dan salam yang terlantunkan hanya sebatas bacaan. Catatan yang dilisankan.
Syahdan, pada penghujung ceramah, khotib mengajak hadirin mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Meminta ampun kepada Tuhan. Suaranya disedih-sedihkan. Haru sekali nampaknya beliau. Namun, seorang bapak yang duduk di sebelah saya, hanya mengucap “amin” berulang-ulang di antara jeda kalimat sang khotib. Tak ada sedikit pun rasa haru yang kelihatan. Tanpa makna.
Ah, percobaan ceramah sastrawi pagi itu, saya rasa, gagal. Tak mengikat emosi. Hanya sebatas teks yang dihafal. Tanpa makna.
Dengan kacamata hitam kecoklatan, kopiyah putih dang tongkat –entah untuk apa- di tangan kanan, sang khotib mulai menaiki mimbar. Puji-pujian serta salam terus-menerus dipanjatkan. Mukanya menghadap hadirin yang datang, namun agak tunduk melihat cacatan. Matanya yang terhalang kacamata hitam kecoklatan, jarang menatap jamaah. Keduanya terus fokus pada catatan.
Ia menggambarkan suasana takbir dari malam hingga pagi itu. Dengan sedikit sentuhan sastrawi dan nada suara datar, ia mencoba menunaikan tugasnya pagi itu. Katanya semua hanya fatamorgana, tanpa makna. Banyak sekali kata tanpa makna terucap dari bibirnya.
Pendengar lebih banyak yang membaca korang untuk alas sajadahnya ketimbang menatap wajah khotib yang mululu tunduk menuju catatan. Saya mendengarkan jelas, namun hanya sesekali lewat. Yang saya ingat, kata tanpa makna itu selalu terucap.
Ah, ceramah solat Ied tahun ini memang tanpa makna. Khotib nampaknya tak membuat benang merah dari apa yang disampaikannya. Pujian dan salam yang terlantunkan hanya sebatas bacaan. Catatan yang dilisankan.
Syahdan, pada penghujung ceramah, khotib mengajak hadirin mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Meminta ampun kepada Tuhan. Suaranya disedih-sedihkan. Haru sekali nampaknya beliau. Namun, seorang bapak yang duduk di sebelah saya, hanya mengucap “amin” berulang-ulang di antara jeda kalimat sang khotib. Tak ada sedikit pun rasa haru yang kelihatan. Tanpa makna.
Ah, percobaan ceramah sastrawi pagi itu, saya rasa, gagal. Tak mengikat emosi. Hanya sebatas teks yang dihafal. Tanpa makna.