Senin, 15 Oktober 2012

Robert......


Robert menuangkan kopi hitam legendaris kedalam segelas bening produksi pabrikan tak ternama, membasuhnya dengan air panas yang mendidih dan mengaduknya dengan sendok plastik bekas restoran lokal yang mencoba menghedoniskan diri dengan strategi dagang pecundang. Terciumlah sebuah aroma robusta khas yang melekat di antara kelima panca indra. Murah, sederhana namun memikat selera. Ia menyulutkan sebuah rokok putih khas gurun pasir dengan pematik khas rakyat yang kini menjadi komoditi curian ringan ke bibirnya yang selalu melontarkan sumpah serapah ke setiap orang yang diidolakannya. Dengan santai ia memutar lagu lagu dari mini album Starlit Carousel milik solois berbakat kota pelajar, Frau. Dentingan hangat piano menemani senja yang sepertinya menertawai hidupnya yang berantakan.

Lagu demi lagu terlewati, mulai dari 'Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa', 'Mesin Penenun Hujan', 'Rat and Cat', merasa bosan dengan keteduhan. Ia beranjak dari kursi hangatnya untuk membuat sebuah pelarian dengan jalan yang standar (menurutnya), kembali membuat sebuah “humor lokal” sekedar untuk meriangkan hatinya yang sepi. Cara ini terbukti ampuh untuk meredakan absurd hidupnya. Persetan kata orang tentang menggunjing, menjelek–jelekan atau apalah. Intinya semua itu hanya kiasan

Selesai membuat humor lokal, Robert kemudian beranjak ketempat tidurnya yang sempit dan pendek. Ia mulai membayangkan indahnya bila memiliki apa yang ia inginkan. Namun apa daya, ia adalah seorang pecundang yang selalu kalah. Setiap hari ia hanya bisa menggonggong tanpa berbuat apapun. Hidupnya terkesan menyebalkan dan seperti telah tergambarkan oleh orang lain. Lekaslah ia memejamkan mata seraya berharap ada setitik cahaya untuk masa depannya.

Aku Adalah Aku, Telanjang


"Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.”
-Ahmad Wahib, pemikir dan pembaharu Islam.

Ilustrasi: hidupkatolik.com

Manusia sebagai mestinya dipandang sebagai manusia utuh tanpa pernak-pernik di sekitarnya. Tapi pada kenyataanya, manusia selalu menganggap manusia sebagai bentuk, aliran, dan lainnya, bukan dalam keutuhannya sebagai manusia. Entah apa yang salah. Apakah para pemuka agama? Mungkin.

Sebagai seorang muslim, saya percaya Alquran. Tapi tafsirnya, tunggu dulu. Tafsir itu ada karena adanya kesepakatan para ulama. Alquran diturunkan di Timur Tengah dengan kondisi dan budaya setempat, ketika masuk ke kultur yang berbeda, perlahan tapi pasti itu akan bercampur dengan kultur lokal. Tidak selamanya kebenaran mereka sama dengan kebenaran yang saya yakini. Alquran, seperti juga karya seni, dimana setiap orang berhak menafsirkannya dengan kebenaran masing-masing.

Banyak ambiguitas saat ada seseorang berkata, “percuma muslim, tapi diem ketika agamanya dihina,” ketika ada aliran Islam lain mengungkapkan tafsirnya menurut kebenarannya. Musim mana yang merasa terhina? Bukankah Alquran itu multitafsir? Bukankah setiap orang mempunyai hak untuk memperjuangkan kebenarannya? Masih banyak setumpuk pertanyaan yang tak menemukan jawaban dalam dunia ini.

Persepsi saya untuk saat ini terbentuk dan mengatakan bahwa yang paling benar adalah ajaran yang saya anut saat ini. Itu ego saya, mungkin. Tapi setiap manusia punya ego masing-masing. Saya menganggap mereka benar ketika mereka tidak mengganggu ketenangan –kenyamanan untuk hidup bersosial- saya.

"Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta."
 -Soe Hok Gie, pemikir dan aktivis yang mati muda.

Sebuah Lukisan Kolaborasi: Ketidakjelasan yang Menemukan Maknanya Sendiri


Lukisan ini adalah hasil kolaborasi antara Dini (adiknya Harbiw), Harbiw, dan saya.

Prosesnya, Dini (perempuan yang tengah duduk di kelas satu SMA) semula membuat Kuda, rerumputan, dan sebuah pohon tanpa apel. Warna biru di kaki kuda itu nampaknya adalah sebuah ketidaksengajaan, mungkin Dini menganggapnya kesalahan. Lukisan itu pun tak Ia selesaikan.

Namun kemudian Harbiw  menemukan lukisan yang tak selesai itu di sebuah gudang. Ia lantas semena-mena menambahkannya, menafsirkannya -- kalau tidak boleh dibilang menghancurkannya. Saya pun ikutan.

Dalam penyelesaiannya, kami sepakat untuk bebas. Harbiw (21) membentuk Pohon yang berbuah seperti Apel, dan suatu objek di depan Kuda, yang awalnya seperti matahari. Saya (20) menghancurkan objek itu, menyamarkannya, dan menambahkan warna-warna di sekitarnya.

Saat menyelesaikan itu, saya dan Harbiw sepakat bahwa lukisan ini seperti hidup: ada yang nampak jelas, namun sesungguhnya samar-samar, tidak jelas. Dan ketidaksengajaan yang dialami Dini adalah kenyataan yang tak perlu dirapihkan, atau diakal-akali yang malah akan serupa ilusi.

Dari situ, saya memberi judul "YA!" untuk lukisan itu. Tapi Harbiw yang saat itu tiba-tiba galau, memberi judul lukisan itu dengan "Makan Tuh Tai!".