Semilir angin berhembus
Menebarkan aroma khas
Yang selalu aku sukai dari dulu
Selasa, 17 September 2013
SUATU HARI NANTI KAU AKAN TURUN KE BUMI
Foto dicuri dari Jimijiz.
“Kami percaya,
suatu hari nanti kau akan turun ke bumi.” Kalimat itu terdengar terus berulang dari
ruang anak kelas lima SD. Mereka tak sedang diajari hal-hal aneh oleh Pak Guru,
layaknya siswa Helton dibina menjadi pembangkang oleh Robin Williams dalam film
Dead Poets Society.
Di ruangan itu
tak ada Pak Guru. Meja dan bangku masih tersusun rapih. Namun tak ada satu pun
anak yang menggunakannya. Dua puluh delapan anak itu lebih memilih duduk
melingkar di depan papan tulis. Mereka duduk rapat. Matanya terpejam dan
tangannya saling genggam. Tak ada sedikit pun canda.
Dalam suasana
yang sunyi, mulut mereka tak henti-hentinya mengucap kalimat tadi. “Kami
percaya, suatu hari nanti kau akan turun ke bumi.”
Saya teringat
dengan orang-orang yang bertasbih di mesjid. Karena begitu serius dan fokus,
orang-orang itu sampai tak sadar badannya bergoyang sendiri. Rasanya begitu
magis. Begitu gaib. Seolah-olah ada dunia yang menyelimuti dunia nyata, tanpa
terlihat.
Mungkin apa yang
dilakukan oleh anak-anak itu bukan yang pertama kali. Mungkin selalu mereka
lakukan setiap kali tak ada Guru. Entah apa yang mereka rasakan lewat bertasbih
semacam itu.
Kalimat tersebut
masih tak putus mereka ucapkan. Kali ini lebih keras. Juga lebih cepat. Lambat
laun seorang dari mereka ada yang berdiri. Tubuhnya gemetar seperti kejang. Matanya
tertutup. Ia berjalan menuju pintu kelas, tapi kemudian balik lagi. Ia mengitari
deretan bangku dan meja kosong.
Tak beberapa
lama, seorang lainnya ikut berdiri. Kemudian seorang lagi. Lalu seorang lagi. Terus
begitu sampai dua puluh delapan anak itu semuanya berdiri.
Terus diucapkannya
kalimat itu. Kini keadaan semakin rumit ketika gerakan mereka saling tak
beraturan.
Saya, yang
melihat kejadian itu dari kejauhan, tiba-tiba melihat wujud mereka berpendar. Rasanya
seperti di batas antara nyata dan mimpi. Lalu saya tak percaya, saya melihat
seseorang menjelma Yesus di sana. Ada juga yang berubah Power Rangers. Ada yang
berubah Doraemon. Ada yang terlihat Socrates, Kurt Cobain, Marlyn Manson,
bahkan Soekarno. Yang paling membuat saya tercengang adalah sosok ular berkaki
empat, seperti cerita dalam Al-Kitab.
Dan panas siang
itu secara cepat menjadi dingin. Hitam menjadi putih. Tinggi menjadi pendek. Dan
semua hal berubah menjadi yang bukan dirinya. Tetapi mereka masih belum juga
berhenti bertasbih, “kami percaya, suatu hari nanti kau akan turun ke bumi.”
Sebuah Mixtape Kecil untuk Mendengarkan Radiohead
Sambil menenggak minuman sehat, terdengar sayup-sayup lirik
berbunyi, “Climbing up the walls.” Ya, itu adalah lagunya Radiohead! “Radiohead is too mainstream,” begitulah
Taufiq Rahman menulis dalam esainya. Tapi peduli setan, liriknya enak sambil
menemani meminum intisari susu sebagai pelengkap lima sempurna sehabis makan. Bahkan
kaki saya ikut bergoyang tak henti-hentinya, seperti saat di dalam kelas
menanti jam pulang.
Saya sedang tidak berusaha menafsirkan lirik lagu tersebut. Saya
hanya menuliskan apa yang saya ingin tuliskan. Baiklah, mari kita awali dengan ‘Menari’
bersama Tigapagi, sebelum membahas tentang lirik yang sayup-sayup terdengar
tadi. ‘Menari’, dengan suara senar gitar yang bersahut-sahutan, begitu mudah
untuk membawa saya ikut bernyanyi, sampai saya lupa kalau kematian sedang
menghampiri. Tigapagi kabarnya sedang merilis album perdananya. Semoga saya bisa
mendapatkannya –entah dengan apa caranya.
Jadi saya akan ceritakan awalnya saya mendengarkan lirik yang membuat kaki saya bergoyang tadi. Sore itu saya baru bangun saat azan magrib berkumandang, langsung disuruh mandi dan solat oleh ibu saya, dan tahu-tahu ada pertandingan timnas Indosesia U-19 melawan timnas Thailand U-19. Ah membosankan, namun akhirnya pertandingan itu dimenangkan oleh timnas Indonesia dengan skor 3-1, dan rasa bosan berubah menjadi kesenangan. Yah, sebagai orang Indonesia, senang saat timnas menang adalah bawaan dari perasaan yang tak bisa dijelaskan. Yang penting saya senang, pun awalnya adalah bosan.
Karena timnas Indonesia menang, maka saya memutuskan untuk
makan nasi dengan lauk yang tak sampai empat sehat. Tapi tak apalah, yang
penting hidup ini berkah. Dalam ‘Doa’ tertuliskan lirik yang sederhana namun
penuh kejujuran. Tentang pujian, nasihat dan pengharapan dari orang-orang yang
hatinya pernah mati. Lirik yang merupakan ajakan untuk bersyukur dalam
kehidupan yang sebentar ini. Badan sehat/
Jiwa sehat/ Hanya itu yang kami mau// Hidup berkah/ penuh gairah/ Mudah-mudahan
Alloh setuju//
‘Doa’ adalah lagu dari akhir keemasan Iwan Fals sebelum akhirnya menjadi bintang kopi.
Setelah senang, makan dan bersyukur, saya mencari sebatang
dua batang rokok ke luar. Di luar, sep[erti biasa, akamsi (anak kampung sini,
termasuk saya) selalu berkumpul selepas Isya, dan terjadilah obrolan tentang
kendaraan, masa depan dan khayalan-khayalan, layaknya dalam ruangan kelas satu
sekolah dasar. Langsung saya setel lagu Takkan Melupakanmu' milik Naif, yang dicover oleh band asal Malaysia, Couple, untuk mengalihkan perhatian dari obrolan yang tak akan jelas ujung
persoalannya.
Merasa bosan berada di warung, saya memutuskan untuk pulang.
Niatnya untuk membaca metode-metode teater a la Stanislavski, tapi kaki saya
beranjak ke depan komputer. Duduk diam memandang layar monitor, membuka folder
film Holly Motors, tapi hasrat saya sedang tak ingin menonton film. Yasudahlah,
membuka Microsoft Word, Winamp dan saya menyalakan ‘Climbing Up the Walls’
Radiohead.
Langganan:
Postingan (Atom)