Kamis, 10 Oktober 2013

Haiku

Olrait. Hari ini gue mau cerita soal Haiku.



Makhluk apa itu Haiku? Biasanya kalo bukan pujangga (ceileh) jarang ada yang ngerti apa itu Haiku.

Sebotol Bunga di Makam Wulan

Ilustrasi oleh Ade Pasker

Aku memutuskan untuk berkunjung ke kampung halaman, tepatnya di desa Asih, perbatasan antara tengah dan selatan pulau ini. Sudah lama aku tak pulang. Ternyata, sudah banyak perubahan di sekitarnya. Jalanan sudah beraspal, rumah sudah memakai bata, dan pasar menjadi tempat pemuda berwisata. Namun ada satu yang masih tersisa, orang-orang yang tersenyum setiap berpapasan, pun nanti di belakang entah bersikap apa.

Itu adalah kampung halamanku. Betapapun rasa tak ingin tinggal di tempat semacam itu, namun aku tetap akan gerendengan jika ada yang menghinanya.

Ketika baru tiba ke rumah Bapak, aku diceritakan macam-macam tentang kehidupan di sini. Adikku tak mau kalah, langsung menyambar menceritakkan seputaran gosip desa, tentang alam yang menolak cinta. Ah, terpaksa aku mendengarnya.
***

Baru setahun yang lalu Wulan tiada. Entah pergi atau kembali, yang jelas Wulan sudah tak lagi di Bumi. Saprol, kekasihnya yang paling setia dan paling dicintainya, belum bisa melupakan ketiadaan Wulan dalam hidupnya. Ia menjadi murung, seperti kebanyakan orang yang ditinggal mati permaisuri. Memang suatu hal yang biasa.

Sewaktu hidup, Wulan adalah seorang kembang desa anak pengusaha. Setiap lewat, mata para lelaki selalu menatap padanya. Aromanya wangi. Kumbang pun tak sanggup untuk menghindarinya. Tak jarang ia bergonta-ganti pujaan hati. Dari tua sampai muda, pernah ia cicipi. Tapi, tak pernah sekalipun ia menjual diri pada lelaki, sekalipun dibayar sengan cinta. Pendiriannya yang kuat, terlihat dari mata bulatnya yang dipayungi bulu mata lentik. Sungguh menawan untuk dilihat.

Entah apa yang membuat Wulan menjatuhkan pilihan yang pasti kepada Saprol. Padahal, Saprol hanyalah seorang pemuda biasa. Tampan tidak, kaya pun tidak. Banyak pemuda yang lebih kaya dan tampan di desanya. Seorang Saprol jelas tak ada apa-apanya. Namun Wulan tetap mencintainya.

Pemuda yang lain jelas merasa risih melihat Wulan sangat dekat dengan Saprol. Tak jarang, Saprol dianggap menggunakan pelet untuk menarik perhatian Wulan. Hasut-menghasut memang sudah jadi kebiasan warga desa, namun tak ada yang pernah berani menyerang di muka. Hasutan hanya lewat belakang. Diam-diam.

Wulan tahu, banyak orang yag tak suka hubungannya dengan Saprol, bahkan keluarganya pun melarang. Tapi ia tak peduli. Namanya cinta, tak ada yang bisa merubah. Wulan tetap dekat dengan Saprol. Tak diam-diam seperti hasutan, mereka selalu bergandengan di setiap kesempatan. Mesra.

Namun seperti warga desa, alam pun seakan tak pernah merestui hubungan mereka. Enam bulan mereka bersama, dalam bisik-bisik warga yang tak ada hentinya, perlahan-lahan fisik Wulan semakin menua. Wajah cantiknya menjadi keriput. Aromanya tak lagi mengundang kumbang yang mulai bosan. Aneh. Yang tersisa hanya mata yang bulat dan lentik bulunya, yang masih memegang pendiriannya.

Saprol yang biasa tak mengerti apa-apa. Ia hanya mengerti bagaimana cara mencintai. Ia tetap mendampingi Wulan di rumahnya, di hadapan orang tua yang dulu merendahkannya. Saprol tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak punya ilmu medis yang dapat menyembuhkan luka. Yang dimilikinnya hanya cinta dan doa.

Tiba sampai malam yang pengap, Wulan meminta Saprol untuk melepaskannya. Saprol tak bergeming. Ia tetap berusaha dengan keahliannya, cinta dan doa. Hingga napas yang berat memisahkan Wulan dengan tubuhnya. Saprol menangis, namun tak keluar air mata.

Dalam prosesi pemakaman yang dhadiahi hujan lebat, jenazah Wulan menyatu dengan tanah, yang katanya adalah hakikat dari manusia. Saprol terdiam melihat kekasihnya diuruk tanah. Tak ada yang bisa dilakukannya, selain memberi cinta dan doa.

Sampai hari ini, setelah setahun kematian Wulan, Saprol tetap menjaga cinta dan doanya.
***

Aku bosan mendengar cerita adikku, yang umurnya belum genap seperlima abad. Paling-paling banyak bumbu yang bertabur untuk membuat ceritanya semakin ngawur. Aku putuskan untuk keliling desa, mencari udara.

Jauh dekat sungai yang mengalir, aku melihat seorang pria, berpenampilan serba biasa, sedang menaburkan sebotol air dan bunga di makam yang terawat indah. Aku melihat cinta dan doa dalam kesendiriannya. Namun, pria itu tetap saja terlihat biasa.