Sebagian dari kita pasti pernah dibuat takut, cemas, dan
was-was oleh bahasa. Maksud saya, tidak mengertinya kita dengan kata, istilah,
atau bahasa tertentu membuat diri kita terkesan bodoh dan terbelakang, sehingga
kita mengizinkan diri untuk tunduk. Misalnya, jika anda pergi ke dokter karena
perut anda sakit, dokter akan menyebutnya dengan istilah medis yang rumit dan sama
sekali tidak anda mengerti. Anda dibuat terlena oleh istilah yang ia gunakan. Dengan
begitu, anda lalu menyerahkan kuasa tubuh anda padanya. Ketidakmengertian
membuat anda merasa pantas kehilangan kuasa atas tubuh anda sendiri. Padahal,
istilah dokter yang rumit sebenarnya dapat anda sebut sebagai “mules”.
Nah belum lama ini, saya melihat permasalahan serupa di
kampus. Ada poster milik sebuah organisasi yang bermaksud untuk mengajak
mahasiswa agar masuk ke organisasi tersebut. Poster-poster itu banyak mengutip
tokoh-tokoh dunia – sebagai cara pencitraan – salah satunya adalah Adolf Hitler.
Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Yang menarik perhatian saya adalah dua
poster lain yang mereka buat sendiri, kurang lebih berbunyi: “DICARI MAHASISWA
INTELEKTUAL UNTUK BERGABUNG BERSAMA KAMI” dan “ANDA MERASA PINTAR
BERDIALEKTIKA? GABUNGLAH BERSAMA KAMI.”
Ada dua kata kunci dalam dua poster itu: intelektual dan
dialektika. Tapi, apakah artinya intelektual? Apakah artinya dialektika? Mengapa
organisasi tersebut menggunakan dua kata itu?
Kata “intelektual” dan “dialektika” sebenarnya digunakan
cenderung untuk fungsi pencitraan. Bagi mahasiswa yang tak mengerti, penggunaan
kata tersebut akan membuatnya terlena dan menarik perhatiannya, justru karena
ia tak mengerti artinya. Hirarki semu pengetahuan pun terbentuk. Kedua kata itu
akan menciptakan kesadaran di dalam dirinya bahwa ia bodoh. Ketika ia menganggap
dirinya bodoh, ia lantas akan bergabung dengan organisasi tersebut (organisasi
yang terkesan pintar). Tetapi bagi mahasiswa yang mengerti (mungkin bisa saya
sebut sebagai mahasiswa intelek itu sendiri), tentu tidak akan terlena begitu
saja dengan poster yang sekadar menjual kata-kata sulit.
Saya tak mengerti, apakah semua ini ada hubungannya dengan
Vicky Prasetyo atau tidak. Atau barangkali, semua ini ada hubungannya dengan
Indonesian Lawyers Club dan sidang-sidang banal DPR yang kerap menampilkan debat-debat
fiksi, yang menggunakan kata-kata rumit untuk membuat kenyataan menjadi
seolah-olah rumit dan tak dapat kita mengerti, sehingga kita tak pantas
berbicara.