Dua tahun yang lalu, saya pergi
kesebuah toko musik independent dibilangan Jakarta Selatan. Bisa dikatakan saya
sering berkunjung kemari sekedar membeli rilisan fisik, t-shirt dan berbagai pernak-pernik lain dari berbagai musisi independen.
Saat saya sedang memilih milih CD di rak yang tersusun rapih, seorang penjaga
kasir kemudian menghampiri, ”Coba deh lu beli ini (Album C’mon Lennon, Ketika Lalala) keren nih, lu pasti bakal
suka”, cerocosnya. Waktu itu saya sekedar tahu C’mon Lennon melalui lagu ‘Aku Cinta
J.A.K.A.R.T.A’, sebuah lagu yang memceritakan kecintaan C’mon Lennon akan
kesebelasan sepak bola, Persija Jakarta. Timbulnya rasa penasaran dan keingintahuan
yang besar, saya kemudian membeli album tersebut dan membayar di kasir. Lima
puluh ribu adalah harga yang saya bayar untuk album itu. Sebuah harga yang
fantastis untuk ukuran rilisan album musisi independent tanpa ada embel-embel
keemasan eksklusif, dan tentunya harga yang mahal untuk ukuran kantong pelajar
seperti saya, sudahlah lupakan.
Kemudian saya keluar toko dan
duduk sambil menghisap sebatang rokok, sambil menghisap rokok tersebut, saya
membuka keemasan CD tersebut. Terlihat cover
yang menggambarkan sebuah kepolosan disana. Bagian lirik lagu dituliskan
layaknya tulisan anak anak disertai berbagai gambar-gambar mini dan foto para
personil semasa kecil. Saya membaca bait demi bait lirik yang ada. Kesan
pertama yang muncul adalah bagaimana notasi musiknya dibuat? Mengingat liriknya
terkesan tidak biasa. Penjaga kasir tadi keluar dan menyulutkan sebatang rokok
ke mulutnya dan berbicara kepada saya, “ga
bakal nyesel lu beli ni album,
soalnya bandnya udah bubar. Ini juga
barangnya tinggal dikit disini.
Ditempat laen udah kaga ada” sebuah
omongan yang tak bisa di amini sepenuhnya. Mengingat toko ini milik beberapa
personil band independent ibukota, Ballads Of The Cliché, dan biasa mengadakan
pertunjukan music musisi independent dan tentunya mereka memiliki kedekatan
historis dengan para personil C’mon Lennon. Bisa saja ini adalah trik dagang
mereka agar sesegera mungkin menghabiskan katalog-katalog rilisan yang sudah
lama. Dan kamipun berbincang-bincang mengenai musik dan sepakbola.
Sesampainya dirumah, saya langsung memutar CD
tersebut di CD player saya. Track pertama ‘Sudahkah kau minum obat’ mengalun
dengan sedang. Lagu ini menceritakan tentang seseorang yang sakit dan kawannya
menanyakan apakah obatnya sudah di minum. Sebuah tema yang cukup langka untuk
diangkat menjadi sebuah lagu. Notasi yang cukup bisa dinikmati sekali dengar. ‘Kelinci
Jantan’ adalah sebuah analogi untuk para Playboy
sebagai sosok kelinci dan wortel sebagai sosok perempuan. Mereka mencoba
menghaluskan perbendaharaan kata untuk menghaluskan makna yang terkandung. Atau
bisa juga untuk membuat tema yang benar-benar polos. ‘Deketektif flamboyan’
tema yang cukup jarang pula untuk dituliskan. Dektektif. Bassline yang cukup unik dan menawan serta ketukan drum yang liar
tersaja di track ini.’Kikuk’ lebih bercerita tentang kehidupan masyarakat kelas
menengah yang berkunjung ke rumah kawan, melewati hamparan tanah lapang dan
sekumpulan anak-anak yang bermain layangan di sore hari. ‘Ambulan’ yang di
daulat sebagai lagu penutup mengalun absurd, gelap dan suram. Di balik semua
keaneka ragaman warna yang di tawarkan C’mon Lennon. Sampai hari inipun,
beberapa lagu mereka masih terselip di MP3 saya. Sebuah pilihan yang tepat
untuk para penikmat musik