DALAM
sepekan terakhir, informasi yang masuk ke mata saya begitu rusuh, kalau tak mau
dibilang kisruh. Saya kehilangan kacamata kuda yang dulu pernah diberikan oleh
seorang aktor yang turun dari singgasana hepatitis a.
Pertama,
adalah kekalahan Brasil di Piala Dunia yang menjadi awal rentetan dramatisasi
informasi. Brasil kalan, perempuan-perempuan di tribun stadion meluluhlantakan
air matanya dan membuat semua orang terharu. Belasungkawa.
Dan
di pagi hari, bangsa ini sedang mengalamai proses demokrasi yang begitu ramai. Pemilihan
umum. Konon, Indonesia adalah bangsa yang sedang diamati oleh penduduk dunia
mengenai proses demokrasinya. Bangaimana tidak, dengan rakyat terbesar ke tiga
di dunia, negara yang belum genap satu abad ini sudah berani menjalani proses
pemilihan presiden langsung dari rakyat.
Mungkin
Amerika dan India juga melakukannya. Namun India terdiri dari satu pulau yang
besar, pun Amerika dalah negara adikuasa yang jauh lebih dulu modern dibanding
negara ini. Jelas mereka bukan perbandingan. Lebih-lebih, hasih quick count
dapat diketahui hanya beberapa jam setelah pemilihan usai, padahal di India
hasih quick count baru diketahui paling cepat tiga minggu setelah pemilihan. Sungguh
maju teknologi hitung cepatnegara ini.
Dus,
belum selesai masalah hitung cepat yang memiliki beragam versi, tiba-tiba Gaza
dibombardir oleh militer Israel. Tanpa tedeng aling-aling, Yahudi menjadi
kambing hitam. Simbol Nazi yang sepekan lalu menjadi perbincangan dunia lewat
ketololan seorang musisi, tenggalam. Lalu kini muncul lagi dengan wajah Hitler
lewat kutipannya, “Saya bisa memusnakan semua orang Yahudi di dunia ini, tapi
saya meninggalkan beberapa dari mereka hidup sehingga anda tahu mengapa saya
membunuh mereka...”
Dan
kita mengamini. Seakan segala dosa fasisme hilang sekejap karena membantai jutaan
umat Yahudi.
Wahai
aktor yang dahulu memberi saya kacamata kuda, mata saya saat ini sudah tak
terjaga. Menerawang segala kejadian. Tak bisa fokus. Tak bisa tak lupa.