Kamis, 03 Oktober 2013

Tapak Kaki Titisan Dewa

Ilustrasinya minjem (lagi) dari Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit

Dalam rumah itu, aku tinggal sendiri. Dinding retak, atap terterbus cahaya kecil dan lantai yang berdebu menjadi pemandangan biasa, mengisi hariku dengan biasa pula. Jarang sekali aku membersihkan rumah warisan dari Emak Bapakku. Dulu tentu berbeda, Emak selalu membersihkan rumah selagi libur.

“Biarkan sajalah. Lagi pula jarang ada tamu yang datang,” pikirku sepele.

Dulu waktu aku masih setinggi pohon singkong depan rumah, Emak selalu bercerita tentang Dewa-dewa yang pernah turun ke Bumi. Konon, dahulu ada Dewa yang dipanggil oleh seorang wanita untuk memberikannya anak. Anaknya adalah orang-orang yang suci, namun tak luput dari dosa. Tentang perjalanan anak titisan Dewa tersebut mencari takdirnya, sampai akhirnya ia moksa. Cerita itu sangat melekat di kepalaku.

“Kalau Dewa punya anak, mungkin aku adalah titisan Dewa juga,” bayangku polos.

Aku rindu Emak, rindu ceritanya, rindu auranya, rindu sikap bersihnya.

Emak sudah lama tak menjengukku ke kota. Terakhir, tiga tahun lalu saat Bapak meninggal, Emak ikut ke kota bersamaku untuk menghabiskan air mata. Di kota, Emak merasa asing. Ia tak lagi sering membersihkan rumah. Mungkin aku dipikir sudah mempunyai calon yang membersihkan hidupku. Emak tak banyak bicara denganku. Lebih sering merenung, sembahyang dan ngaji. Emak hanya sebulan tinggal di kota, setelah itu kembali ke kampung untuk menghabiskan sisa harinya dengan sebuah harapan yang masih tersimpan.

Harapan Emak sederhana adanya. Lima tahun lalu, setahun setelah Bapak pensiun dari kantor lurah, Bapakku memutuskan untuk pindah ke kampung halaman atas ajakan Emak. Emak mau menghabiskan harinya untuk menikmati hidup di masa senja dengan menikmati hamparan tanaman padi yang hijau dan perlahan menguning saat panen tiba. Namun harapan itu tak semuanya terwujud. Ladang yang diharapkan bisa mengusir kejenuhan setelah puluhan tahun tinggal di kota setiap tahunnya selalu kekeringan. Setiap mata pasti tak tahan melihat pemandangan yang kering.

Sebelum meninggal, Bapak sempat membeli beberapa petak lahan untuk ikut-ikutan menanam padi. Bapak mengisi harinya dengan pergi ke sawah, minum kopi menunggu azan Zuhur dan pulang saat senja sudah habis daya pikatnya. Setiap hari seperti itu. Emak pun selalu menyusul ke sawah kalau masakannya sudah selesai. Sambil menenteng rantang dan membawa minuman untuk mereka berdua makan siang.

Dua tahun memang waktu yang singkat. Apalagi kalau setiap hari dilewatinya dengan cinta yang mulai bersemi kembali di masa tua. Aku sempat sekali ke kampung sebelum Bapak meninggal. Rasanya seperti sedang mengganggu muda mudi yang lagi dimabuk asmara. Selalu, setelah perutku lapar sehabis menanam benih, Emak datang bawa rantang. Lantas kita makan siang di tengah sawah, di bawah pohon kelapa yang berjejer, sambil bercerita tentang apa saja kegiatanku di kota.

Saat itu aku hanya seminggu di kampung. Profesiku sebagai pegawai tak mau bertoleransi untuk hal-hal yang melankolis. Serahi tak masuk kantor, sampai tiga kali tanpa kabar, bisa hilang penghasilan. Aku memutuskan untuk ke kota dengan hati yang lepas, melihat Emak dan Bapak berbahagia di kampung halaman.

Namun sekarang, Emak lebih sering diam. Ia jarang menelponku seperti sebelum Bapak meninggal. Dulu hampir setiap minggu Emak menelpon, hanya untuk sekedar menanyakan kabar dan tantang seorang calon. Aku terkadang sampai bosan karena tak ada bahasan lain yang dibicarakan. “Dasar orang tua,” pikirku saat jengkel. Sekarang, kalau bukan aku yang menelpon, Emak mungkin dua bulan sekali baru menelpon. Sekarang, aku yang dibuatnya khawatir. Memang dunia selalu berputar. Mungkin di sana ia punya kegiatan baru yang bisa mengalihkan kesendiriannya.

Saat kutelepon, Emak selalu cerita tentang harinya di kampung yang mulai menjengkelkan, entah apa masalahnya, namun selalu ada yang membuatnya jengkel. Mungkin ia merasa sepi lagi. Namu ketika bercarita tentang senja, aku selalu antusias dibuat mendengar olehnya.  Aku sudah sering mengajaknya tinggal di kota lagi, berdua bersamaku. Tapi ia tetap kukuh ingin melanjutkan harapannya, melihat senja dan menghabiskan hari dalam ketenangannya.

Sawah yang dulu sempat dibeli, sekarang tak ada yang mengurusi. Emak terpaksa menyewakannya ke tetangganya karena ia tak bisa mengolah sawahnya sendirian. Saudara-saudara yang lain pun tak bisa banyak membentu mengolah sawah. Semua sudah punya kegiatan masing-masing dalam mencari penghasilan. Emak tak sudi memaksa.

Senja yang tiga tahun lalu dinikmati bersama Bapak, kini Emak hanya sendiri. Di tengah sawah yang sepi, Emak menyendiri menanti pulang. Aku tak bisa berbuat apapun. Profesi selalu menuntuk prestasi, dan prestasi adalah hal yang menguras energi. Jangankan untuk menemui, menelpon Emak pun hanya kulakukan saat akhir pekan.

Terakhir, aku mendapat kabar kalau Emak sering pergi ke ujung ladang, tempat di mana pohon masih tumbuh lebat, saat senja ingin pulang. Aku ingat cerita Emak dulu, tentang manusia keturunan Dewa yang moksa dan diangkat ke Sorga. Manusia itu terus berjalan hingga tempat yang sunyi, jauh dari hingar bingar kegaduhan duniawi, untuk Manunggaling Kawula Gusti. Pikiranku mulai meracau.

Telepon genggamku bergetar, menyadarkanku dari lamunan tentang Emak.

“Gus, cepet pulang! Emakmu meninggal. Jenazahnya ketemu di hutan, di samping batu yang ada jejak telapak kaki.” singkat pesan dari Wak-ku membuatku haru.