Minggu, 27 Juli 2014

Takbir yang banal


Suasana Takbiran



Sore itu Adzan Magrib telah berkumandang, umat muslim di seputaran kota mulai melepaskan dahaga, lapar dan nafsu yang tertunda saat berpuasa. Kebetulan, ini adalah hari terakhir berpuasa. Kurang lebih 30 hari seluruh umat muslim menunaikan ibadah tahunan ini. Kemenangan sudah tiba. Ramadhan pun pergi dengan anggunnya seiring penetapan lebaran esok hari oleh menteri Agama dan koleganya beberapa menit yang lalu.

Lengkingan takbir mulai berkumandang di setiap sudut jalan. Panggung-panggung telah berdiri tegak di sisi jalan. Suara bedug saling bersahutan dengan lafaz tuhan yang diperdendangkan dengan gembira. Kembang api mulai ditembakan ke udara. Merah, kuning, hijautbiru dan magenta menjadi satu kesatuan utuh untuk mewarnai langit malam itu. Sungguh pemandangan yang banal.

Namun, semua yang bergembira di sudut jalan adalah gambaran betapa mubazirnya malam takbir. Mereka terus mengulang kebiasaan para leluhurnya yang aneh. Membuang tenaga dan uang demi malam takbir adalah perbuatan mubazir, dan perbuatan mubazir sesungguhnya sangat dekat dengan kesengsaraan. 

Apakah mereka sadar bahwa kemenangan yang mereka rayakan adalah semu? Bukankah kita tak pernah tahu berapa jumlah puasa yang diterima tuhan selama kita menjalankannya? Introspeksi adalah jalan terbaik demi menenungi setiap langkah dan perbuatan yang kita lalui selama kurang lebih sebulan ini.

Bukankah lebih baik kita mengumandangkan ayat-ayat kitab suci dalam kamar demi mengisi kemenangan ini? bukankah kita seharusnya lebih banyak memohon ampunan kepada tuhan? Bukankah ramadhan adalah waktu yang baik untuk mengisi itu semua? 

Ah sesungguhnya esok hari kita semua akan terlihat baru. Dengan pakaian yang sudah kita beli jauh-jauh hari demi menyambut lebaran. Bukankah seharusnya jiwa kita yang menjadi baru? Entahlah. Yang jelas, rendang dan ketupat buatan ibu sudah siap untuk santapan esok pagi setelah solat Ied.

Ah betapa sok tahunya saya, maafkanlah. Sesunggguhnya manusia tempatnya salah dan lupa.

Komedi

Malam.
Panggung gelap. Lampu sorot menyala..
Di tengah ada kursi kosong,
hadirin tertawa.

Aktor pertama masuk dengan jubah kebesaran.
Hadirin kembali tertawa..
Si aktor lupa naskah.
Hadirin tertawa lebih keras..

Si aktor kebingungan di atas panggung.
Lampu sorot masih menyorot.
Pelunya keluar, kecil-kecil seperti biji jagung,
hadirin tertawa bahak

“Lucu sekali pertunjukan ini,” kata perempuan
di bangku tengah penonton.

Dari dalam paraskene, tendengar ledakan..
Para penonton masih berguling-gulingan
di atas bangku yang disediakan.

Panggung terbakar. Tirai tertutup.
Di depan, para penonton melihat
pada poster pertunjukan;
Drama Kolosal.

Pagi.
Surat kabar minggu selalu dinanti.
Tak ada ulasan pertunjukan pada rubrik kehidupan.
Di halaman depan; Gedung Kesenian Terbesar Habis Dimakan Api
Ratusan pekerja seni mati dalam pertunjukan komedi.

Sehari sebelum lebaran.