Suasana Takbiran |
Sore itu Adzan Magrib telah berkumandang, umat muslim
di seputaran kota mulai melepaskan dahaga, lapar dan nafsu yang tertunda saat
berpuasa. Kebetulan, ini adalah hari terakhir berpuasa. Kurang lebih 30 hari
seluruh umat muslim menunaikan ibadah tahunan ini. Kemenangan sudah tiba.
Ramadhan pun pergi dengan anggunnya seiring penetapan lebaran esok hari oleh menteri
Agama dan koleganya beberapa menit yang lalu.
Lengkingan takbir mulai berkumandang di setiap sudut jalan. Panggung-panggung
telah berdiri tegak di sisi jalan. Suara bedug saling bersahutan dengan lafaz
tuhan yang diperdendangkan dengan gembira. Kembang api mulai ditembakan ke
udara. Merah, kuning, hijautbiru dan magenta menjadi satu kesatuan utuh untuk
mewarnai langit malam itu. Sungguh pemandangan yang banal.
Namun, semua yang bergembira di sudut jalan adalah gambaran
betapa mubazirnya malam takbir. Mereka terus mengulang kebiasaan para
leluhurnya yang aneh. Membuang tenaga dan uang demi malam takbir adalah
perbuatan mubazir, dan perbuatan mubazir sesungguhnya sangat dekat dengan
kesengsaraan.
Apakah mereka sadar bahwa kemenangan yang mereka rayakan
adalah semu? Bukankah kita tak pernah tahu berapa jumlah puasa yang diterima
tuhan selama kita menjalankannya? Introspeksi adalah jalan terbaik demi
menenungi setiap langkah dan perbuatan yang kita lalui selama kurang lebih
sebulan ini.
Bukankah lebih baik kita mengumandangkan ayat-ayat kitab
suci dalam kamar demi mengisi kemenangan ini? bukankah kita seharusnya lebih
banyak memohon ampunan kepada tuhan? Bukankah ramadhan adalah waktu yang baik
untuk mengisi itu semua?
Ah sesungguhnya esok hari kita semua akan terlihat baru. Dengan
pakaian yang sudah kita beli jauh-jauh hari demi menyambut lebaran. Bukankah seharusnya jiwa kita yang menjadi baru? Entahlah. Yang jelas, rendang dan ketupat buatan
ibu sudah siap untuk santapan esok pagi setelah solat Ied.
Ah betapa sok tahunya saya, maafkanlah. Sesunggguhnya manusia
tempatnya salah dan lupa.