Jumat, 11 Oktober 2013

Polisi Mengingatkan Saya dengan Babi

Tadi siang polisi menilang di rel kereta tempat di depan kampus saya. Saat itu saya hendak membeli bubur di seberang kampus saya.

Saya dan anda tentu saja tak punya kepentingan apa-apa dengan polisi. Maka slogannya yang melindungi dan mengayomi masyarakat hanyalah omong kosong belaka. Polisi hanya melindungi negara. Mereka hanya mengayomi para pemilik modal. Keberadaannya tak akan pernah berpihak pada masyarakat.

Di tengah penilangan itu, saya sempat berdebat alot. Polisi memang selalu menjengkelkan. Tai kucing lah liputan di media massa mengenai polisi-polisi cantik atau pun yang baik hati.

Perdebatan itu mengingatkan saya dengan Babi. Babi yang saya maksud adalah sebuah cerpen dari Romi Zarman di Koran Tempo 17 Oktober tiga tahun lalu.

Agar jelas mengapa pengalaman saya dengan polisi itu bisa terhubunga dengan ingatan saya mengenai Babi, maka simaklah sendiri cerpen ini: klik.

Aku Ya Aku


Aku lelah
Akan semua kepalsuan
Dan kepura-puraan
Yang harus selalu kuhadapi setiap hari

Haruskah aku juga berpura-pura?
Seperti yang mereka lakukan
Agar mereka mau menerima aku?

Tapi
Siapa mereka?
Membuat aku harus meninggalkan
Jati diriku yang sebenarnya

Aku tidak butuh mereka
Aku ya aku
Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri
Seutuhnya

Kami Menonton Bola Bersama


Malam itu, orang-orang sedang menonton pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Filipina. Sorak-sorak geregetan terdengar saat ada peluang yang gagal menghasilkan. Suasana meriah di setiap rumah. Jalan raya yang biasa membuat kita tolol, mendadak sepi. Para pengendara edan sedang menikmati imajinasi dalam layar 21 inci.

Saya nonton di rumah teman saya, Kribo, sepulang kondangan dalam sebuah pernikahan yang jauh melewati batas timur Jakarta. Baru sampai, saya langsung dibelikan pangsit oleh ibu teman saya ini. Ibunya memang baik. Bapaknya juga, suka berbicara tentang apa saja. Oh indahnya, menikmati babak pertama dengan pangsit yang datang secara tiba-tiba.

Kebetulan motor saya terlalu jauh dari radar kekuasaan rumahnya. Sedang asyik makan, mau tak mau saya memindahkan motor saya. “Pindahin dulu motornya, nanti ilang kalo ditaro di sana,” perintah bapaknya Kribo.

Saat itulah, saya melihat pedagang pangsit yang sedang menunggu mangkoknya pulang, mengisi waktunya dengan memonton bola dalam layar telepon genggamnya, sendirian. “Sadis,” pikir saya sambil merasa iba.

Saya ceritakan kejadian itu kepada Kribo yang sedang serius menonton bola, makan, dan sesekali melirik laptop saya yang sedang dibereskan. Tak lama berselang, penjual pangsit itu menanyakan mangkuknya yang tak kunjung pulang.

“Wah belom selesai makannya, bang. Udeh lu sini aja dulu, nonton bola bareng-bareng. Gue tau lu suka bola,” ucap Kribo.

“Gapapa nih?” tanya penjual pangsit.

“Yailah, udah sini aja. Gua lama makan gara-gara sambil nonton bola.”

Si pedagang itu duduk, tak perlu gaya yang gaduh, dan kami menonton bola bersama.

“Nonton bola juga? Udah tutup dulu gerobak lu, nonton bola dulu,” canda bapaknya Kribo.

Tampaknya, masih ada sebuah harapan dalam diri seseorang untuk sebuah Indonesia. Atau mungkin, itu hanyalah hiburan untuk membunuh kesepian. Siapa yang tahu. Hasil akhirnya, Indonesia menang.