Malam itu, orang-orang sedang menonton pertandingan
sepakbola antara Indonesia melawan Filipina. Sorak-sorak geregetan terdengar
saat ada peluang yang gagal menghasilkan. Suasana meriah di setiap rumah. Jalan
raya yang biasa membuat kita tolol, mendadak sepi. Para pengendara edan sedang
menikmati imajinasi dalam layar 21 inci.
Saya nonton di rumah teman saya, Kribo, sepulang kondangan
dalam sebuah pernikahan yang jauh melewati batas timur Jakarta. Baru sampai,
saya langsung dibelikan pangsit oleh ibu teman saya ini. Ibunya memang baik. Bapaknya
juga, suka berbicara tentang apa saja. Oh indahnya, menikmati babak pertama
dengan pangsit yang datang secara tiba-tiba.
Kebetulan motor saya terlalu jauh dari radar kekuasaan
rumahnya. Sedang asyik makan, mau tak mau saya memindahkan motor saya. “Pindahin
dulu motornya, nanti ilang kalo ditaro di sana,” perintah bapaknya Kribo.
Saat itulah, saya melihat pedagang pangsit yang sedang
menunggu mangkoknya pulang, mengisi waktunya dengan memonton bola dalam layar
telepon genggamnya, sendirian. “Sadis,” pikir saya sambil merasa iba.
Saya ceritakan kejadian itu kepada Kribo yang sedang serius
menonton bola, makan, dan sesekali melirik laptop saya yang sedang dibereskan. Tak
lama berselang, penjual pangsit itu menanyakan mangkuknya yang tak kunjung
pulang.
“Wah belom selesai makannya, bang. Udeh lu sini aja dulu,
nonton bola bareng-bareng. Gue tau lu suka bola,” ucap Kribo.
“Gapapa nih?” tanya penjual pangsit.
“Yailah, udah sini aja. Gua lama makan gara-gara sambil
nonton bola.”
Si pedagang itu duduk, tak perlu gaya yang gaduh, dan kami menonton bola bersama.
“Nonton bola juga? Udah tutup dulu gerobak lu, nonton bola
dulu,” canda bapaknya Kribo.
Tampaknya, masih ada sebuah harapan dalam diri seseorang
untuk sebuah Indonesia. Atau mungkin, itu hanyalah hiburan untuk membunuh
kesepian. Siapa yang tahu. Hasil akhirnya, Indonesia menang.