Di foto udah ada copyright-nya
Saya tidak ingin mengasihani sepeda motor yang kelelahan
membawa orang dengan berat badan berlebih. Toh motor adalah benda “mati” yang
dihidupkan oleh manusia. Dan, seberapapun manusia berusaha menghidupkan benda
mati, itu tidak akan membuat benda mati menjadi “hidup”, yang memiliki rasa.
Ah rasa. Rasa adalah salah satu unsur terpenting dalam
teater. Seorang aktor wajib hukumnya untuk mengolah rasa dalam memasuki peran
yang dimainkannya. Tanpa olah rasa, permainan tak akan hidup, dan teater adalah
ilmu tentang kehidupan. Kehidupan memiliki banyak rasa. Semua orang tahu itu. Tapi,
sedikit orang yang tahu kalau dalam menampilkan rasa tanpa adanya sebab yang
jelas dalah hal yang sulit untuk dilakukan. Bayangkan bila dalam perannya,
seorang aktor harus tertawa dengan rasa senang yang berlebih, padahal ia baru
dapat celaka dalam kehidupannya. Bagaimana? Kalau Anda mau tahu caranya, Anda
tahu harus kemana. Saya tak akan membahas tentang teater dalam tulisan ini. Tapipak!
Itu hanyalah sebuah gejolak saya tentang rasa dan teater. Jangan
dihiraukan, mari kita lanjutkan tentang obesitas dan naik motor.
Jadi begini. Teman saya ada yang obesitas dan dia bawa
motor. Motonya bebek lisensi Jepang, buatan Indonesia. Wah, susunan kata demi
kata di sini kayaknya kurang asyik. Ulang dari awal deh.
Semalam, saya ceritanya mau ke rumah teman saya yang
obesitas. Karena tidak tahu rumahnya, saya mengikutinya dari belakang naik
motor saya. Teman saya walaupun obesitas, naik motornya bahaya. Saya sering
tertinggal jauh olehnya. Tapi, di situ bahayanya. Taman saya ini tahu kalau
saya tak tahu rumahnya. Ia setiap kali menarik pedal gasnya jauh di depan saya
, lantas menengok ke belakang untuk melihat apakah saya masih ada atau tidak.
Apa yang aneh dari obesitas dan naik motor? Pertama, ia
tetap bisa melaju kencang layaknya pembalap liar di jalan yang bukan arena
balapan. Bahkan lampu merah pun sempat sekali dihajar. Untung tak tertilang
oleh polisi yang siaga di depan –mengingat setelah dia menerobos, pemotor
berikutnya yang ikut menerobos menjadi santapan polisi yang dari tadi diam di
kegelapan.
Kedua, setelah meninggalkan saya jauh di belakang, dia
selalu menengok ke belakang dengan bantuan otot lehernya yang tertutup lampisan
kulit yang berlebih. Kenapa harus menengok? Karena jangkauan kaca spion telah
terhalang oleh tubuhnya yang lebih lebar dari stang motor.
Nah, jadi apa gunanya spion untuk teman saya yang obesitas begini?
Tak ada! Selain untuk syarat memenuhi peraturan berlalu lintas. Mudah-mudahan
ada seorang inovator yang baca, atau paling tidak orang tekniklah. Biar kegelisahan
teman saya ini bisa teratasi.
Di balik badannya yang besar, ternyata teman saya menyimpan
kegelisahan. Namun, di balik kegelisahannya, ia adalah orang yang baik, karena
dengan tak bosan-bosannya menengok ke belakang untuk memastikan saya tidak
ketinggalan.
Sampailah kita di rumah teman saya ini. Dan akhirnya, kami
makan pakai ayam. “Jangan malu-malu, Bay. Belum tentu besok dapet rezeki kayak
begini lagi,” ucapnya dalam. Sialan!