Kamis, 26 September 2013

Modus

"Kamu aku anter pulang ya?"
Artinya: Aku masih ingin bersama denganmu lebih lama lagi.

Batas

selebihnya langit tak pernah menyangka
kalau saja
ia memiliki batas
aku akan membuktikannya
maka temukanlah lagi
aku di bumi

Tentang Obesitas dan Naik Motor

Di foto udah ada copyright-nya

Saya tidak ingin mengasihani sepeda motor yang kelelahan membawa orang dengan berat badan berlebih. Toh motor adalah benda “mati” yang dihidupkan oleh manusia. Dan, seberapapun manusia berusaha menghidupkan benda mati, itu tidak akan membuat benda mati menjadi “hidup”, yang memiliki rasa.

Ah rasa. Rasa adalah salah satu unsur terpenting dalam teater. Seorang aktor wajib hukumnya untuk mengolah rasa dalam memasuki peran yang dimainkannya. Tanpa olah rasa, permainan tak akan hidup, dan teater adalah ilmu tentang kehidupan. Kehidupan memiliki banyak rasa. Semua orang tahu itu. Tapi, sedikit orang yang tahu kalau dalam menampilkan rasa tanpa adanya sebab yang jelas dalah hal yang sulit untuk dilakukan. Bayangkan bila dalam perannya, seorang aktor harus tertawa dengan rasa senang yang berlebih, padahal ia baru dapat celaka dalam kehidupannya. Bagaimana? Kalau Anda mau tahu caranya, Anda tahu harus kemana. Saya tak akan membahas tentang teater dalam tulisan ini. Tapipak!

Itu hanyalah sebuah gejolak saya tentang rasa dan teater. Jangan dihiraukan, mari kita lanjutkan tentang obesitas dan naik motor.

Jadi begini. Teman saya ada yang obesitas dan dia bawa motor. Motonya bebek lisensi Jepang, buatan Indonesia. Wah, susunan kata demi kata di sini kayaknya kurang asyik. Ulang dari awal deh.

Semalam, saya ceritanya mau ke rumah teman saya yang obesitas. Karena tidak tahu rumahnya, saya mengikutinya dari belakang naik motor saya. Teman saya walaupun obesitas, naik motornya bahaya. Saya sering tertinggal jauh olehnya. Tapi, di situ bahayanya. Taman saya ini tahu kalau saya tak tahu rumahnya. Ia setiap kali menarik pedal gasnya jauh di depan saya , lantas menengok ke belakang untuk melihat apakah saya masih ada atau tidak.

Apa yang aneh dari obesitas dan naik motor? Pertama, ia tetap bisa melaju kencang layaknya pembalap liar di jalan yang bukan arena balapan. Bahkan lampu merah pun sempat sekali dihajar. Untung tak tertilang oleh polisi yang siaga di depan –mengingat setelah dia menerobos, pemotor berikutnya yang ikut menerobos menjadi santapan polisi yang dari tadi diam di kegelapan.

Kedua, setelah meninggalkan saya jauh di belakang, dia selalu menengok ke belakang dengan bantuan otot lehernya yang tertutup lampisan kulit yang berlebih. Kenapa harus menengok? Karena jangkauan kaca spion telah terhalang oleh tubuhnya yang lebih lebar dari stang motor.

Nah, jadi apa gunanya spion untuk teman saya yang obesitas begini? Tak ada! Selain untuk syarat memenuhi peraturan berlalu lintas. Mudah-mudahan ada seorang inovator yang baca, atau paling tidak orang tekniklah. Biar kegelisahan teman saya ini bisa teratasi.

Di balik badannya yang besar, ternyata teman saya menyimpan kegelisahan. Namun, di balik kegelisahannya, ia adalah orang yang baik, karena dengan tak bosan-bosannya menengok ke belakang untuk memastikan saya tidak ketinggalan.

Sampailah kita di rumah teman saya ini. Dan akhirnya, kami makan pakai ayam. “Jangan malu-malu, Bay. Belum tentu besok dapet rezeki kayak begini lagi,” ucapnya dalam. Sialan!