Sabtu, 26 Juli 2014

Batu

Sekarang adalah jamannya batu. Tua, muda, mereka semua berbatu. Tak ada ketetapan nilainya. Asal pandai bicara, kaya bukanlah mustahal. Di tengah merebaknya para penjaja batu, saya ingin bercerita tentangnya. Tentang batu. 

Teman saya, Fulan, adalah orang yang pragmatis. Falsafah hidupnya adalah kerja dulu baru mikir. Menerut dia, asal ada kemauan pasti ada jalan. Salah satu kelebihannya yang adalah, ia pandai bicara layaknya seorang motivator. Saya pun kadang terlena dalam begitu banyak analogi tentang kehidupan yang dipaparkannya.

Dalam perjalanannya, Fulan bertemu dengan jaman batu. Jaman di mana orang-orang memakai batu di jari atau dikalungkan di leher. Ia pun menjadi penjaja batu. Semua orang ditawarkan batu koleksinya. Saya pernah ditawarinya juga, namun saya menolak. Saya merasa tak perlu batu.

Ada temannya yang pernah bertanya serius kepadanya; “Mas, gue sama sekali gak ngerti batu nih. Terus menurut lu, kenapa gue harus beli batu yang lu jual?”

Dengan segala analogi dan motivasi yang diberikan, jawaban dengan mudah dikeluarkan Fulan menjawab pertanyaan temannya. Temannya menyimak serius. Namun akhirnya ia tak membeli batu itu. Fulan kali itu gagal.

Namun Fulan bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia terbilang cukup sukses untuk penjaja batu pemula. Katanya, dengan menjual satu batu, ia dapat membeli telepon pintar baru. Fulan memang pebisnis yang pragmatis. Ia sebenarnya hanya mempraktikkan ilmu retorika yang dimilikinya. Dan memang, seorang penjaja yang baik adalah penjaja yang pandai beretorika.
***
“Memang pada dasarnya manusia itu suka pada sesuatu yang tak berguna,” ucap teman saya yang lain pada Minggu malam di bilangan Lenteng Agung.

Saya diam. Sesekali tertawa namun tetap menyimak.

“Lu pada tau sejarahnya emas?” tanyanya.

“Gak tau, mas. Emang gimana sejarahnya?” celetuk yang lain sambil tertawa.

“Dulu itu ada yang seorang raja bernama Midas, ia ingin segala sesuatu yang dipegangnya menjadi emas. Dewa mengabulkan permintaan emas itu. Orang itu senang. Ia melihat segala sesuatu yang dipegangnya menjadi emas. Ia suka segala yang berkilauan.

“Tapi setelah beberapa lama, ia akhirnya sadar, kalau emas tidak berguna untuk hidupnya. Semua makanan yang disentuhnya menjadi emas. Ia menyesal. Tangan emas itu menjadi anugrah sekaligus kutukan.

“Sekarang ibaratnya sih sama aja kayak batu. Lu tau kan kalau batu gak ada nilai pastinya. Semakin orang pinter ngomong, semakin banyak untungnya. Yang beli itu orang-orang gila. Dia rela ngeluarin duit jutaan buat beli sesuatu yang gak berguna. Dan itu memang sifat dasar manusia.”

Ucapannya disertai dengan banyak tawa. Semua yang mendengar juga tertawa. Minggu malam itu memang kami sedang pesta tawa. Dan yang saya mengerti malam itu, tertawa juga sifat dasar manusia.

Seperti kegemaran manusia menghendaki sesuatu yang tidak berguna.