Minggu, 23 Juni 2013

Membangun karir lewat jalur mandiri



Jakarta, 21 Juni 2013

Zakarias Suharto (45), satu dari sekian banyak wiraswasta yang sukses meraih kesuksesan di dunia bisnis percetakan. Ia sempat menimba ilmu Desain Grafis di Institut Kesenian Jakarta namun urung menyelesaikannya. “Sederhana saja sih, kalo di dunia desain kan gimana cara kita buat kreatif. Saya sudah menguasai dasar desain dan tahu step-stepnya. Buat saya, gelar menjadi tak penting jika kita sudah tahu apa yang mau kita kerjakan,” tuturnya.

Ia mengawali karir sebagai desainer prodak di salah satu perusahaan percetakan di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Disana, Karirnya tidak bertahan lama karena tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan medio 1996.

“Tahun 1996 merupakan awal yang mengerikan untuk saya. Saat itu perusahaan banyak memberhentikan pekerjanya dikarenakan sulitnya membayar gaji karyawan. Saya hanya mendapatkan pesangon seadanya. Padahal waktu itu, saya memiliki seorang anak yang masih kecil,” Tukas pria kelahiran Cirebon, Delapan Mei 1967.

Ia memulai usaha percetakannya sendiri dengan nama Artolini. “Nama itu sebenarnya diambil dari nama panggilan saya waktu kecil, Arto,.Sementara huruf sisanya (olini) merupakan karangan saya saja. Aslinya saya ingin menulis Art-o-line, namun karena terlalu rumit, saya singkat menjadi Artolini,” Jelasnya.

Dengan modal awal Rp 200.000 dan sebuah sepeda motor, ia membuka usahanya. “Waktu itu saya menyewa sebuah rumah dikawasan Kramat Soka,Senen, untuk kegiatan produksi. Saya bekerja berdua bersama sepupu saya.Ppendistribusian barang saya lakukan sendiri dengan mengantarkan langsung ke pelanggan di kawasan industri Kerawang dengan sepeda motor.”

“Jika mengantarkan langsung prodak ke pelanggan, setidaknya bisa menjalin silahturahmi dengan mereka. Dan bisnis tak melulu bicara soal uang, melainkan juga kedekatan dan keeratan dari masing masing pihak yang berkutat di dalamnya,” tandasnya sambil menyeruput kopi.

Di awal tahun 2000, Zakarias mulai melebarkan sayap bisnisnya. Ia membeli sebuah rumah di kawasan kalibaru, Jakarta Pusat demi melancarkan kegiatan produksinya. “Sebenarnya saya lebih senang di tempat yang lama, karena banyak kenangannya. Namun tempat itu sudah dibeli orang lain dan saya harus mencari tempat baru.” Jumlah pekerjanya meningkat menjadi tujuh orang dan memudahkan proses peroduksi sebuah barang / jasa. “Bisa meringankan beban saya sih intinya, jadi ngga grasak-grusuk kaya dulu lagi,” Ujarnya sambil tertawa kecil.

Banyaknya karyawan tak mempengaruhi proses pendistribusian barang, semuanya tetap ia laksanakan sendiri tanpa menggunakan jasa pengiriman barang. “Bisa saja sebenarnya saya menggunakan jasa pengiriman barang, namun ya itu tadi, saya tetap ingin menjalankan silahturahmi dengan para pelanggaan. Saya juga menetapkan prinsip itu kepada para pekerja saya.”

“Usaha kadang tak selalu berjalan baik. Pada tahun 2002, saya mendapat order dari perusahaan Korea Selatan. Mereka memesan banyak kalender dan buku panduan perusahaan, namun mereka cuma membayar setengah dari harga kesepakatan. Sejak saat itu, saya berfikir ulang jika mendapat order dari perusahaan Korea,” tukasnya.

Menurutnya, pahit manis dalam dunia bisnis merupakan hal yang biasa terjadi. “Sama seperti roda aja sih, berputar terus. Bisnis, kehidupan dan apapun itu pasti akan mengalami pasang surut dan kejadian-kejadian di luar perkiraan.”

Tahun 2007, ia kembali harus pandah karena tempatnya yang lama, di Kalibaru terlalu sulit untuk dijangkau oleh para customernya yang kian banyak. “Agak bingung juga kalau ada customer  yang mau ke kantor. Karena letaknya di dalam gang dan nama jalan kalibaru itu ada banyak. Mau ngga mau, saya atau pekerja saya suka jemput customer di suatu tempat,” jelas pria berzodiak Taurus ini.

“Tempat yang sekarang sih udah lumayan bisa di jangkau sama customer. Karena tempatnya strategis dan gampang buat akses kendaraan. Semoga saja ini tempat terakhir saya dan tidak pindah-pindah lagi.” Tukasnya lagi.

Untuk pendapatan omset dari bisnis yang dijalaninya, ia merasa amat cukup dan tidak kurang. “Alhamdulillah, sejak merintis usaha ini, saya selalu cukup dan tidak kekurangan. Ya cukup untuk membiayai pendidikan anak-anak dan kebutuhan keluarga,kalau bicara nominal, ya relatif lah,” jelas ayah dari tiga orang anak ini.

Empat belas tahun sudah Zakarias menggeluti usaha percetakannya. Dan ia sempat berfikir untuk menyudahi usahanya. “Keinginan untuk berhenti sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Saya ingin memulai sebuah hidup di usia 40 tahun. Namun saya urung melakukannya karena masih ada target yang belum saya raih.”

Ia juga memberikan kiat sukses dalam melakukan usahanya. “Jika ingin sukses dalam dunia bisnis sih sebenarnya mudah saja. Ikuti kata hati dan percaya saja sama apa yang ingin dijalani. Insya Allah pasti ada berkahnya,” tutupnya. (hs)

*narasumber wawancara merupakan ayah dari penulis

Heri Susanto

2011110014