Buku sejarah pendidikan kita mengajarkan bahwa bangsa kita telah
merdeka sejak tahun 1945, dan secara penuh diakui kedaulatannya pada tahun 1949
saat Belanda mengakui kemerdekaan. Lantas, apa sesungguhnya arti merdeka itu?
Saya tak hendak mengutip kamus besar bahasa Indonesia untuk
menafsirkan kata merdeka. Namun saya ingin kembali menceritakan bagai mana Nyai
Ontosoroh melawan.
Kalian ingan sosok Nyai Ontosoroh pada cerita saya sebelum
ini? Ia berjuang menghadapi pengadilan Hindia-Belanda untuk mendapatkan haknya,
Annelies dan perusahaan yang selama ini ia kembangkan dengan jerih payahnya.
Tampil sebagai pribumi yang menjadi korban, Nyai mendapatkan
perlakuan yang sewenang-wenang di dalam persidangan. Cap ‘nyai’ memang selalu
diidentikan dengan keluarga amoral. Nyai tak lebih dari gundik seorang totok,
yang melulu diasosiasikan dengan seks dan kelamin. Ontosoroh pun tak lepas dari
stereotip itu. Meski ia cerdas.
Bukan kekalahan Nyai di pengadilan yang ingin saya
terangkan. Karena kalah itu sudah pasti. Nayai hanya ingin melawan. Namun,
sikap hakim pengadilan yang memandang Nyai sebagai binatang yang menjadi
persoalan.
Hakim melulu membuat pertanyaan yang sifatnya privasi dan
konyol, yang jelas tak ada hubungannya dengan kasus yang dipersidangkan, hanya
mencari pembenaran untuk menjadikan si korban dipandang amoral.
Cerita itu ditulis Pram dengan tegas saat berada di pulau
Buru, saat menjadi tapol akibat dituduh. Dengan menggunakan latar penjajahan
kolonial, Pram mengajak kita membaca sejarah dengan tidak kaku, dengan segala
rasanya. Ia ingin menunjukkan bahwa penjajahan belum usai.
Jika kalian berpikir penjajah hanya bangsa ini hanya
berwujud tinggi besar seperti Kompeni atau pendek, sipit dan teratur seperti
tentara Jepang, maka ada yang salah dengan penafsiran kita akan kemerdekaan.
Semalam, kabar penjajahan datang lagi. Kabar yang dateng
ketika media tak disiplin melakukan verifikasi.i Kabar yang datang dari
sebuah blog, dari sebuah cerita dengan segala rasanya, tentang pemerkosaan.
YF, korban pemerkosaan oleh petugas TransJakarta, telah
menjalani persidangan sampai tahap penuntutan. Proses pencarian bukti dilakukan
YF sendirian. Ia berpengan teguh pada keyakinannya, bahwa ia telah diperkosa. Dan
ia harus melawan.
Namun perlawanan, tek selamanya mudah seperti ucapan seorang
motavitor terkenal. Perlawanan menghabiskan waktu, energi dan, terdakang,
cemoohan.
Saya akan menyampaikan petikan pertanyaan yang dilakukan
oleh hakim dan pengacara terdakwa kepada
korban;
“Saudari, pakai BH warna apa hari itu?”
“Sudah tau gampang sakit, kenapa naik kendaraan umum
sendirian? Kenapa ga ditemani?”
“Saudari kan orang Aceh. Berarti muslim ya. Apa boleh
seorang wanita muslim pakaiannya seperti itu?”
“Saudari kan orang berpendidikan ya? Kok orang berpendidikan
kerja pakai celana pendek?
“Benarkah saudari saat itu sedang hamil dari laki-laki yang
bukan suami saudari?”
“Saya mau lihat, seberapa pendek celana itu di kaki kamu.”
Kebetulan celana dan baju YF dijadikan barang bukti karena ada noda sperma di
pakaian tersebut. Permintaan absurd ini ditolak hakim. Bagaimana dengan jaksa?
Jaksa diam saja. Saat terdakwa diizinkan untuk bertanya langsung kepada YF pun
jaksa tidak mengajukan keberatan.ii
Pertanyaan yang melecehkan dan sungguh, tak ada
sangkutpautnya dengan kasus yang disidangkan.
Epilog
Suatu hari, saya menonton ujian sidang teman saya untuk
mendapatkan gelar sarjananya. Teman saya ini perempuan dan sudah menikah. Anaknya
baru satu, dan lucu.
Saya ingat sekenanya, pertanyaan sang penguji setelah
permasalahan pokok selesai dipertanggungjawabkan, “Anak kamu sekarang umurnya
berapa tahun?”
“Tiga tahun, Pak,” jawab teman saya.
“Oh sudah besar ya. Sekarang lagi ngapain dia?”
“Kayaknya sih lagi tidur di rumah sama bapaknya.”
“Sekarang bapaknya yang ngelonin. Nanti malem kamu gantian
ngelonin bapaknya. Hahaha..”
Dua penguji yang lain ikut tertawa. Saya diam melihat raut
muka teman saya yang tak senang.
Apa masih layak kita menyebut bangsa ini merdeka?
Catatan: