Aku selalu, setiap
hari berangkat kerja lewat jalan kecil itu. Jalan di mana ada Ratna, seorang
perempuan paruh baya selalu menjajakan mimpinya kepada anak-anak sekolah.
“Gapailah mimpimu
yang tinggi dan besar!” perempuan itu selalu teriak ketika mengumpulkan
perhatian anak-anak.
“Ayo kita ke sana,
dengerin mbok Rat dongeng,” anak-anak berseragam itu langsung duduk dengan
tenang mendengarkan cerita demi cerita dari mbok Rat.
“Sebelum aku mulai
cerita, kalian harus tenang. Kali ini akan kuceritakan tentang mimpi sang
seniman.” lalu Ratna memulai cerita sambil mengunyah sirih di mulutnya.
“Aku dulu itu adalah
seniman serba bisa. Karya-karyaku banyak yang dipajang di galeri terkemuka.
Jadi, kalian harusnya beruntung bisa langsung mendapat cerita dari seniman
berkualitas sepertiku.”
“Mbookkkk... kapan
mulai ceritanya?” anak-anak mulai menggerutu.
“Kalian ya mesti
sabar! Semua butuh proses...” mbok Rat kesal dan mulai menggerutu, “..kalau
emang gak mau dengerin, yaudah aku pulang mendingan!”
“Yah.. jangan pulang
dong, mbokkkkk!”
“Aku sudah ilang
mood, besok aja ceritanya. Lagian aku juga banyak kerjaan di rumah.”
Selalu seperti itu,
setiap hari, setiap aku lewat jalan itu. Mbok Rat selalu menjajakan sebuah
mimpi yang tak selesai. Mimpi yang hanya ada dalam banyangannya. Mimpi yang tak
terbeli.
Mbok Rat dulunya
memang seorang seniman hebat. Namun kondisi memaksanya untuk bekerja menjajakan
mimpi di Jakarta. Namun, masyarakat kota tak pernah percaya dengan mimpi.
Bergeraklah yang membuat mereka berubah. Mimpi hanyalah ilusi. Terlalu banyak
mimpi, terlalu banyak sakit hati.
Mungkin ada
segelintir masyarakat kota yang masih percaya dengan mimpi, tapi penghasilan
mbok Rat dari menjajakan mimpi tetap saja sepi. Entah karena apa, mungkin
terlalu banyak penjual mimpi yang lebih hebat darinya, mungkin pula
mimpi-mimpinya terlalu muluk, sehingga orang-orang bosan mendengarnya. Atau
mungkin, mimpinya malah melukai harapan dan realita, siapa yang tahu?
Siang itu, saat
matahari tepat berada di atas kepala, mbok Rat duduk di halte sampil mengajak
bicara calon pembeli mimpinya.
“Nih mas, persediaan
mimpi saya.” Mbok Rat menunjukkan sampel mimpinya.
“Ini beneran bisa
kesampean gak, mbok?”
“Asal mau berusaha,
pasti bisa.”
“Lah mending saya
kerja, kerja juga usaha.”
“Lah orang kayak
kamu ini yang gak bisa mengapresiasi mimpi.”
“Maaf deh, mbok, mending
mengapresiasi diri sendiri daripada mesti mengapresiasi mimpi.”
Setelah hari itu,
mbok Ratna tak pernah lagi terlihat di halte untuk menjajakan mimpinya. Menurut
kabar burung, ada sebuah institusi yang mengapresiasi mimpinya. Tapi tak ada
satu orang pun yang mengetahui keberadaan institusi yang mengapresiasi mimpi
tersebut.