Jumat, 18 Januari 2013

Apresiasi Mimpi



Aku selalu, setiap hari berangkat kerja lewat jalan kecil itu. Jalan di mana ada Ratna, seorang perempuan paruh baya selalu menjajakan mimpinya kepada anak-anak sekolah.

“Gapailah mimpimu yang tinggi dan besar!” perempuan itu selalu teriak ketika mengumpulkan perhatian anak-anak.

“Ayo kita ke sana, dengerin mbok Rat dongeng,” anak-anak berseragam itu langsung duduk dengan tenang mendengarkan cerita demi cerita dari mbok Rat.

“Sebelum aku mulai cerita, kalian harus tenang. Kali ini akan kuceritakan tentang mimpi sang seniman.” lalu Ratna memulai cerita sambil mengunyah sirih di mulutnya.

“Aku dulu itu adalah seniman serba bisa. Karya-karyaku banyak yang dipajang di galeri terkemuka. Jadi, kalian harusnya beruntung bisa langsung mendapat cerita dari seniman berkualitas sepertiku.”

“Mbookkkk... kapan mulai ceritanya?” anak-anak mulai menggerutu.

“Kalian ya mesti sabar! Semua butuh proses...” mbok Rat kesal dan mulai menggerutu, “..kalau emang gak mau dengerin, yaudah aku pulang mendingan!”

“Yah.. jangan pulang dong, mbokkkkk!”

“Aku sudah ilang mood, besok aja ceritanya. Lagian aku juga banyak kerjaan di rumah.”

Selalu seperti itu, setiap hari, setiap aku lewat jalan itu. Mbok Rat selalu menjajakan sebuah mimpi yang tak selesai. Mimpi yang hanya ada dalam banyangannya. Mimpi yang tak terbeli.

Mbok Rat dulunya memang seorang seniman hebat. Namun kondisi memaksanya untuk bekerja menjajakan mimpi di Jakarta. Namun, masyarakat kota tak pernah percaya dengan mimpi. Bergeraklah yang membuat mereka berubah. Mimpi hanyalah ilusi. Terlalu banyak mimpi, terlalu banyak sakit hati.

Mungkin ada segelintir masyarakat kota yang masih percaya dengan mimpi, tapi penghasilan mbok Rat dari menjajakan mimpi tetap saja sepi. Entah karena apa, mungkin terlalu banyak penjual mimpi yang lebih hebat darinya, mungkin pula mimpi-mimpinya terlalu muluk, sehingga orang-orang bosan mendengarnya. Atau mungkin, mimpinya malah melukai harapan dan realita, siapa yang tahu?

Siang itu, saat matahari tepat berada di atas kepala, mbok Rat duduk di halte sampil mengajak bicara calon pembeli mimpinya.

“Nih mas, persediaan mimpi saya.” Mbok Rat menunjukkan sampel mimpinya.

“Ini beneran bisa kesampean gak, mbok?”

“Asal mau berusaha, pasti bisa.”

“Lah mending saya kerja, kerja juga usaha.”

“Lah orang kayak kamu ini yang gak bisa mengapresiasi mimpi.”

“Maaf deh, mbok, mending mengapresiasi diri sendiri daripada mesti mengapresiasi mimpi.”

Setelah hari itu, mbok Ratna tak pernah lagi terlihat di halte untuk menjajakan mimpinya. Menurut kabar burung, ada sebuah institusi yang mengapresiasi mimpinya. Tapi tak ada satu orang pun yang mengetahui keberadaan institusi yang mengapresiasi mimpi tersebut.