Rabu, 16 Juli 2014

Agung dan kecintaannya terhadap sepakbola



Sore itu, Agung berjalan gontai menyusuri jalan setapak di seputaran Streetford. Ia harus menerima kenyataan tim kesayangannya kalah telak atas sang rival terberat dengan skor 0-3. Angung bukanlah tipikal orang yang senang atas kekalahan. Ia selalu ingin menang, dengan menang, ia bisa menaikan derajatnya yang terkucil di lingkungan kampus. Hampir setiap hari, Agung selalu memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. Setiap detik ia memantau perkembangan timnya via Twitter dan jejaring sosial lainnya. Rasa cinta memang selalu membutakan. Bahkan, ia rela mengecat kamar rumahnya dengan warna  kostum tim kesayangannya. Tak peduli ayahnya selalu marah melihat tingkahnya. Agung cuek.

Agung masih meratapi kekalahan timnya. Tak berselang lama, bus yang ditumpangi sang rival lewat di depan mukannya yang kusut. Ia mengejarnya bak pemain pepsi man ataupun temple ruin. Ia berlari sekuat tenaga. Tak berapa lama, bus tersebut berhanti di lampu merah. Agung melempari bus tersebut dengan batu jalanan. Lemparannya mengakibatkan kaca bus pecah dan membuat pemain beserta official tim rival menjadi was-was dan shock. Agus kemudian mencoret kaca depan bus sang rival dengan pilox bertuliskan, “Ini kota kami. Anjing dilarang masuk.” Setelah puas menimpuki dan mencoret bus, Agung mengunggah aksi anarkinya ke jejaring sosial. Reputasinya merangkak naik setelah itu.

Ia menjadi disegani di lingkungan rumah, kampus, bahkan stadion. Bahkan orang-orang menjulukinya “Agung is Our Hero.” Karena keberaniannya membuat aksi anarkis seorang diri membuat malu tim rival di Streetford. Bahkan, wajah Agung  kini terpampang di stadion markas tim kesayangannya. Agung bak Che Guevara. Iapun lantas diangkat menjadi ketua umum supporter tim kesayangannya.

Ia menjadi amat disegani. Pengikut setianya bertambah banyak. Ia bak Tommy Hatcher dalam serial Green Street Hooligan, bahkan dalam versi lebih mengerikan. Ia tak segan memukuli siapapun yang menghina tim kesayangannya. Bahkan pernah suatu ketika ia membuat temannya sendiri terbaring koma di rumah sakit dikarenakan sang teman melecehkan tim kesayangannya di kampus.

Sampailah kepada pertemuan kedua tim tersebut bertanding. Laga kali ini diadakan di markas sang rival. Panitia pelaksana sebenarnya melarang supporter tamu untuk datang. Agung tetap nekat datang. Padahal rekanannya tak ada yang berani datang. Agung tak ciut. Ia malah memaki temannya yang tak berani datang ke kandang sang rival, “katanya lu Streetford  sampe mati? Ngomong doang lu. Liat nih gua bakal dateng ke kandang anjing-anjing itu. Lu mending potong titit kalo ga berani dateng kesana. Kalaupun emang harus mati, gua mati untuk Streetford.”

Ia telah sampai ke stadion. Ia tetap mengenakan seragam tim kesayangannya. Semua mata di stadion melihat kepadanya. Semua orang ingin memukulinya, mencabik dagingnya dan mengecingi wajahnya. Agung tetap tenang. Ia malah memaki supporter tim lawan, “Kok anjing boleh masuk ke stadion sih? Dasar kota sampah.” Tukasnya sambil menyulut rokok ke mulutnya.

Pertandingan berjalan sengit, Streetford ditekan sepanjang waktu. Pertahanan Streetford bak jalur Gaza yang sedang di bombardir pasukan Zion yang lapar akan darah. Agung masih tak percaya timnya diserang sedemikian rupa. Ia melongo seperti sedang melihat Luna Maya striptis di depan mukanya yang tampan. Sampai tiba akhirnya, Gonzalo, striker tim rival berhasil menciptakan gol via salto ala Tsubasa Ozora di menit 85. Agung marah semara-marahnya, ia memukuli supporter lawan disampingnya dengan brass knucle yang disematkan di jemarinya. Sang supporter lawan jatuh tak sadarkan diri. Namun Agung ditendang dari belakang, ia kecolongan. Ia tersungkur dibawah kaki supporter rival. Ia lantas mendapat puluhan pukulan dan tendangan di sekujur tubuhnya. Ia masih melakukan sedikir perlawanan. Namun apa daya, ia kalah jumlah. Anehnya polisi tak mencoba melerai aksi supporter rival. Oknum polisi seakan membiarkan Agung untuk mati di tempat.

Agung masih dipukuli, hingga tambahan waktu pertandingan diumumkan, ia masih dipukuli dengan deras. Kaos putihnya kini berubah menjadi merah akibat darah yang mengalir dari kepala dan tubuhnya. Ia sekarat, ia sulit bernafas, ia meraih pegangan untuk berdiri. Namun terlambat, sepatu Dr Marteens mendarat tepat di antara kedua matanya. Ia tersungkur.

Peluit tanda pertandingan selesai didengungkan. Sang rival menang 1-0 atas Streetford City. Supporter lawan bersorak. Agung berinang air mata, ia menangis sejadi-jadinya. Supporter rival meludahi wajahnya yang kini sudah tak berbentuk. Wajah tampannya kini bak pekedel di warung makan murahan. Sekali lagi, supporter rival kembali menginjak-nginjak kepalanya. Kali ini dengan sneaker Adidas. Agung tak bernafas lagi, ia tewas di kandang sang rival dengan kaos “Streetford till i die.” Seiring kematian Agung, sebuah lagu di dengungkan di stadion mengiringi kematian Agung. Koil –  Dan cinta kita terlupakan.

Sepakbola, Islam dan The White Stripes

Sepak bola akhir-akhir ini menjadi isu yang mutakhir. Di tengah hiruk pikuk Piala Dunia Brasil dan menjamurnya analisis kontemporer tentang sepak bola, tak bisa tidak, kami pun hanyut di dalamnya. Hanyut dalam analisis segar, saat mysupersoccer telah menjadi basi.

Heri Susanto adalah penulis yang paling getol mengankat isu sepakbola. Mulai dari isu apparel, politik dalam negeri, kapitalisme, teori Kun Fayakun, hingga konflik Gaza, semua dilibas atas nama sepakbola. Padahal, saya bersumpah atas nama colokan usb, penampilannya sehari-hari sangat tidak cocok dengan sepakbola. Mungkin, satu-satunya yang dipaksakannya adalah; memakai seragam Manchaster City agar dibilang sepaham dengan Noel Gallagher.

Sudahlah, tak ada nilai baik untuk membahasnya. Saya hanya mencari ice breaking untuk awal tulisan ini. Jika ternyata gagal, apa boleh buat.

Di edisi Ramahdan blog ini, tadinya kami mau mendefinisikan Islam secara lebih mendalam. Namun yang terjadi, malah di luar kesepakatan. Isu utamanya berpindah kepada sepak bola, di mana negara-negara Islam melulu gagal berkompetisi di tingkat dunia.

Masih segar untuk generasi saya –generasi yang lahir saat orang-orang berlarian di kuburan Santa Cruz mencari perlindungan dari amukan peluru tajam- pada Piala Dunia 2002, Saudi Arabia dibantai oleh Jerman. Saat itu Arab hanya menjadi bulan-bulanan negara lain. Tanpa pernah menang.

Terakhir adalah Iran yang mencicipi sebagai peserta Piala Dunia. Terlepas dari Islam Sunni ataupun Syaih yang menjadi mayoritas di Iran, saya tak ambil pusing. Yang penting, Iran identik dengan Islam. Membahas Sunni dan Syiah saat ini hanya menjadikan saya kontra-produktif.

Iran hanya mampu menahan imbang Nigeria, dan dalam dua pertandingan lainnya, mereka kalah. Nasib Arab dan Iran pun serupa, menjadi juru kunci grup.

Saya tak punya analisis apa-apa tentang negara-negara Islam di pentas sepak bola terbesar di Bumi ini. Saya hanya sedang ingin membicarakannya. Tak lebih, tak kurang. Mungkin besok atau lusa, saya akan membahas sosok muslim legendaris dalam dunia sepakbola; Zinedine Zidane. Mungkin.

Tapi untuk sekarang nikmatilah tulisan ini, sekurang-kurangnya, bacalah dua paragraf awalnya. Karena, dosen saya selalu bilang; Lead adalah intisari dari sebuah berita. Meskipun ini bukan berita, tapi konsep itu tak salah jika digunakan.

Malam ini terlalu banyak nyamuk. Lantunan gitar dan suara Jack White yang setia dalam ketukan Meg White membawa mata saya sayup;
Here we are, no one else
we walked to school all by ourselves
there's dirt on our uniforms
from chasing all the ants and worms
we clean up and now it's time to learn
we clean up and now it's time to learn
Tabik!