Sore itu, Agung berjalan gontai menyusuri jalan setapak di
seputaran Streetford. Ia harus menerima kenyataan tim kesayangannya kalah telak
atas sang rival terberat dengan skor 0-3. Angung bukanlah tipikal orang yang
senang atas kekalahan. Ia selalu ingin menang, dengan menang, ia bisa menaikan
derajatnya yang terkucil di lingkungan kampus. Hampir setiap hari, Agung selalu
memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. Setiap detik ia memantau
perkembangan timnya via Twitter dan jejaring sosial lainnya. Rasa cinta memang
selalu membutakan. Bahkan, ia rela mengecat kamar rumahnya dengan warna kostum tim kesayangannya. Tak peduli ayahnya
selalu marah melihat tingkahnya. Agung cuek.
Agung masih meratapi kekalahan timnya. Tak berselang lama,
bus yang ditumpangi sang rival lewat di depan mukannya yang kusut. Ia
mengejarnya bak pemain pepsi man ataupun temple ruin. Ia berlari sekuat tenaga.
Tak berapa lama, bus tersebut berhanti di lampu merah. Agung melempari bus
tersebut dengan batu jalanan. Lemparannya mengakibatkan kaca bus pecah dan
membuat pemain beserta official tim rival menjadi was-was dan shock. Agus
kemudian mencoret kaca depan bus sang rival dengan pilox bertuliskan, “Ini kota
kami. Anjing dilarang masuk.” Setelah puas menimpuki dan mencoret bus, Agung
mengunggah aksi anarkinya ke jejaring sosial. Reputasinya merangkak naik setelah itu.
Ia menjadi disegani di lingkungan rumah, kampus, bahkan
stadion. Bahkan orang-orang menjulukinya “Agung is Our Hero.” Karena
keberaniannya membuat aksi anarkis seorang diri membuat malu tim rival di Streetford. Bahkan, wajah Agung kini terpampang di stadion markas tim
kesayangannya. Agung bak Che Guevara. Iapun lantas diangkat menjadi ketua umum
supporter tim kesayangannya.
Ia menjadi amat disegani. Pengikut setianya bertambah
banyak. Ia bak Tommy Hatcher dalam serial Green Street Hooligan, bahkan dalam versi
lebih mengerikan. Ia tak segan memukuli siapapun yang menghina tim
kesayangannya. Bahkan pernah suatu ketika ia membuat temannya sendiri terbaring
koma di rumah sakit dikarenakan sang teman melecehkan tim kesayangannya di
kampus.
Sampailah kepada pertemuan kedua tim tersebut bertanding. Laga
kali ini diadakan di markas sang rival. Panitia pelaksana sebenarnya melarang
supporter tamu untuk datang. Agung tetap nekat datang. Padahal rekanannya tak
ada yang berani datang. Agung tak ciut. Ia malah memaki temannya yang tak
berani datang ke kandang sang rival, “katanya lu Streetford sampe mati? Ngomong doang lu. Liat nih gua
bakal dateng ke kandang anjing-anjing itu. Lu mending potong titit kalo ga
berani dateng kesana. Kalaupun emang harus mati, gua mati untuk Streetford.”
Ia telah sampai ke stadion. Ia tetap mengenakan seragam tim
kesayangannya. Semua mata di stadion melihat kepadanya. Semua orang ingin
memukulinya, mencabik dagingnya dan mengecingi wajahnya. Agung tetap tenang. Ia
malah memaki supporter tim lawan, “Kok anjing boleh masuk ke stadion sih? Dasar
kota sampah.” Tukasnya sambil menyulut rokok ke mulutnya.
Pertandingan berjalan sengit, Streetford ditekan sepanjang
waktu. Pertahanan Streetford bak jalur Gaza yang sedang di bombardir pasukan
Zion yang lapar akan darah. Agung masih tak percaya timnya diserang sedemikian
rupa. Ia melongo seperti sedang melihat Luna Maya striptis di depan mukanya
yang tampan. Sampai tiba akhirnya, Gonzalo, striker tim rival berhasil
menciptakan gol via salto ala Tsubasa Ozora di menit 85. Agung marah
semara-marahnya, ia memukuli supporter lawan disampingnya dengan brass knucle
yang disematkan di jemarinya. Sang supporter lawan jatuh tak sadarkan diri. Namun
Agung ditendang dari belakang, ia kecolongan. Ia tersungkur dibawah kaki
supporter rival. Ia lantas mendapat puluhan pukulan dan tendangan di sekujur
tubuhnya. Ia masih melakukan sedikir perlawanan. Namun apa daya, ia kalah
jumlah. Anehnya polisi tak mencoba melerai aksi supporter rival. Oknum polisi
seakan membiarkan Agung untuk mati di tempat.
Agung masih dipukuli, hingga tambahan waktu pertandingan
diumumkan, ia masih dipukuli dengan deras. Kaos putihnya kini berubah menjadi
merah akibat darah yang mengalir dari kepala dan tubuhnya. Ia sekarat, ia sulit
bernafas, ia meraih pegangan untuk berdiri. Namun terlambat, sepatu Dr Marteens
mendarat tepat di antara kedua matanya. Ia tersungkur.
Peluit tanda pertandingan selesai didengungkan. Sang rival
menang 1-0 atas Streetford City. Supporter lawan bersorak. Agung berinang air
mata, ia menangis sejadi-jadinya. Supporter rival meludahi wajahnya yang kini
sudah tak berbentuk. Wajah tampannya kini bak pekedel di warung makan murahan.
Sekali lagi, supporter rival kembali menginjak-nginjak kepalanya. Kali ini
dengan sneaker Adidas. Agung tak bernafas lagi, ia tewas di kandang sang rival
dengan kaos “Streetford till i die.” Seiring kematian Agung, sebuah lagu di
dengungkan di stadion mengiringi kematian Agung. Koil – Dan cinta kita terlupakan.