Kamis, 25 Oktober 2012

Penyayang Binatang

Setiap kali aku panggil kamu anjing
Kamu selalu marah
Sayang,
Sebetulnya kamu ini binatang apa?

Mereka Adalah Tuhan

Hari ini, ketika semua keadaan tak lagi berpihak kepada seseorang. Pasrah seakan menjadi sebuah jawaban. Karena pemberontakan hanya akan membuat pola pikir menjadi bodoh. Pengkhianatan seakan menemukan sebuah makna, cinta menjadi suatu yang terlupakan. Dikala matahari mulai tenggelam, malam seakan enggan menjelang.

Kulajukan sepeda motor kreditku dengan sangat lamban, seakan tak peduli dengan keadaan sekitar. Aku merasa semua orang menertawaiku, namun pedulikah aku? Mereka seolah menjadi tuhan atas diriku, mereka berkata seenaknya, membabi-buta mencerca. Dan mungkin berpikiran akan menghukum diriku. 

Dengan segala cara, aku beruhasa untuk tak menghindar dari kenyataan. Merenovasi pemikiran dengan cara membaca kitab-kitab suci yang terasa tak lekang oleh zaman. Sekalipun hanya mengartikan sesaat, namun terasa bermakna.

Mereka yang mengaku tuhan biasanya akan semena-mena, tak peduli omongan orang. Merekalah yang terhebat, terbaik, terbenar. Penggunaan akal pikir berlebih tentu akan membahayakan diri sendiri, stigma ateis  sudah barang tentu akan menjadi label orang-orang tersebut.

Dari segala jenis keabsurdan yang melekat, selalu tersimpan pembenaran yang (mungkin) hakiki. Itulah mereka, mereka akan selalu seperti itu. Entah sampai kapan, selang waktu pun seakan tak mampu untuk menjawab.

Surga dan neraka hanyalah mitos untuk mereka, teologi seakan angin lalu, kitab suci seperti lembaran pengumuman yang tak berguna. Tuhan telah mati bagi mereka, merekalah tuhan.

Menghayati Melankoli, Menghayati Hidup


Saya sedang cukup malas menulis dan berpikir. Tapi agar proyek blog ini tetap berjalan, mau tak mau saya harus mempublikasi tulisan. Oleh karena itu, di postingan ini saya hanya ingin menyampaikan kembali renungan saya tentang lirik lagu Melancholia (Efek Rumah Kaca) yang pernah saya share di twitter, beberapa waktu lalu, dengan ditambahkan sedikit pembuka.

_______________________________________________________________________________

Cinta bukanlah tema baru dalam ranah musik. Begitu juga dengan kegundahan. Ia memiliki keterkaitan erat dengan cinta.

Dalam lagu Melancholia ciptaan Efek Rumah Kaca, Cholil (vokalis sekaligus penulis lirik) menawarkan cara baru dalam mengatasi kegundahan.

Simak liriknya berikut ini:

Tersungkur di sisa malam
Kosong dan rendah gairah
Puisi yang romantik
Menetes dari bibir

Murung itu sungguh indah
Melambatkan butir darah

Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati


1) Lirik itu menawarkan cara lain dalam memandang depresi. Cara untuk menyikapi rasa, bukan sesuatu yang menimbulkannya.

2) Karena itu, dalam liriknya tak ada objek "siapa" atau "apa" yang membuat murung. Sebab barangkali memang itu gak penting-penting amat.

3) Bagi ERK, justru yang lebih penting adalah "rasa" itu sendiri.

4) Sudah jelas, "nikmatilah saja kegundahan ini", sebuah penghayatan (bukan penolakan) terhadap kegundahan, terhadap hidup.

5) Atau, "murung itu sungguh indah, melambatkan butir darah". Seperti sesuatu yang membuat "ada", dan "hidup": sebuah keindahan.

6) Tapi meski begitu, "siapa" atau "apa" ini bukan tidak penting. Ia tetap ada: sebagai sesuatu untuk diterima seutuhnya, bukan untuk dihindari, dikoreksi, dipersalahkan. Tapi untuk dihayati, bukan diakali, bukan dihindari.

7) Karena ia (si "siapa" atau si "apa") adalah yang menciptakan "rasa" itu (mungkin depresi, mungkin kecemasan, kegundahan, atau keresahan), sekaligus keindahan.

8) Intinya. seperti kata orang, mungkin dunia ditakdirkan untuk tidak baik-baik aja. Tapi buat apa ngeluh? Nikmatilah! (setidaknya dalam hal cinta).

(Delapan poin di atas adalah salin-tempel dari twitter saya)

Sajak Pendiam


Aku diam
Aku diam tak mendengar
Aku diam bagaikan musik yang berdentang keras
Aku diam dan menikmati kesunyianku

Aku melihat orang-orang bersuka cita tanpa tujuan
Aku melihat mereka yang kebingungan dan tetap berjalan
Aku melihat mereka yang mempunyai harapan
Aku merasakan dunia yang terus berputar
Tapi aku hanya bisa diam
Gelisah
Diam menikmati kegelisahanku

Lalu aku bangkit
Aku bangkit menghampiri aliran sungai yang deras
Aku mencicipi airnya
Bangsat!!
Airnya pahit
Kurasakan pahitnya
Namun aku tak kuat
Lalu aku kembali diam
Menyerah

Aku berbaring menatap hitam
Gelap tak ada suara
Tak ada udara
Namun begitu tenang
Kunikmati ketenangan dalam gelap
Kurasakan kenyamanan dari setiap kata yang tak jadi keluar
Dan aku masih berdiam

Aku duduk dan masih terdiam
Masih gelap
Masih diam
Tak ada harapan
Hanya bisa melihat mereka yang kegirangan
Melihat mereka yang melawan
Melihat mereka yang mempunyai harapan
Tapi aku akan tetap diam dan menikmati gelap
Entah sampai kapan...

Jakarta, Oktober 2012