Minggu, 22 September 2013

Dongeng Kera Manusia

Di sebuah pulau
Seekor kera kelaparan
Ia mencari pisang
Berlompatan dari pohon ke pohon
Dari ranting ke ranting
Dari waktu ke waktu
Dari sudut ke sudut

Lalu ia bertemu dengan manusia
Manusia itu seperti pengembara
Ia menggendong sebuah buntelan kurus
Sang Kera menunjuk-nunjuk ke arah sana
Manusia mengerti
Dibukakannya buntelan itu

Melihat sebuah pisang, Si Kera cepat-cepat mengambilnya lalu kabur
Tetapi Si Manusia tak marah
Ia malah tersenyum
Sebab dirinya masih punya sebuah pisang lagi di celana

Kemudian Kera itu pergi
Dan di perjalanan, Si Kera menemukan temannya kelaparan
Ia lalu menyuruh temannya untuk mengunjungi Si Manusia

Manusia kembali bertemu dengan seekor Kera
Tapi ia tak kaget
Tanpa membaca aba-aba, ia membuka buntelnya yang kosong

Si Kera yang melihatnya, langsung memasang tampang kecewa
Tetapi kemudian manusia mengeluarkan pisang di dalam celananya

Kera itu tersenyum
Manusia juga
Tapi senyum manusia lebih lebar dari pada Kera

2 Telinga 1 Mulut



Kawan saya pernah bilang kalo dia suka banget kalo curhat atau ngegalau ke saya. Ketika ditanya kenapa, katanya cuma saya kawan yang gag pernah memberi nasihat ato wejangan tanpa diminta. Waa... ^^

Doni Tak Pernah Jadi Tentara

Gambarnya minjem dari sini.

Badannya tegap, rambutnya cepak, matanya bulat dan perawakannya seram. Namanya Doni. Ia tinggal bersama kakeknya. Ayah ibunya sudah lama meninggal akibat kecelakaan saat sedang mencari ikan di laut. Umurnya belum sampai seperempat abad. Setiap makan, Doni selalu menenggak telur ayam kampung yang ia ambil dari kandang ayam neneknya.

Doni bukan tentara. Sebagaimanapun ia berusaha, Doni tak akan bisa jadi tentara.

Dari kecil, Doni selalu mengidolakan kakeknya yang seorang veteran perang. Kakek Doni selalu bercerita tentang peristiwa yang pernah ia alami saat perang dahulu. Kadang bercerita tentang betapa sulitnya melawan penjajahan yang kejam, sampai pengalaman mencuri senjata di markas Jepang untuk sebuah kemerdekaan. Sering kali kakek Doni memamerkan luka di perutnya akibat tertembus peluru saat sedang melarikan diri sehabis mencuri senjata di markas Jepang. Kakek Doni bercerita dengan penuh kebanggaan. Doni menganggap kakeknya adalah pahlawan sejati, yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya.

“Jadi tentara dulu itu bukan karena jadi pns, tapi perjuangan. Bagi kakek, mencuri di markas penjajah itu hukumnya halal,” ucap kakek kepada Doni yang selalu mendengarkan tanpa interupsi.

Kakeknya selalu dianggap Doni sebagai seorang pahlawan, walaupun pernah mencuri senjata dari Jepang.

Doni kecil tumbuh dari cerita kakeknya. Ia dibina menjadi lelaki yang kuat dan berani untuk menghadapi kenyataan. Setiap hari disuruh lari keliling lapangan dari azan Ashar sampai Magrib menjelang. Makanan yang diberikan kakek, selalu dicampur dengan telur ayam setengah matang, lebih sering telur yang diberikan tidak matang sama sekali. Hidupnya penuh dengan kedisiplinan. Namun seberapapun Doni mencoba, ia tak mungkin jadi tentara.

Hari-hari si Doni kecil selalu diisi dengan latihan bersama kakeknya. Kadang bermain perang-perangan dengan teman sebayanya. Sering mereka sampai adu jotos karena yang tertembak tidak terima. Pernah suatu hari, gigi Doni copot akibat temannya yang menghantamkan pistol kayu mainan ke rahangnya. Namun Doni tetap suka bermain perang-perangan. Namun seberapapun Doni menyukai perang, ia tak akan bisa jadi pahlawan nasional dalam sebuah perang.

Pernah suatu ketika, saat Doni baru lulus sekolah menengah pertama, ia diajak oleh temannya untuk mengikuti tes masuk militer. Namun ajakan itu ditolak karena Doni merasa belum siap dana dan tenaga untuk menjadi tentara. Padahal di kampungnya, seorang tentara sangat dihargai. Setiap ada tentara pakai pakaian seragam lewat, setiap orang yang melihat langsung menundukkan kepalanya. Itu dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada tentara. Maklum, di kampung Doni, hanya seorang tentara yang rumahnya dipasang pagar berduri. Namun, betapapun dihargainya seorang tentara di kampungnya, tak ada satu orang pun orang asli kampung itu yang jadi tentara.

Saat Doni mulai beranjak remaja, orang-orang kampung selalu menganjurkannya agar setelah lulus sekolah langsung ikut tes militer. Doni hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, tanda setuju.

“Don, nanti kalau sudah lulus, cepet-cepet ikutan tes tentara. Badanmu mantep, fisikmu mantep. Jendral pun mental, kalau kamu ajak berantem,” ucap seorang warga desa saat Doni sedang duduk di pos ronda.

Doni pun selalu memimpikan suatu saat nanti bisa jadi tentara. Namun, mimpi itu hanya mimpi. Doni pun tak pernah menjadi tentara. Ia hanya cucu dari seorang veteran perang yang kadang kekurangan beras untuk makan.

Kabarnya, ada seorang maling yang mati tertembak karena mencoba mencuri beras dari rumah tentara di kampungnya Doni. Muka maling itu habis ditimpah popor senapan.

Seberapapun Doni mencoba, ia tetap tak pernah menjadi tentara.