Selasa, 24 September 2013

Kekal

Ilustrasi: Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit

“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat perpisahan,” Rani terkejut saat suara itu menggema di kamarnya.

Seperti biasa, setelah mendengar suara-suara di kamarnya, Rani lantas menggelar sajadah dan berdoa meminta perlindungan dalam malam yang sunyi, saat hanya suara binatang yang terdengar. Rani sudah tahu pasti bahwa suara itu akan menghilang dengan sendirinya setelah ia berdoa. Saat suara itu menghilang, Rani mencoba untuk kembali ke ranjangnya dan menutup tubuhnya dengan selimut hangat. Ia kembali tidur.

Sinar mentari mulai kembali lewat lubang-lubang yang menganga di antara kayu-kayu jendela. Perlahan, hangatnya mentari menyentuh kelopak mata Rani yang masih tertutup. Tak ada suara burung berkicau yang ikut menyapa paginya. Hanya suara dering alarm dari telepon genggam yang membuatnya sadar. Rani duduk sejenak di atas ranjang. Ia masih mengingat malam-malamnya yang menyeramkan, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membasuh tubuhnya dengan air yang masih dingin.

“Dalam ketenangan ini, akan kubacakan dosa-dosamu,” suara itu muncul lagi.

Rani yang tubuhnya masih basah, lantas kaget mendengar suara itu. Tak biasanya suara itu muncul di pagi hari. Itu adalah pertama kalinya suara aneh itu muncul di pagi hari. Rani mencoba tenang. Ia mengambil sajadah dan langsung berdoa. Namun, kali ini suara itu semakin kencang.

“Aku bukan iblis yang bisa kau usir dengan doa,” suara itu menantang.

Rani tetap berdoa. Suara itu semakin kencang dan semakin kencang lagi. Rani melafalkan doanya semakin kencang, mencoba mengalahkan suara itu. Hingga akhirnya ia tidak tahan lagi.

“Aaaaaaggghhhhhhhhh!!!!!!!!”

“Aku akan membacakan dosa-dosamu selama di dunia.”

“Hentikan! Hentikan! Jangan bicara lagi!”

“Wahai manusia, sadarlah! Kematian akan datang, dan aku akan membacakan semua dosa-dosamu.”

“Ampunnnn.....”
***

Warga kampung terlihat tegang. Bendera kuning telah terpasang di jalan-jalan yang mengubungkan ke rumah Rani. Orang-orang tua berlalu-lalang, sedangkan yang muda sedang sibuk meminjam keranda mayat dari kampung sebelah. Langit yang cerah mendadak hujan.

“Siapa yang meninggal?” tanya Tika, yang baru pulang kuliah, kepada sorang pemuda yang sedang memasang bendera kuning.

“Gak tau, saya hanya disuruh pasang. Pasti ada yang meninggal,” jawab pemuda itu singkat dengan tatapan mata yang menyeramkan.

Tika lantas meninggalkan pemuda itu dengan cepat, mengikuti arah benra kuning yang terpasang. Ia berjalan melewati jalan-jalan sempit. Pikirannya masih terbayang dengan tatapan pemuda yang menyeramkan tadi. Ia baru pertama kali melihat pemuda itu di kampungnya.

Sudah setengah jam ia berjalan, namun rumah duka tak juga ditemukan. Tikatetap berjalan dengan penuh keyakinan. Sampai di persimpangan, berdera kuning tak ada kelanjutan. Tika malah tersasar entah dimana. Saat menegok ke belakang, bendera kuning yang sebelumnya menyangkut di tiang-tiang listrik tiba-tiba menghilang. Tika panik. Ia melihat ke sekitar, namun tak ada seorang pun yang nampak. Langit yang carah namun meneteskan air hujan mendadak gelap.

Tika berdoa dalam hatinya meminta perlindungan. Ia mencoba tenang.

“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat perpisahan,” suara itu muncul dibarengi petir yang menyambar.

Tika yang berusaha untuk tenang tak bisa menahan kuasanya untuk berteriak. Ia meraung, meminta pertolongan kepada siapa saja.
***

Semuanya terjadi begitu cepat. Semua gelap. Yang terdengar adalah raungan kesakitan yang terasa sangat dekat. Suara-suara minta ampun sangat jelas terdengar. Bau busuk tak mau ketinggalan untuk mengambil bagian. Hawa panas menjaral dari ujung kaki sampai pangkal ubun-ubun. Yang terasa hanyalah suara, bau busuk dan hawa panas yang menyakitkan. Dalam kegelapan itu, suara itu muncul lagi.


“Ini adalah ganjaran bagi kalian yang hanya berdoa saat kesusahan. Nikmatilah! Nikmatilah segala hal yang pernah kalian lakukan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar