Selasa, 06 November 2012

Coffin Cadillac, Mesin Rock Kotor dari Yogyakarta

Off The Road (2009)




Yogyakarta banyak mengeluarkan musisi-musisi terbaik sebut saja Jikustik, Sheila On Seven, Shaggydoog, The Rain, Seventeen dan musisi-musisi dari ranah sidestream macam Melacholic B1tch, Frau, Endank Soekamti, Belkastrelka, Bangkutaman dan masih banyak lagi. Dari sederet nama-nama diatas, Musik jogja terkesan aman dan baik-baik saja. Semua berubah saat saya mendengarkan EP (Extended Play) Coffin Cadillac yang berjudul Off The Road.

Download Random yang saya lakukan via yesnowave.com nampak membuat saya tercengang sendiri. Lima track yang tersaji merupakan sebuah komposisi yang pas untuk Punk Rock konstan nan kotor. Sebuah sajian yang pas untuk para Punk Rock Kids yang haus akan Moshing dan Circle Pit.

Track pertama dibuka dengan, “Hate” nuansa American Hardcore meluncur lurus tanpa harus berkelok. Durasi 1:08 menit pun seakan menggambarkan kebrutalan lagu ini dari awal sampai akhir. “She Makes Me Wanna Kill” terdengar maut dengan shredding gitar dan cuilan Bassline yang apik. Dan yang membuat ensensi EP ini tak liar secara keseluruhan adalah “All Night Long”  lagu ini seperti perpaduan antara Goodboy Badminton, Paramore serta sedikit nuansa Hardcore. Sebuah track yang bisa dimaafkan tentunya. Overall, EP ini cukup bersahabat di telinga untuk para Hardcore/Punk Rock Kids yang baru menikmati genre jenis ini.  EP ini juga di mixing secara rapih dan tidak menghilangkan esensi musik mereka yang keras. Salute !!

Semoga scene musik di Jogjakarta akan lebih baik kedepannya dengan rilisan-rilisan yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Mawar yang Ketakutan


Ilustrasi: blogspot.com

“Gue takut, nanti diketawain kalo ngomong,” begitulah teman saya berkata saat kami sedang berdua. Sebut saja Mawar, teman saya yang pendiam dan (terkesan) anti-sosial. Mawar adalah seorang anak muda yang sedang mempelajari ilmu komunikasi, namun sungguh ironis karena tidak dapat –atau lebih tepatnya belum mau- untuk berkomunikasi dengan orang banyak. Ia terlalu takut akan hal yang belum terjadi, terlalu berlebihan memikirkan efek komunikasi yang hendak dilakukannya.

Memang, dalam ilmu komunikasi, efek dari komunikasi yang dilakukan haruslah dipertimbangkan karena itulah yang membedakan orang komunikasi atau bukan. Namun, Mawar terlalu takut untuk mengahadapi efek komunikasi yang dilakukannya, cenderung bermain di zona nyamannya dan tak berani untuk keluar dan mengahadapi kenyataan. Mawar hidup dalam sugesti yang dirancangnya sendiri. Menciptakan kebenarannya dalam mitos-mitos yang dibuatnya tanpa mau melihat realita. Oleh karena itu ia memilih diam dan menjadi anti-sosial.

Pikirannya terkurung dalam ketakutan-ketakutan berlebihan berasal dari pengalamannya yang selalu ditertawakan orang lain saat menyatakan pendapatnya yang payah, yang terkesan sok serius di saat yang tidak tepat. Masa lalu selalu menghantui pikiran Mawar saat ingin berkomunikasi. Pengaruh-pengaruh tersebut membuat Mawar hidup dalam idelismenya sendiri, dan perlhan menjadi manusia yang cenderung egois.

Orang-orang seperti Mawar memang sedang dalam mencari konsep kebenarannya sendiri –sama halnya dengan saya yang berusaha menafsirkan kebenaran dalam proyek menulis 30 hari ini, pun tidak berhasil, setidaknya telah memahami bentuk keeksistensian manusia. Namun akan sangat disayangkan bila mereka menjadi seorang idealis yang egois, yang hanya bisa terkurung dalam mitos-mitos yang dibuatnya sendiri. Ketakutan yang berlebihan menjadikan segala tindakan menjadi tak wajar, nyeleneh tanpa makna dan tujuan yang jelas. Tentu, cap anti-sosial akan hinggap di jidat mereka.

Semoga kau mengerti, Mawar.

Pacaran: Sebuah Legitimasi

Pacar. Mendengar kata itu, pikiran saya langsung mengasosiasikan pada hal-ikhwal kepemilikan: atas tubuh fisik, dan tubuh psikis. Sebenarnya, untuk apakah status pacar?

Belum lama ini teman saya sempat bercerita mengenai pacarnya. Dia mengeluh, lama-lama pacaran itu bosen juga, "cuma gitu-gitu aja." Saya kemudian mengiyakan: memang, sesuatu yang rutin, pada gilirannya akan bosan juga. Perasaan cinta, lama-lama terreduksi dalam rutinitas dan komitmen. Kalau sudah begitu, suatu hubungan, sebenarnya mempertahankan cinta atau mempertahankan rutinitas dan komitmen?

Namun kemudian teman saya meneruskan keluhannya, "tapi kalo ga pacaran, gua ga bisa cium dia." Saya merasa ada yang aneh sampai di titik ini.

Dalam obrolan lainnya dengan beberapa perempuan, saya pernah terjebak, dan mau tak mau, menguping. Obrolan yang sama anehnya. Saat itu hari sudah malam. Seorang perempuan hendak pulang. Ia bilang ke temannya, "gua dijemput sama si Blablabla (nama pacarnya) laaahhh. Dia kan pacar gua. Ya harus jemput dong."

Dari ke dua kasus tersebut, saya kemudian berpikir: mengapa juga melakukan ciuman harus dengan pacaran? Mengapa juga pacaran itu harus jemput? Apakah pacaran semiskin itu: hanya legitimasi (semacam surat izin) untuk melakukan sesuatu?

Ciuman ya ciuman aja. Asalkan sama-sama mau, terus kenapeh?

Jemput ya jemput aja. Tak ada yang harus. Tak perlu pacaran.