Kamis, 01 November 2012

Pecundang

Ketika matahari mulai sayu disore hari, kamu duduk termenung di atas pangkuanku. Kita banyak bercerita tentang sore yang berkaca-kaca, angin malam nan menusuk serta wewangian bunga di taman tropis. Kamu merangkul diriku dengan hangat serta membuka sebuah pandangan baru kepadaku. Disaat langit bertukar warna, kita masih terpaku akan wacana dan enggan beranjak pulang.

Dua buah cangkit berisikan kopi hangat serta satu bungkus rokok putih menemani wacana kita, apa saja yang kita bicarakan memang tanpa makna. Namun percayalah sayang, ini adalah hal terindah daripada kita bercinta sampai pagi menjelang. Sesekali kamu mencubit lenganku dan mengacak-acak rambutku. Aku merasa sangat bahagia saat itu. Semua terasa natural tanpa ada rekayasa.

Tibalah saat yang paling kubenci, telepon dari kekasihmu membuyarkan kemesraan kita. Aku sebenarnya ingin merebutmu dari pelukannya namun apalah daya, aku hanya seorang pecundang yang selalu mencari perlindungan darimu. Untuk mencintaimu seutuhnya aku masih belum mampu.

Sekian.

Surat untuk Seorang Perempuan yang Tak Terduga (Part II)

Kepada seseorang yang selalu menyimpan rahasia.

Ini surat keduaku. Entah akan kutulis berapa banyak lagi surat untukmu. Meskipun kita belum begitu lama berada di dunia ini, aku merasa, terlalu banyak pengalaman sekaligus pelajaran berharga yang telah kuhafal, yang terlalu sayang untuk tidak kupetakan pada keabadian. Bagiku, menulis adalah cara mengabadikan pengalaman, mengabadikan perasaan. Aku harap kau tak akan pernah memintaku untuk berhenti menulis tentangmu.

Kekasih, tidakkah kau ingat saat-saat kita berdebat panjang, tentang sesuatu yang mungkin akan dianggap sepele oleh oranglain? Perdebatan tak wajar tentang sesuatu yang dianggap wajar oleh oranglain, tidakkah kau ingat? Kita bicara tentang cinta, tetang pernikahan, tentang anak, tentang hal-hal yang kau bilang seharusnya tak kupertanyakan. Saat itu, kita keras kepala. Sama-sama batu. Aku kadang melihatnya seperti bicara dengan diri sendiri, diri yang batu. Tapi bukankah itu lucu, sekaligus indah? Keindahan yang menyembul bukan dari kesetujuan atau kesamaan, tapi ia justru hadir dari ketidaksetujuan atau perbedaan. Begitu indah.

Itu hanya satu dari banyak keindahan yang kau tunjukkan padaku.

Sebenarnya ada yang jauh lebih indah daripada itu. Kau ingat, saat kau merasa begitu takjub pada sesuatu, pada apa yang membuatmu merasakan euforia? Aku hafal betul wajahmu saat itu. Wajah yang nampak begitu bahagia, ditambah dengan kata-katamu yang coba menjelaskan tentang hal yang membuatmu takjub itu. Aku hafal betul. Dalam takjub dan bahagiamu, kau berusaha keras untuk menjelaskan sesuatu itu. Namun kau tak bisa menuntaskannya. Kata-kata menghambatnya, tapi aku begitu menikmatinya. Keindahan yang begitu luar biasa, yang juga tak terjelaskan dengan kata-kata.

Kekasih, mungkin keindahan itu memiliki takdir seperti hidup, pada waktunya akan mati. Mungkin keindahan itu terjebak dalam kesementaraan. Tapi hidup bukan hanya tubuh fisik. Seorang yang mati tidaklah benar-benar mati. Dirinya tetap hidup dalam kenangan orang-orang. Apa yang telah ia lakukan, akan terhimpun dalam kenangan. Dan kenangan, tak benar-benar mati.

Maksudku begini, apakah jika suatu saat penulis yang sama-sama kita baca itu meninggal dunia, ia akan mati dan hilang begitu saja? Bukankah ia masih ada, dalam karya-karyanya? Karya-karya yang barangkali akan terus kita bicarakan. Karya-karya yang akan tetap ada, dan membuatnya tidak benar-benar mati.

Maka keindahan juga tak hanya berbentuk fisik. Aku hanya hendak mengabadikan ingatanku tentang keindahan. Meskipun barangkali pada waktunya kekacauan akan menggelapkan. Aku tahu betul, aku tahu betul itu akan terjadi. Tapi aku akan terus mengupayakan itu sebagai bagian dari mencintaimu. Namun jika suatu saat nanti perasaan ini memudar, setidaknya aku sudah punya cara untuk merawatnya agar tetap hidup: ingatan-ingatan tentang keindahan.

Kekasih, engkau yang tak percaya pada keabadian, terimakasih... Kau telah membuatku mencintaimu, sekaligus mengajariku bagaimana cara mengabadikan perasaanku.

Wewangian di Tikungan Tajam


Ilustrasi: blogspot.com

Cerita tentang Riko –bukan Riko gitaris Mocca, juga bukan Riko gitaris Backside Terror- yang belum selesai.

***

Senja itu, lapar melanda perut Riko yang belum terisi dari pagi menjelang. Riko memang sedang malang. Di rumahnya hanya ada kue-kue sisa lebaran. Ia pergi ke luar mencari kesenangan. Teman sejawatnya ada yang mengajaknya berkumpul ria sambil tertawa. Bersama teman-temannya, Riko memulai cerita.

Riko berjalan menuju warung untuk membeli kopi dan beberapa rokok untuk melanjutkan kehidupannya. Warung kepunyaan keluarga keturunan Padang yang terbatas tembok, yang memisahkan antara area pendidikan formal dengan realita yang ada. Jalan menuju warung itu harus melewati Tikungan Tajam, tempat yang dianggap paling keramat oleh warga sekitar. Namun, meskipun keramat, Tikungan Tajam merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar.

Tikungan Tajam, setiap Riko melewatinya, selalu tercium wewangian yang khas, layaknya wangi melati saat melewati kuburan. Bulu kuduk Riko bangun semua, ia menundukkan kepalanya. Ketakutan menghantuinya selama perjalanan. Dan, kekeramattannya mulai terasa. Riko mencoba bersikap seperti biasa saat melewatinya.

Setelah membeli kopi, Riko kembali melewati tempat itu, Tikungan Tajam. Wewangian masih tetap tercium. Bahkan semakin kuat, bercampur udara senja yang nikmat. Tak jauh dari Tikungan Tajam, Riko duduk bersama teman-temannya. Ia menikmati kopinya di dekat tikungan itu. Riko merasakan imajinasinya, terbang ke alam mereka dan merebah memandang awan yang sudah keemasan. Ternyata Riko sedang merasakan bahwa tempat yang disebut keramat itu mengasyikan. Walaupun matahari sudah tenggelam dan wewangian perlahan menghilang, Riko masih dibawa terbang. Hanya dengan segelas kopi, makanan alternatif ketika uang di dompet sedang tidak bersahabat, Riko melayang di wewangian Tikungan Tajam.