Sabtu, 21 September 2013

Kisah Si Pemotol Kontong

Apa kebahagiaan yang labih sederhana selain tidur delapan jam dan menghirup udara pagi sebelum matahari benar-benar muncul dan asap knalpot mulai mengepul? Betapa senangnya Riko masih merasakan itu. Suara kukuruyuk membangunkannya. Maka mekarlah senyum dari bibirnya bagaikan bunga yang tak akan layu walau tak disiram. Matanya, yang baru bangun tidur itu, berbinar sebagaimana satu titik cahaya di kegelapan. Rambutnya yang berantakan tetap terlihat seperti padang rumput hijau layaknya latar dansa di film India.

Riko adalah lelaki rupawan. Tetapi ia tak punya pacar. Entah apa alasannya untuk tetap hidup tanpa pacar. Selain itu Riko juga bukan mahasiswa, bukan pengusaha, bukan pekerja. Ia telah memilih jalan pengangguran sebagai cara bersyukur dan merayakan hidup.

Dan pagi yang indah ini adalah pagi seperti biasanya. Pagi seperti dua puluh tahun lalu, saat Riko masih TK. Kini umurnya dua puluh lima. Ia tetap menolak tua dan selalu punya cara menghadapi hari agar selalu bahagia tanpa rasa bosan.

Waktu TK dulu, Riko memang pernah merasakan pengalaman aneh. Di TK itu, di saat teman-temannya sibuk bermain mobil-mobilan, robot-robotan, boneka-bonekaan, serta suster-dokteran, Riko tak ikut serta. Ia diam saja. Namun bukan berarti ia tak diajak main. Ia memang tak tertarik. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah gunting di meja gurunya. Gunting yang runcing, yang kemilau di ujung matanya. Riko tersenyum melihatnya. Ia mainkan gunting itu untuk memotong rambutnya. Lalu Riko tertawa. Kemudian ia gunting lagi rambutnya. Dan ia semakin keras tertawa. Ia gunting lagi, tertawa lagi, sampai rambut di kepalanya seperti gundu bopak.

Setelah itu, seperti tak puas, ia gunakan gunting itu untuk memotong penisnya. Tak ada guru yang melihat. Riko sendiri di kamar mandi seolah-olah ia tahu bahwa perbuatan yang menyenangkan itu akan dirusak oleh orang-orang yang melihatnya. Maka diguntinglah penisnya yang kecil itu. Darah berceceran, penisnya putus sepanjang kuku. Tapi ia tak kesakitan. Ia tertawa. Ia keenakan. Perbuatannya itu terus ia lakukan seperti ia memotong rambutnya tadi.

Saat ia keluar kamar mandi, semua orang panik. Darah mengucur dari celananya, berceceran di lantai. Lalu seorang guru, perempuan manis berkerudung, dengan tergesa-gesa tanpa rasa malu membuka celana Riko. Ia memeriksa penisnya. Riko baik-baik saja.

Setelah kejadian itu, malamnya, Riko menggaruk-garuk penisnya. Ia merasakan gatal di bagian sana. Ia memeriksanya dan ia temukan sebuah pohon beringin tubuh menyambung dengan penisnya. Riko tersenyum gembira seperti ceria. Pohon itu lebat. Riko berpikir, kelebatan itulah yang membuatnya gatal. Maka ia potong lagi penisnya dan gatal pun hilang.

Keesokan paginya, Riko terbangun dan iseng mengecek penisnya seperti sebuah kerinduan. Ditemukanlah tiang listrik tumbuh menyambung dengan penisnya. Ia tertawa terbahak-bahak. Lalu ia ambil gunting dan memotongnya.

Itulah yang ia kerjakan selama hampir dua puluh tahun ini. Riko selalu memotong penisnya dan melihat apa saja tumbuh dari penisnya. Pepohonan, tiang listrik, pulpen, suling, dan sudah banyak benda yang berulang kali tumbuh dari penisnya.

Riko, lelaki rupawan yang selalu bahagia. Ia tak ingin bekerja. Ia tak ingin pacaran. Ia tak ingin uang. Ia tak ingin cinta. Ia hanya ingin memotong penisnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar