Jumat, 09 November 2012

Menunggu Ratu Adil II



Sebuah perspektif tentang kehidupan, sebagai lanjutan dari Menunggu Ratu Adil

Ratu Adil, konon katanya akan datang sebagai juru selamat. Entah dalam sosok manusia atau sebuah zaman keadilan. Yang pasti ada sebuah kepercayaan bahwa saat itu akan datang, saat ketika semua orang tidak lagi gelisah. Semua tenang, semua nyaman.

Budaya Eropa atau barat, yang dikenal telah mendapat pencerahan, mengagungkan hak asasi manusia, dengan segala tedeng aling-aling kepentingan, sebagai proses menuju keadaan damai, utopis. Hak asasi disebarkan ke seluruh polosok dunia, dan menumbuhkan harapan-harapan semu tentang keadaan tersebut. Mengatasnamakan hak asasi sebagai kebenaran sama halnya dengan mereduksi kemampuan manusia untuk melawan. Kelemahan dianggap sebuah kewajaran, sehingga orang-orang cendderung menjadi lemah. Manusia-manusia lemah tersebut diberi pengharapan akan datangnya Ratu Adil untuk menyelamatkan.

Menurut Nietzsche, budaya eropa yang mengagunggkan hak asasi tidak lagi oriental. Bangsa Eropa menjadi lebih lembek dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Menurutnya, ketidakberdayaan si lemah telah direduksi menjadi moralitas, sementara kekuatan si kuat dimaknai sebagai dosa. Power tends to corrupt adalah sebuah kesalahan.

Bangsa timur yang dikenal terbelakang, barbar, yang belum tersentuh “pencerahan” bangsa barat, justru dinilai sebagai bentuk dari merayakan kehidupan yang gelisah. Masyarakat timur, yang belum mengenal peradaban Eropa, tidak menunggu Ratu Adil datang. Mereka menjadi Ratu Adil untuk dirinya sendiri dengan berperang. Nietzsche juga mengungkapkan bahwa sikap misoginis dan anti-demokratis adalah bentuk dari manusia oriental sejati, yang sudah diketahui banyak orang, namun dianggap barbar oleh pencerahan barat yang mengatasnamakan hak asasi. “Apa yang dianggap perang oleh ‘agama Semit yang menerima hidup’ seperti budaya timur hanya dipandang sebagai gemuruh derap langkah binatang oleh ‘agama Semit negatif’ di barat.”₁

Inilah yang dimaksud dengan merayakan kehidupan, dengan segala kegelisahannya, dan tidak bertameng moralitas untuk menggambarkan ketidakberdayaan. Tak perlu untuk menunggu Ratu Adil datang hingga semua menjadi indah. Kehidupan adalah tentang kegelisahan, bersuka cita merayakan kegelisahan, bukan  menjadi lemah di bawah hak asasi dan berharap tentang kedatangan Ratu Adil yang semu.


Catatan kaki:
1 Ian Almond, Nietzsche Berdamai dengan Islam (terjemahan Depok: Kepik Ungu, 2011), hal 15.

Sore yang Berkaca-kaca

Sore ini hujan membasahi Manggarai dan sekitarnya. Aku berteduh diantara berjuta tempat beratap. Akupun melangkah kedalam sebuah toko kelontong yang sedang populer. Dengan pakaian yang basah kuyup, aku melangkah ringan seraya menahan dingin akibat dinginnya pendingin ruangan. Kulihat beberapa orang memperhatikanku namun aku terus jalan dan tak menghiraukan mereka. Aku menuju kesebuah mesin kopi otomatis yang mampu menampung tiga jenis kopi berbeda rasa dan kaya akan warna. Kuambil sebuah gelas stereoform dan menekan tombol pengisian kopi secara otomatis. aku menekan tombol "Forest Coffee" sebuah nama yang cukup aneh untuk sebuah kopi. dalam pemikiran awamku, ini kopi hutan atau bisa saja kopi liar. Kemudian, terisi penuh sudah kopi yang kupertanyakan.

Aku beranjak ke kasir terdekat dan membayar kopi tersebut. "ini aja mas? jadi sembilan ribu lima ratus rupiah" tutur si kasir manis, saya menggerutu dalam hati "kalo dikampus bisa ngopi empat gelas nih, mahal banget". Dan akupun membayar dengan uang pecahan sepuluh ribu rupiah dan bergegas meninggalkan kasir beserta penjaganya yang manis.

aku naik ke lantai dua toko kelontongan itu. Suasananya nampak ramai oleh pemuda-pemudi borjuis yang berbicara apa saja. Mulai dari rumitnya pekerjaan, fashion terkini, sampai tambatan hati adalah tema yang menurutku lumrah. Aku duduk bersebelahan dengan mereka. Aku duduk di dekat etalase kaca yang bersebrangan dengan gedung pencakar langit sambil memandangi jalan raya yang basah. Aku berfikir tentang harga kopi yang mahal tadi, "apakah layak secangkir kopi dihargai hampir sepuluh ribu rupiah? apakah ada pertimbangan sewa tempat untuk menetapkan harga mitos tersebut? atau aku sudah turut memperpanjang hidup para budak toko kapitalis itu dengan secangkir kopi yang kubeli?" entahlah, Kuseruput kopi itu dan kurasakan sensasi rasa yang jauh dari kata istimewa.

Kuhisap batang demi batang rokok putih yang baru kubeli sambil menunggu hujan reda. Aku kembudian mengambil sebuah Zine musik produksi rekan-rekanku dikampus. Hal itu kulakukan untuk membunuh waktuku yang kosong dan melenyapkan kekesalanku terhadap harga kopi tersebut. Namun yang terjadi adalah aku merasa bosan dengan apa yang kubaca. Tapi aku harus mengapresiasi apa yang mereka tulis, Karena dengan adanya Zine produksi mereka, sudah barang tentu akan menambah gairah menulis mahasiswa dikampusku.

Oh tuhan berdosakah caci-maki yang ku ungkapkan tadi?.

Plastik Hitam, Pasir, dan Angin

Langit mulai berat. Matahari hening menggelayut, nyaris padam. Di bibir pantai, sebuah Plastik Hitam bermuara. Dipertemukanlah Ia dengan Pasir, oleh Angin yang masih sabar menghembus.

Plastik: kau kira di mana berada kesempurnaan?

Pasir: kesempurnaan?

Plastik: ya! Kesempurnaan. Titik di mana kita menjadi utuh, tak terbelah. Total, sempurna.

Pasir: cinta.

Plastik: apa maksudmu cinta?

Pasir: hidup ini masih berjalan, ditopang oleh cinta. Berjalan, berlari, terjatuh terengah, bahkan lumpuh, semua karena ada cinta. Kekacauan bahkan timbul dari cinta.

Plastik: kau mungkin benar. Tapi bagaimana kaitannya dengan kesempurnaan?

Pasir: menurutmu, apa itu cinta?

Plastik: cinta bagiku, semacam keinginan untuk mengisi, melengkapi, menambal, memberi. Itu saja. Oleh karenanya, cinta ya hanya cinta. Yang jujur, tanpa pretensi.

Pasir: maksudmu?

Plastik: untuk menggenapkan kekurangan atas yang lainnya! Meskipun yang lainnya tak pernah benar-benar genap, total, tak pernah benar-benar sempurna. Maka aku tanya, di mana berada kesempurnaan?

Pasir: hmmm...

Plastik: tapi justru itu, kita hidup. Justru karena totalitas tak ada, kita menjadi hidup. Ketiadaan itu memungkinkan kita terus berusaha mencapai, meski tak pernah tuntas.

Pasir: memang, kalau ada kesempurnaan, hidup kita selesai.

Plastik: ya! Tapi kalau kesempurnaan itu tidak ada, bagaimana kata tersebut bisa ada?

Tiba-tiba terdengar suara langkah. Pelan, kencang, kemudian pelan lagi, dan kencang lagi, tak konstan. Angin datang.

Angin: mungkin saya bukan orang yang paling sempurna untuk kalian. Tapi percayalah, setiap pertemuan memiliki maksud yang sempurna. Untukmu, saya ada. Untuk saya, kamu ada. Kita hadir untuk menyempurnakan satu sama lain. Pertemuanlah yang sempurna. Hanya ada kini, dan kini. Tak ada yang lalu, dan yang akan. Hanya kini. Sempurna.

Angin kembali berhembus. Pasir memburai. Plastik Hitam kembali terbang.