Senin, 30 Juni 2014

Subuh

“BAGAIMANA bisa kamu lupakan yang tak mungkin dilupakan?”

Itu penggalan lirik lagu Kotak Band berjudul Selalu Setia yang mendabak terdengar saat saya hendak tidur dan pacar saya tengah sibuk bermain Farm Saga di tab-nya, beberapa waktu lalu. Siang itu, tetangga kos pacar saya memutar lagu tersebut dengan volume sangat kencang.

Saya tiba-tiba saja ingin menulis sesuatu karena mendengar penggalan lirik tadi. Saya membayangkan, tulisan saya dibuka dengan kalimat: “yang tak ingin aku lupakan…”

Tapi itu belum menjadi kalimat. Saya kemudian membuka mata dan mendesak pacar saya menuntaskan kalimat tersebut. “… tumbuh di keheningan,” katanya.

“Yang tak ingin aku lupakan, tumbuh di keheningan.”

Aih, keren sekali, pikir saya. Masalahnya, saya tak tahu harus membuat tulisan seperti apa dengan kalimat pembuka sekeren itu. Saya berpikir sejenak, tapi ide tak saya dapati. Saya berpikir dua jenak, ide tetap tak saya dapati.

Kalimat sekeren itu tak mungkin saya lupakan begitu saja. Saya butuh ide cerita guna membuatnya berfungsi. Namun berhari-hari saya mencari, ide tak juga saya temui.

Sampai akhirnya Ramadhan tiba. Saya pun teringat dengan pengalaman batin yang terjadi ketika subuh di setiap bulan puasa.

Bagi saya, subuh di “bulan suci” ini berbeda dengan subuh biasa. Itu karena pukul tiga pagi saya terbuat dari teh manis dan masakan ibu di tengah suara petasan yang riuh rendah, bukan terbuat dari rokok, kopi, dan laptop dengan lembaran microsoft word yang kosong seperti subuh yang sering kali saya alami.

Sekitar pukul empat, setelah saya sahur, saya selalu merokok sambil berjalan menuju masjid. Udara saat itu masih terasa begitu dingin. Terlebih lagi, suasana juga sepi. Dingin dan sepi. Tapi di kondisi seperti itulah saya merasa ada yang “hidup” di batin saya. Semacam kekosongan bernyawa. Serupa kehampaan yang nyata, meski suara petasan menyala.

Saya tak hendak memistifikasi “bulan suci”. Saya hanya tak bisa berpura-pura mengabaikan perasaan saya.

Maka, Ramadhan bagi saya adalah pertanda hadirnya Gaib subuh di antara suara petasan yang riuh. Kegaiban yang tetap hening di tengah ledakan petasan yang lengking.

"Yang tak ingin aku lupakan, tumbuh di keheningan.”

Day 2

Aku Bukan Manusia, Aku Dinamit

Saya membuat judul buku yang membahas tentang filsafat Nietzsche dan politik anarkis sebagai judul tulisan saya ini. Memang agak membingungkan ketika pandangan Nietzsche disangkutpautkan dengan politik sama rata macam anarkisme. Pasalnya, Nietzsche mengutuk amat keras pandangan anarkis maupun sosialis.

Namun, seperti yang saya sebutkan di tulisan saya sebelumnya, semesta adalah mekanisme tunggal. Segala sesuatu yang terjadi saling berkaitan dengan yang lainnya. Begitu pula filsafat Nietzsche dengan politik anarki. Mereka berhubungan. Mungkin juga saling mempengaruhi, saling cinta, walaupun ada kutuk di antara keduanya.

Sama rasa sama rata yang dianut oleh anarkisme ditentang Nietzsche karena akan menggerogoti kapasitas dan keinginan individu untuk hidup dengan sehidup-hidupnya. Sean M. Sheehan menulis;
“Kritik Nietzsche ditujukan pada konsekuensi psikologis tatanan sosial yang berkeras mengubah konsep-konsep bikinan manusia menjadi kebenaran abadi. Dalam pandangan Nietzsche, penyakit psikologis ini terjadi karena manusia selalu membutuhkan seperangkat kepercayaan untuk menenangkan arus kehidupan yang semrawut dan tanpa makna supaya dapat membuat hidup menjadi lebih mudah untuk ditanggung. Penyakit modern inilah yang ditentang Nietzsche.”
Dan, kebenaran memang tak sanggup untuk abadi. Hanya kepercayaan yang dapat abadi.

Di tengah pertentangan antara filsafat Nietzsche dengan politik anarki, fasis diam-diam memcaplok pemikirian Nietzsche yang radikal. “Apa yang dianggap perang oleh ‘agama Semit yang menerima hidup’ seperti budaya timur hanya dipandang sebagai gemuruh derap langkah binatang oleh ‘agama Semit negatif’ di barat.” (Lihat: Menunggu Ratu Adil II)

Berbicara tentang Ratu Adil, saya teringat pemilu presiden Indonesia yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Ada yang diaanggap fasis dan mungkin satunya adalah sosialis. Mereka sebisa mungkin menyamai penampilan Ratu Adil yang telah lama dinanti.

Mereka mengharap setinggi-tingginya kepada kedua calon. Kedua calon dianggap sebagai kebenaran bagi kaumnya masing-masing. Segala cara kampanye disampaikan untuk memproduksi kebenaran tersebut, hingga akhirnya menjadi kepercayaan. Dan fatalnya, daya nalar seseorang perlahan menghilang ketika wacana telah menjadi sesuatu yang amat dipercaya, sebanding dengan agama.

Saya yakin, seorang fanatik Jokowi tak akan berubah pikiran ketika fakta membuat Jokowi tak berdaya. Mereka takut fasisme kembali menjelajah Nusantara. Dan sebaliknya, fanboy Prabowo pun tak akan terima –sebaik apapun media menyampaikan fakta, sebodoh apapun Ahmad Dhani menggunakan tanda.

Mereka lupa bahwa kedua calon adalah manusia. Dan, saya akan ingat pada sabda baginda besar nabi Muhammad SAW;
Sesungguhnya setan mengalir di dalam (tubuh) manusia seperti mengalirnya darah. Maka tundukkanlah dia dengan berpuasa.” HR. Buchari.
Namun, aku bukan manusia, aku dinamit.