Jumat, 01 Februari 2013

Tentang Sebuah Lagu dari Era 90-an

Siang itu langit sedikit muram namun tak kunjung meneteskan hujan. Riko datang, saya ambilkan agar-agar dan teh manis untuk dijadikan dorongan (berguna untuk menetralisir, layaknya jeruk nipis untuk sebotol jamu lokal). Ya, berbicara dengan Riko memang lebih afdol bila memakai dorongan agar semuanya lancar.

Dia datang mencari segudang pekerjaan untuk mengisi waktu luangnya saat libur kuliah. Tak hanya itu, ia pun memasang iklan motornya yang masih layak pakai (ini kisah nyata, jadi kalau ada yang berminat segera hubungi saya).

Sudah selesai dengan tujuan awalnya datang ke rumah, tiba-tiba dorongan yang saya berikan mulai bereaksi, dikeluarkan handphone dari saku celana pendeknya dan ia pun mulai mendengarkan lagu dari playlist-nya. Lagu asing lagi yang terdengar –setidaknya untuk telinga saya- seperti Wieteke van Dort, Soundtrack serial Kera Sakti, Bob Marley, dan banyak lagi. Tapi ada satu lagu yang mengingatkan saya tentang hari Minggu siang ketika tahun 90-an, di mana panas matahari masih terhalang rimbunnya pepohonan.

Anda salah bila mengira lagu yang terdengar adalah suara-suara pemberontakan a la grunge Nirvana, lagu dengan lirik-lirik misoginis Bon Jovi, atau pop manis indie lokal angkatan Rumahsakit. Lagu yang melantun dari handphone Riko bercerita tentang seorang pendekar yang selalu mengisi Minggu siang anak-anak 90-an.

Anak-anak yang kala itu yang menikmati hidupnya dengan berlarian, mengumpat di balik jembatan, lewat sambil tertawa di atas sepeda, dan berkelahi setelah diadu oleh teman yang lebih tua. Setelah mereka cukup lelah, saat yang tepat untuk pulang dan menonton serial seorang pendekar berbaju putih dan ikat kepala berwarna putih pula. Seorang pendekar yang kala itu cukup kondang di pergaulan anak-anak 90-an.

Bukan, bukan Catatan si Boy yang menceritakan seorang pemuda kaya raya. Bukan pula serial Lupus yang berteman dengan hari-hari sibuk nan melelahkan. Pendekar itu bernama Wiro Sableng yang mempunyai guru bernama Sinto Gendeng. Dan, satu yang masih saya ingat, delman itu nyungsep ke sebuah lubang.

Wiro Sableng yang terkenal dengan nomor dada 212, mempunyai sebuah kapak yang ajaib. Entah apa yang ada dipikiran Riko mendengarkan (lagi) soundtrack Wiro Sableng, namun lagu itu sedikit membuat saya bernostalgia dengan, ya.. anak-anak 90-an. Bernostalgia dengan otot-otot yang saya punya ketika itu, ketika menjadi manusia sempurna. Bila tulisan ini hanya terpajang dalam layar monitor Anda, itu tandanya otot saya sudah tak sempurna dulu lagi, seperti anak-anak 90-an dengan nyanyiannya. Setidaknya sekarang kita bisa bernostalgia menjadi manusia sempurna.

Satu pesan dari Riko siang itu, “Dari C#7 cuk, yok sama-sama yok... cokocokocokocokocokocok...” biar sableng, biar jadi bener.