Catatan berdasarkan
sudut pandang tunggal yang bias dan penuh prasangka.
Kampus IISIP
Jakarta, yang saya tahu, terkenal dengan sebutan kampus jurnalistik. Lulusannya
banyak yang berhasil menjadi wartawan besar. Sebut saja, Andy F Noya, salah
satu lulusan IISIP Jakarta yang sudah tak perlu lagi untuk diulas profilnya
dalam tulisan ini. Banner yang
memajang gambar mukanya di depan Kampus Tercinta cukup untuk menarik minat
lulusan SMA yang tak sengaja tidak diterima di perguruan tinggi negeri.
Kampus jurnalistik,
seperti bayangan banyak anak muda, pasti akan ada berbagai media di dalamnya. Isu-isu
sengit dalam lingkungan sekitar, mungkin, akan dibahas menggunakan berbagai teori
populer. Paham ke kiri-kirian, mungkin juga, akan menambah rasa tusukan pedang
dari isi pernyataan. Namun setelah ke dalam, entah kenapa, saya merasa hampa,
sepi, sedikit sekali media –dalam bentuk konvensional- beraksi. Padahal, dengan
bangga, Kampus Tercinta memajang gambar muka Andy, yang notabennya adalah
pekerja media, di depan kampus.
Nanti juga saat lulus dan dapat kerja saya akan
diajari caranya membuat tulisan pesanan. Oh, betapa dangkalnya pemikiran saya. Tapi
tunggu dulu, saya sudah membaca dan berpikir tentang teori-teori komunikasi populer. Sampai
sini, kesimpulan saya adalah, generasi saya adalah generasi pemikir tanpa
tindakan.
Saya rasa tulisan
ini sudah mulai mengawang jauh ke angkasa, melantur karena memang saya kurang
tidur. Mungkin bila saya lanjutkan tulisan ini, akan berakhir dengan caci maki.
Tak perlulah saya
mengucap sumpah serapah terhadap keadaan media di Kampus Tercinta yang sepi. Toh, masih banyak hiburan berkualitas dalam kampus, berupa pertunjukan seni dan berbagai seminar formal, yang juga merupakan media untuk menyampaikan kegelisahan. Yang pasti, mahasiswa, seperti saya, adalah masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi
intelektual yang bertindak secara independen. Pun ada kepentingan, itu hanyalah
cara untuk mencari eksistensi yang alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar