Minggu, 13 Juli 2014

Menjilat Takdir

Asap tebal terhembus. Mengepul dan menebas udara menjadi beberapa bagian, sebelum terbang, kemudian menghilang. Ia tak akan kembali. Ia pergi saja tanpa menghawatirkan apa-apa. Ia tahu tak akan terbakar sayapnya di ketinggian karena ia bukan Icarus.

Udara memahami betul semua yang terjadi sebagaimana ia memahami deret Fibonacci. Tapi ia selalu berbaik hati meski asap tak pernah peduli. Ketika asap menembusnya, udara membiarkan dirinya terbelah, pecah, bahkan bila harus berdarah. Ia mengerti, asap adalah bagian dari dirinya.

Orang-orang bilang lautan tak mungkin diteguk hanya dengan satu-dua tarikan nafas. Tapi orang-orang bilang bulan dapat ditiup dengan perut mabuk. Dan perang yang tak akan kita selesaikan adalah melawan keinginan untuk kembali pulang.

Menurut langit, udara sedang berupaya menjadi kuat. Udara sebenarnya tak sanggup menerima takdir untuk selalu pasrah. Tapi langit tak bisa berbuat apa-apa. Pada saat Tuhan menjilatkan takdir pada ruh udara, langit mendapati api tengah menelanjangi diri. Ditatapnya api itu penuh curiga. Api yang penuh siasat, penuh isyarat.

Tapi langit menolak memberi tahu kabar itu kepada asap. Ia hanya anggap itu bagian dari hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar