Minggu, 13 Juli 2014

Mudik

SABTU siang lelaki tua itu terbangun. Tak ada yang berbeda dari harinya itu. Hanya ada hujan yang menyambut mesra di atap yang ditambal seng hibahan dari asrama militer. Istrinya seperti biasa, tidak ada di rumah. Ia langsung ke kamar mandi, mengambil wudhu dan sembayang.

Sabtu itu adalah pertengahan bulan puasa. Lelaki tua itu masih masih terus berdoa, memohon restu kepada semesta. Ada perasaan yang aneh siang itu. Pikirannya selalu melayang ke kampung halamannya di Kebumen. Ada sesosok suara yang menyuruhnya pulang. Ia bimbang, apakah tahun ini akan pulang.

Sudah lebih dari lima tahun ia tak pernah berjumpa dengan Emaknya. Di Jakarta, ia tinggal dengan keluarga kecilnya. Anaknya tiga. Satu sudah menikah dan merantau ke seberang. Di rumahnya hanya ada empat manusia, temasuk dirinya. Keluarganya memiliki satu kebiasan yang sama: DIAM. Lelaki tua itu rindu kepada Emak yang banyak bicara.

Ia rindu Emak, rindu Kebumen, rindu pulang.

SORE hari sehabis mandi, ia langsung bersiap menyuruh anak lelakinya yang terakhir untuk mengantar ke Pasar Minggu, tempat bus malam Sinar Jaya menunggu penumpang. Mardi bingung bercampur kesal, pasalnya sudah pukul 17.00 dan sebentar lagi buka puasa. Namun Mardi tak banyak bicara, ia simpan kesalnya dalam hati.

Dengan motor yang dulu dibelikan Bapaknya, ia mengantar dengan kecepatan 40km/jam di jalan yang sedikit lengang. Sampai di Pasar Minggu, bus-bus Sinar Jaya sudah menunggu. Beberapa jurusan Purwokerto, ada yang ke Pekalongan. Ada satu yang menuju Kebumen. Leaki tua itu langsung membeli tiket. Mardi sungkan untuk izin pulang.

Azan magrib telah berkumandang. Lelaki tua dan anaknya berbuka di warung kopi dadakan yang hanya ada saat bulan puasa. Setengah jam, Sinar Jaya yang menuju Kebumen dengan nomor polisi B 2345 BM akan jalan. Mardi mencium tangan bapaknya.

Mardi segera pulang setelah bus Sinar Jaya jalan. Malam itu ia tidak ikut solat Tarawih di masjid samping rumah. Ia baru sampai ketika bilal sudah mengucap niat Tarawih.

Di televisi, Mardi menghabiskan waktunya. Berita. Aku butuh berita, pikirnya. Maklum, hasil hitung cepat dari kemarin masih belum ada yang mau mengalah. Mardi senang membanding-bandingkan antara Metro TV dan TV One, hanya untuk ditertawakan.

Seperti tersambar kilat, ia diam menganga, melihat berita terbakarnya bus malam Sinar Jaya yang dia hapal nomor polisinya itu. Bus itu meledak di jalan tol menuju Cibitung. Mardi bingung hendak melakukan apa. Ia mencoba menelpon nomor Bapaknya, namun tak nyambung jua.

Mardi masih tegang. Ia tidak yakin dengan berita yang dilihatnya itu. Ia tidak percaya berita televisi. Namun ia akhirnya menyerah, mencoba untuk percaya.

“Bapak akhirnya pulang,” ucapnya pelan seperti tak ingin didengar.

Lelaki tua itu akhirnya pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar