Minggu, 15 September 2013

Review Tulisan @bayubadkid dalam 30 Hari Menulis #1


Tanpa basa-basi soal projek ini, saya akan langsung saja memulai kembali rutinitas tiga puluh hari menulis jilid dua. Entah mengapa, saya ingin memulainya dengan me-review tulisan-tulisan Bayu Adji P, salah satu kontributor blog ini, yang pada edisi lalu tak pernah sehari pun absen menulis. Maka bisa dibilang, review saya ini adalah semacam penghargaan kepada dirinya yang tentu saja tak ia inginkan.

Sebagai awal, rasanya saya perlu menuliskan kepribadian Bayu. Kalian mesti tahu, dan kalian harus percaya karena sudah pasti saya tak keliru: di kampus, kalau ada lelaki yang terlihat sangat amat sering memakai kaos Teenage Death Star yang di belakangnya tertulis “Fuck you! You fuckin fuck!”, maka Bayu lah orangnya.

Dengan menuliskan ciri khasnya itu, saya pikir sudah sangat cukup membantu anda untuk menyimpulkan keseluruhan dirinya, meski dipandang dari sudut manapun. Artinya, tugas saya mengungkapkan latar belakang pribadinya telah selesai.

Maka sekarang saya ingin membahas karya-karyanya.

Binatang yang Menuliskan Manusia

Di hari pertama, meski ia adalah binatang, Bayu justru memulai tulisannya dengan tema “manusia”. Ia membuka tulisan dengan mengutip Ahmad Wahib, seorang pembaharu Islam, yang menyebut dirinya ingin “memahami manusia sebagai manusia.” Dari Ahmad Wahib, Bayu kemudian mengungkapkan bahwa sesungguhnya manusia adalah telanjang. Manusia tak beragama, tak beretnis, dan tak berbudaya.
Tetapi ketiganya adalah sebuah keniscayaan sebagai identitas. Karena itu, manusia menjadi berbeda.

Perbedaan pun akhirnya sering menimbulkan konflik. Oleh karenanya, Bayu berpendapat bahwa tak ada kebenaran mutlak ataupun tafsir tunggal. Pandangannya itu terlihat sangat terang, melihat kalimat yang ia tulis, yang sebenarnya sangat membuka celah perdebatan: “Alquran, seperti juga karya seni, dimana setiap orang berhak menafsirkannya dengan kebenaran masing-masing.

Di akhir tulisan, ia mengutip Soe Hok Gie: "Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta." Saya kira saat itu Bayu sedang menyadari betul bahwa dirinya adalah seekor binatang. Tetapi pada saat yang sama, ia sedang mencintai manusia.

Beberapa tulisan selanjutnya, Bayu bercerita mengenai kegilaan, musik, bahkan amanah. O, bayangkanlah seorang pembawa amanah yang memakai kaos “Fuck you! You fuckin fuck!”. Tidak lain dan tidak bukanm hanya Bayu lah orangnya. Maka, menarik menyimak pergulatan batinnya (alias curhat) Bayu di tulisan berjudul “Keluh Kesah Pembawa Amanah”.

Setahu saya, Bayu adalah orang yang selalu sabar dan cermat membaca googlemap jika tak tahu daerah Jakarta. Tetapi ternyata ia sempat berkeluh kesah saat mencari alamat, meski menggunakan google.

Membaca keluh kesahnya, anda akan gemetar sejak awal karena Bayu memulai tulisan dengan frasa “Dalam ajaran Islam...” Betapa reliji dia. Wajar saja, ada pesan yang begitu mulia ia sampaikan di tulisan itu: “Seorang manusia dipandang bukan karena ucapannya, melainkan perbuatannya.

Di hari selanjutnya, Bayu barangkali lelah berkeluh kesah. Ia pun mengamati kegelisahannya sendiri. Dan tertulislah karya tentang kegelisahan.


Bukan cuma perenungannya, pemilihan foto – yang dicuri dari google – di tulisan itu pun sangat terkesan muram, rapuh,  dan linu layaknya hati perempuan SMA.

Bayu yang Sebetulnya Gundah Gulana

Ternyata kesadaran dalam memilih foto yang pilu itu berlanjut di tulisan-tulisan berikutnya. Saya tak menyangka, ternyata Bayu begitu sensitif.

Berikut ini adalah foto-foto yang ia pilih, serta beberapa kalimat yang ia tulis:


"Tak perlu menjadi sempurna untuk mengajak orang lain untuk berubah. Yang diperlukan hanyalah konsistensi untuk membuat perubahan." - Bayu, dalam Perbuatan, Tanda yang Ideal.


Kematian –menurut prasangka saya- merupakan sebuah tujuan, tujuan tanpa harapan, bukan pelarian.“ – Bayu, dalam Intermezzo Kematian.



Walaupun matahari sudah tenggelam dan wewangian perlahan menghilang, Riko masih dibawa terbang.” – Bayu, dalam Wewangian di Tikungan Tajam.



Ia terlalu takut akan hal yang belum terjadi...” – Bayu, dalam Mawar yang Ketakutan



Aku selalu, setiap hari berangkat kerja lewat jalan kecil itu. Jalan di mana ada Ratna, seorang perempuan paruh baya selalu menjajakan mimpinya kepada anak-anak sekolah.” – Bayu, dalam cerita singkatnya “Apresiasi Mimpi”.

Masterpiece

Dari 30 tulisan yang ia buat, “Lebam Telak di Sungsang Otak” lah karya terbaiknya. Saya tak tahu mesti menulis apa soal masterpiece itu. Sebaiknya anda simak sendiri tulisannya saja: klik di sini.

1 komentar: