Tanpa basa-basi soal
projek ini, saya akan langsung saja memulai kembali rutinitas tiga puluh hari
menulis jilid dua. Entah mengapa, saya ingin memulainya dengan me-review
tulisan-tulisan Bayu Adji P, salah satu kontributor blog ini, yang pada edisi
lalu tak pernah sehari pun absen menulis. Maka bisa dibilang, review saya ini
adalah semacam penghargaan kepada dirinya yang tentu saja tak ia inginkan.
Sebagai awal,
rasanya saya perlu menuliskan kepribadian Bayu. Kalian mesti tahu, dan kalian
harus percaya karena sudah pasti saya tak keliru: di kampus, kalau ada lelaki yang terlihat sangat amat sering memakai kaos Teenage Death Star yang di belakangnya tertulis
“Fuck you! You fuckin fuck!”, maka Bayu lah orangnya.
Dengan menuliskan ciri khasnya itu, saya pikir sudah sangat cukup membantu anda untuk menyimpulkan keseluruhan
dirinya, meski dipandang dari sudut manapun. Artinya, tugas saya mengungkapkan
latar belakang pribadinya telah selesai.
Maka sekarang saya
ingin membahas karya-karyanya.
Binatang yang Menuliskan Manusia
Di hari pertama,
meski ia adalah binatang, Bayu justru memulai tulisannya dengan tema “manusia”.
Ia membuka tulisan dengan mengutip Ahmad Wahib, seorang pembaharu Islam, yang
menyebut dirinya ingin “memahami manusia sebagai manusia.” Dari Ahmad Wahib,
Bayu kemudian mengungkapkan bahwa sesungguhnya manusia adalah telanjang.
Manusia tak beragama, tak beretnis, dan tak berbudaya.
Tetapi ketiganya
adalah sebuah keniscayaan sebagai identitas. Karena itu, manusia menjadi
berbeda.
Perbedaan pun
akhirnya sering menimbulkan konflik. Oleh karenanya, Bayu berpendapat bahwa tak
ada kebenaran mutlak ataupun tafsir tunggal. Pandangannya itu terlihat sangat
terang, melihat kalimat yang ia tulis, yang sebenarnya sangat membuka celah
perdebatan: “Alquran, seperti juga karya seni,
dimana setiap orang berhak menafsirkannya dengan kebenaran masing-masing.”
Di akhir tulisan, ia mengutip Soe Hok Gie: "Kita
begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta." Saya kira saat itu Bayu sedang
menyadari betul bahwa dirinya adalah seekor binatang. Tetapi pada saat yang
sama, ia sedang mencintai manusia.
Beberapa tulisan
selanjutnya, Bayu bercerita mengenai kegilaan, musik, bahkan amanah. O,
bayangkanlah seorang pembawa amanah yang memakai kaos “Fuck you! You fuckin
fuck!”. Tidak lain dan tidak bukanm hanya Bayu lah orangnya. Maka, menarik menyimak
pergulatan batinnya (alias curhat) Bayu di tulisan berjudul “Keluh Kesah
Pembawa Amanah”.
Setahu saya, Bayu
adalah orang yang selalu sabar dan cermat membaca googlemap jika tak tahu daerah
Jakarta. Tetapi ternyata ia sempat berkeluh kesah saat mencari alamat, meski
menggunakan google.
Membaca keluh
kesahnya, anda akan gemetar sejak awal karena Bayu memulai tulisan dengan frasa
“Dalam ajaran Islam...” Betapa reliji dia. Wajar saja, ada pesan yang begitu
mulia ia sampaikan di tulisan itu: “Seorang
manusia dipandang bukan karena ucapannya, melainkan perbuatannya.“
Di hari
selanjutnya, Bayu barangkali lelah berkeluh kesah. Ia pun mengamati kegelisahannya
sendiri. Dan tertulislah karya tentang kegelisahan.
Bukan cuma perenungannya, pemilihan foto – yang dicuri dari google – di tulisan itu pun sangat terkesan muram, rapuh, dan linu layaknya hati perempuan SMA.
Bayu yang Sebetulnya Gundah Gulana
Ternyata kesadaran
dalam memilih foto yang pilu itu berlanjut di tulisan-tulisan berikutnya. Saya tak
menyangka, ternyata Bayu begitu sensitif.
Berikut ini
adalah foto-foto yang ia pilih, serta beberapa kalimat yang ia tulis:
"Tak perlu menjadi sempurna untuk mengajak orang lain untuk berubah. Yang diperlukan hanyalah konsistensi untuk membuat perubahan." - Bayu, dalam Perbuatan, Tanda yang Ideal.
“Kematian –menurut
prasangka saya- merupakan sebuah tujuan, tujuan tanpa harapan, bukan pelarian.“ – Bayu, dalam Intermezzo Kematian.
“Walaupun matahari
sudah tenggelam dan wewangian perlahan menghilang, Riko masih dibawa terbang.” – Bayu, dalam Wewangian di Tikungan Tajam.
“Ia terlalu takut
akan hal yang belum terjadi...” – Bayu, dalam Mawar
yang Ketakutan
“Aku selalu,
setiap hari berangkat kerja lewat jalan kecil itu. Jalan di mana ada Ratna,
seorang perempuan paruh baya selalu menjajakan mimpinya kepada anak-anak
sekolah.” – Bayu, dalam cerita singkatnya “Apresiasi
Mimpi”.
Masterpiece
Dari 30 tulisan
yang ia buat, “Lebam Telak di Sungsang Otak” lah karya terbaiknya. Saya tak
tahu mesti menulis apa soal masterpiece itu. Sebaiknya anda simak sendiri tulisannya
saja: klik di sini.
fak yu yu faking fak!
BalasHapus