Selasa, 16 Oktober 2012

Tentang Seorang Kawan yang Ingin Menjadi Rockstar



Jika Sir Dandy membuat lagu tentang Riko gitaris Mocca yang menjual gitar kepadanya, saya akan membuat ulasan singkat tentang Riko, kawan saya yang terobsesi menjadi rockstar.

Riko, lahir dan dibesarkan oleh keluarga seniman rumahan, adalah seorang multi-instrumentalis kelas teri. Permainan musiknya biasa saja, tidak seperti Riko gitaris Mocca band yang terkenal itu. Riko, pemuda yang tak terlihat seperti anak muda, suka dengan lagu-lagu lawas Indonesia. Koes Plus, Panbers adalah makanan sehari-harinya. Tidak ada yang istimewa dari dirinya. Mungkin satu-satunya alasan yang membuat dia nampak istimewa adalah pernah sekolah bersama dengan saya dan sempat membentuk band bersama.

Pada menginjak masa puber, saya, dia (Riko) dan satu lagi teman saya berinisiatif membentuk sebuah grup band. Entah kapan tepatnya, saya pun lupa. The Vero, begitulah nama band tersebut, yang terinspirasi oleh seorang guru sekolah menengah kejuruan (SMK). Bersumber pada kehidupan anak muda pada saat itu yang mulai memuja (lagi) rock and roll, kami pun terbawa untuk memainkannya dengan berbekal kemampuan Riko sebagai multi-instrumentalis kelas teri.

Awal terbentuknya band ini hanya untuk mencari kesenangan. Pun sampai pada akhirnya –meski band ini belum berakhir– kesenangan itu tak pernah terdapatkan. Secara musikalitas, band ini memang tidak ada apa-apanya. Karena tidak pernah memiliki lagu sendiri yang pernah direkam, musikalitas band ini pun tidak pernah diketahui sampai saat ini. Hanya berkat bantuan fans fanatiklah –yang adalah teman dekat kami- yang membuat The Vero, yang saat ini telah berganti nama menjadi Backside Terror, tetap bertahan. Namun betapapun tidak pernah berkembangnya Backside Terror, impian Riko yang ingin menjadi rockstar mungkin masih belum terpatahkan.

Setelah kami lulus sekolah menengah, jarang sekali masuk studio untuk sekedar melenturkan jari tangan. Keterbatasan waktu untuk berkumpul menjadi penghalang. Intensitas pertemuan hanya terpakai untuk menikmati minuman lokal anti-kapitalis asing. Perlahan, Riko menjadi muram karena bakatnya tak lagi tersalurkan.

Sampai pada klimaksnya, Riko menyadari bahwa untuk menjadi rockstar tidak semudah menjadi orang gila. Mungkin sedikit kisah cinta yang mengguncang jiwanya mempunyai efek yang tak bisa disepelekan. Masalah datang silih berganti. Hidup Riko terlihat rapuh, cenderung lembek. Hari-harinya hanya menjadi pekerja sosial (belum sebulan kerja dan belum dapat gaji, lantas keluar). Realita tak seindah impian yang dibayangkan.

Pada akhirnya, obsesi menjadi rockstar pun berganti menjadi orang gila yang bebas. “Orang gila mah bebas...” begitulah kata-katanya setiap kali ada teman yang mempermasalahkan perilakunya. Entah apa yang dipikirkannya tentang orang gila. Mungkin saja dia telah menyadari realita yang ternyata sangat berbanding terbalik dengan apa yang diimpikannya. Mungkin kehidupan dunia perkuliahan yang kini digeluti perlahan membuatnya kehilangan arah. Atau mungkin, menjadi orang gila adalah sebuah proses untuk menjadi rockstar yang sebenarnya. Apapun itu, hanya Riko yang mampu menjawabnya. “Semakin gila jiwamu,semakin banyak yang tertarik padamu,” begitulah salah satu kalimat saktinya.

1 komentar: